Kami tahu dunia membuka mata, tapi memilih menutup nurani. Saat langit Gaza retak oleh bom, mereka sibuk berdiplomasi di balik meja, dengan lidah penuh basa-basi. Mereka bicara tentang hak asasi dengan bibir yang manis dan pidato bersayap, padahal anak-anak kami tumbuh dalam reruntuhan, bermain di antara abu dan peluru yang mengendap. Kami mendengar warta disusun indah, oleh tangan-tangan yang pandai memutar fakta. Yang menindas disebut menjaga, yang tertindas dituduh pembangkang semata.
Tapi seberapa lama dusta bisa berdiri tegak? Berapa nyawa kecil harus hilang, sebelum kalian menyadari bahwa darah di jalanan Gaza bukan sekadar statistik di layar pagi?
Kami bukan jenderal, bukan pemilik layar kaca. Tapi kami punya pena yang tak gentar, suara yang tak tunduk, dan luka yang tak lagi bisa diam.
Kami tahu siapa yang kalian peluk, dan siapa yang kalian biarkan tercekik. Tapi kami takkan duduk dan tunduk, karena diam adalah bentuk paling halus dari pengkhianatan etik.