dulu,
tangan-tangan kecil itu
menyalamiku dengan mata menunduk,
seperti bumi yang menghormat pada langit
sekarang,
kulihat matamu sibuk menari
di layar-layar biru
lebih peduli pada suara dari seberang dunia
daripada suaraku
yang mulai bergetar, bukan karena marah
tapi karena waktu
kalian berjalan di lorong
tanpa melihatku,
seakan aku hanya dinding
yang tak perlu disapa,
tak perlu dihargai
cukup dilewati
padahal
di punggungku yang mulai membungkuk ini
tersimpan ribuan huruf yang dulu kutanam
dengan kapur putih dan doa-doa diam
agar kalian tumbuh
tak hanya cerdas,
tapi juga utuh
aku tak marah,
tapi kadang mataku perih
bukan oleh debu kapur
melainkan rindu
akan suara “selamat pagi, Bu”
yang kini tergantikan
oleh tawa-tawa yang lewat
tanpa menoleh
tapi kalian tetap anak-anakku
meski tak lagi memeluk buku
meski tak paham
mengapa aku tak menyukai
kata-kata kasar yang kalian anggap biasa
aku masih menyiapkan pelajaran,
seperti ibu yang menyiapkan makan malam
meski anak-anaknya tak pulang tepat waktu
di setiap doaku,
namamu kuselipkan
seperti benih
yang masih ingin kutanam
di ladang yang mungkin tak subur
tapi aku percaya
suatu hari nanti
akan tumbuh juga pohon yang tahu caranya meneduhkan
dan jika hari itu datang,
meski aku sudah tak ada di kelas ini,
aku hanya ingin
kalian tahu
aku pernah mencintaimu
dalam diam yang penuh harap
dalam luka yang tetap memilih mengajar
karena cinta,
bukan semata-mata kewajiban