Kapan Hari Guru Menjadi Hari Kepastian Ekonomi?

Oleh: Luthfi Azizan

November selalu datang dengan serangkaian perayaan yang agung. Aroma kepahlawanan meruap dari setiap sudut kota, menguar bersama angin. Kita mengenang para pejuang, melafalkan puisi-puisi tentang pengorbanan, dan mengibarkan bendera tinggi-tinggi. Di tengah riuhnya parade ini, terselip sebuah hari lain yang tak kalah sakral: Hari Guru. Lagu “Hymne Guru” dan slogan “Pahlawan Tanpa Tanda Jasa” selalu berkumandang, merdu di telinga, menghangatkan hati.

Namun, di balik seremonial yang manis itu, tersimpan bisikan sunyi yang tak pernah diundang ke panggung utama: bisikan tentang kepastian ekonomi yang jauh dari kata layak.

Maka, sudah saatnya kita bertanya, dengan suara yang lebih lantang dari paduan suara lagu hymne itu: Kapan Hari Guru bertransformasi dari sekadar perayaan idealisme menjadi momentum untuk menuntut dan merealisasikan kepastian ekonomi bagi para guru? Terutama mereka, para guru honorer, yang pahlawannya selalu di atas kertas, tapi piringnya seringkali kosong.

Ironi Pahlawan Tanpa Tanda Jasa (dan Tanpa Logistik)

 

Slogan “Pahlawan Tanpa Tanda Jasa” itu memang romantis, puitis, dan membangkitkan semangat. Tapi, di tengah tagihan listrik, cicilan motor, dan harga beras yang terus meroket, romatisme itu mendadak terasa hampa, bahkan kejam. Slogan itu, seringkali, digunakan untuk meninabobokan guru agar ikhlas dalam keterbatasan, agar pasrah dalam kekurangan, agar merasa mulia meski perutnya keroncongan.

Coba bayangkan, di tengah gegap gempita Hari Pahlawan dan Hari Guru ini, ada seorang guru honorer yang viral karena gajinya hanya Rp66 ribu sebulan. Rp66 ribu! Jumlah itu bahkan tak cukup untuk membeli pulsa sebulan, apalagi untuk memenuhi kebutuhan dasar keluarga, atau sekadar membeli buku-buku baru untuk meningkatkan kualitas mengajarnya.

Bagaimana mungkin seorang pahlawan bisa berjuang di medan pertempuran mencerdaskan bangsa tanpa amunisi logistik yang memadai? Apakah kita mengharapkan mereka mengajar dengan energi yang didapat dari kepasrahan, atau dari keikhlasan yang terpaksa? Ini adalah ironi paling menyakitkan yang kita biarkan terus terjadi.

Kriminalisasi Kesejahteraan: Meminta Iuran, Jadi Tersangka

 

Puncak ironi ini semakin terekam jelas dalam berita yang sempat viral: seorang guru dijadikan tersangka karena berinisiatif meminta iuran Rp20.000 kepada siswa untuk membantu guru honorer lainnya.

Pikirkanlah sejenak. Ketika negara abai, ketika sistem tak mampu menyediakan upah layak, seorang guru dengan hati nurani mencoba berinisiatif, mencari jalan keluar, untuk membantu sesama pahlawan di medan yang sama. Namun, apa balasannya? Bukan apresiasi, melainkan kriminalisasi. Ia dihadapkan pada pasal-pasal hukum, seolah perbuatan mulianya adalah kejahatan.

Peristiwa ini adalah cermin betapa sistem pendidikan kita telah gagal melindungi dan menyejahterakan pahlawannya. Dilema moral yang dihadapi guru honorer atau guru yang ingin membantu rekannya begitu menyayat: antara menjaga integritas profesi (tidak memungut sumbangan) dan tuntutan realitas (kebutuhan hidup yang mendesak).

Baca Juga: Jejak Hati Di Kanvas Jiwa

Menuntut Hari Guru yang Bermakna Ekonomi

 

Sudah saatnya kita mengubah paradigma. Kesejahteraan guru bukanlah urusan personal, bukan belas kasihan masyarakat, apalagi inisiatif heroik guru itu sendiri. Ini adalah tanggung jawab mutlak negara.

Negara harus menempatkan peningkatan anggaran pendidikan secara signifikan, tidak hanya untuk infrastruktur fisik, tetapi yang paling utama untuk kesejahteraan guru. Skema pengangkatan PNS atau PPPK harus jelas, cepat, dan transparan, memberikan kepastian masa depan bagi ribuan guru honorer yang telah mengabdi puluhan tahun.

Mengapa ini penting? Karena guru yang tidak terbebani masalah ekonomi akan memiliki kapasitas mental dan energi yang lebih besar untuk fokus pada inovasi mengajar, pengembangan diri, dan dedikasi penuh kepada siswa. Guru yang bahagia, sejahtera, dan merasa dihargai akan melahirkan generasi yang lebih cerdas, kreatif, dan berdaya saing. Sebaliknya, guru yang lapar tak akan bisa mencetak bintang.

Baca Juga: Siapa Suruh Jadi Guru?

Maka, di bulan November yang penuh kepahlawanan ini, marilah kita bersuara lebih lantang dari sekadar melafalkan puisi. Marilah kita mengubah doa-doa kita untuk guru menjadi tuntutan kebijakan yang konkret.

Kapan Hari Guru bukan lagi tentang puasa ikhlas, melainkan tentang kepastian logistik yang adil? Kapan kita bisa melihat guru merayakan Hari Guru dengan senyum lepas, bukan dengan bisikan keluh kesah tentang dapur yang kosong atau tagihan yang menumpuk?

Karena hanya dengan perut yang tidak lapar, dengan hati yang tenang dari ancaman ekonomi, guru bisa benar-benar menjadi pahlawan yang gagah, melahirkan bintang-bintang cemerlang di setiap ruang kelas, bukan sekadar menorehkan tanda jasa di atas meja makan yang kosong. Ini adalah panggilan untuk keadilan, sebuah tuntutan untuk masa depan pendidikan yang lebih bermartabat.

Tagar:

Bagikan postingan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *