Kasih Sayang Seorang Guru
Karya: Dwi Susanti
Sunyi. Hening tanpa kata. Menangis sedih tanpa air mata. Berseru parau, tetapi tak bersuara. Andai engkau tahu, seberapa besar rasa bersalah yang menghunjam ulu hati. Engkau akan memahami, mengapa aku enggan mengangkat wajah ini dari hamparan sajadah. Karena hanya kepada Sang Maha Penyayang, aku ingin menumpahkan segala rasa gundah.
Rahma dan Fitri bergantian mengulurkan tangan, mencium takzim punggung tangan kananku setelah aku menyelesaikan doa sendiri. Doa yang sama sepanjang siang ini. Permohonan maaf kepada Tuhan karena keegoisanku. Dan aku menyadari, tidak meminta kemenangan untuk mereka. Namun, lihatlah dua anak ini. Wajah mereka tetap tenang dan damai. Tidak tergurat rasa sesal atau beban di hati. Meskipun aku tahu mereka lelah. Pun gelisah menjelang detik-detik pengumuman kejuaraan.
Pagi tadi aku melihat Fitri sudah bersiap di sekitar kantor guru sebelum pukul 07.00. Aku menghampirinya, “Ndhuk, tolong panggilkan Mbak Rahma, ya. Kita pamit dan mohon doa restu dahulu pada bapak dan ibu guru.”
Fitri, siswi kelas 8B, itu memang jarang berbicara, hanya mengangguk takzim mendengar permintaanku. Berjalan pelan menuju kelas kewalianku, 9A, yang berada persis di depan kantor guru. Sementara itu, aku kembali sibuk mengecek ulang peralatan yang harus dibawa.
Tidak lama kemudian, aku mendampingi Rahma dan Fitri memasuki ruang guru. “Bapak dan Ibu Guru, kedua anak kita, Rahma dan Fitri pagi ini akan berangkat untuk mengikuti lomba menggambar. Mohon doa restunya, nggih.” Aku memberikan sedikit prolog sambil mendorong pelan kedua anak itu agar berjalan menghampiri meja bapak dan ibu guru.
Semua guru antusias menyambut keduanya. Memberikan doa terbaik untuk kedua siswi terbaik sekolah kami. Kita tidak tahu dari doa siapa keberhasilan itu akan diiyakan oleh Tuhan. Jadi, mintalah doa kepada kedua orang tua dan para gurumu. Aku pernah mengatakan hal itu pada Rahma. Ya, bisa dibilang kami cukup dekat sebagai guru dan murid.
Aku mengenal Rahma sejak dia duduk di kelas 8. Aku takjub melihat betapa miripnya dia denganku waktu kecil. Kami sama-sama pribadi canggung yang mungkin sering disalahpahami karena tidak mampu mengekspresikan diri secara terbuka. Preferensi kami pun sama, dalam kebanyakan hal.
Sekitar 3 bulan lamanya kami belajar bersama-sama untuk persiapan OSN IPA. Kami juga terlibat dalam pembuatan buku antologi cerpen yang kedua. Selama ini aku memang mewadahi anak-anak yang berminat untuk belajar menulis cerpen dalam komunitas bernama “Nawasena”. Sebenarnya, fiksi bukanlah spesialisasiku, tetapi biarlah. Lebih baik bergerak melakukan suatu kebaikan daripada cuma sekadar pandai berkomentar. Honor menulis buku teks dan modul pelajaran dari penerbit sebenarnya juga tidak banyak, tetapi lebih dari cukup untuk membeli banyak buku dan membuat buku sendiri sesuai keinginanku.
Selanjutnya, di bulan April aku mengantarkan Rahma untuk mengikuti lomba MIPA di salah satu SMA. Itu sebenarnya baru permulaan. Ketika kusadari dia memiliki bakat menggambar yang istimewa, aku mendaftarkannya di berbagai lomba menggambar dan mewarnai online. Namun, tidak pernah terbayangkan, bila pada akhirnya anak ini mampu mengoleksi sepuluh piala kejuaraan sampai akhir tahun 2023 dari beragam lomba, mulai dari lomba cerdas cermat, lomba MIPA, menggambar, mewarnai, dan menulis cerkak. Menurutku itu pencapaian yang sangat luar biasa.
Aku terkejut ketika Bu Widya menegaskan kembali tujuan kami yang benar adalah Museum Wayang begitu mobil mulai melaju meninggalkan area sekolah. “Eh, bukan di Museum Karst, Bu?” Baiklah, kalau bicara soal jalan, lokasi, atau daerah, aku menyerah sudah. Ingatanku mungkin kalah dari anak SD. Buruk sekali.
Pada lomba kali ini Bu Widya, guru Bahasa Jawa di sekolah kami, ditunjuk sebagai guru pendamping karena hari ini beliau tidak memiliki jam mengajar. Selama ini beliau sangat baik padaku dan juga sangat peduli pada murid-murid kami. Bahkan Bu Widya-lah yang membantu kami menemukan konsep yang akan digambar oleh anak-anak nanti.
“Terus Museum Wayang itu di mana, Bu?” Aku masih berharap tempat tujuan kami tidak seberapa jauh. Aku tidak terbiasa naik kendaraan roda empat. Semalaman kurang tidur, tidak sempat makan apa pun sebelum berangkat, dan jaket pun tertinggal di kantor. Komplit sudah.
Tiba-tiba Rahma meminta bertukar tempat duduk denganku. Kami bertiga duduk di jok belakang, aku di sisi paling kiri. Eh, ada apa? Namun, dengan senang hati aku mengiyakan. Lebih baik duduk di tengah agar bisa melihat jalan di depan untuk mengurangi rasa pusing yang kutahan sejak tadi.
Rahma sebenarnya tidak jauh berbeda dengan Fitri. Keduanya jarang berbicara. Pendiam. Bahkan sebenarnya levelnya lebih dari pendiam. Namun, kusadari ada yang tidak beres dengannya. “Kamu kenapa?” Aku menoleh ke arahnya.
“Dingin.” Rahma menjawab pelan sambil duduk meringkuk.
Kupegang dahinya. Tidak panas. Aku mencari-cari jaket atau benda apa pun yang bisa dimanfaatkan. Nihil. Akhirnya, kuulurkan tangan kiriku. Perlahan dia melingkarkan tangannya, memeluk tanganku.
Tidak lama kemudian, aku mencium gelagat yang tidak baik. “Kenapa, Ndhuk?”
“Plastik,” Rahma menjawab lirih, tetapi menyiratkan kepanikan.
Jadilah kami satu mobil ikut panik mencari plastik. Bu Widya akhirnya berhasil menemukan satu buah plastik besar. Tidak apa-apa daripada nanti mengotori mobil. Aku tidak mau seperti temanku yang sampai mengepel lantai bus saat outing class karena kelas kewaliannya kompak mabuk kendaraan.
Namun, lihatlah. Anak ini benar-benar sedang tidak baik-baik saja. Wajahnya yang putih justru membuatnya terlihat semakin pucat. Pegangan tangannya padaku semakin erat. Kepalanya sedari tadi sudah bersandar di bahuku. Ya Rabb, aku sungguh tidak tega melihatnya. Bertahanlah, Ndhuk. Tidak apa-apa nanti tidak menang, yang penting mari kita selesaikan ini sampai akhir, batinku.
Aku termenung takjub memandangi langit-langit masjid tempat kami salat berjemaah siang ini. Indah sekali! Setelah selesai melipat mukena, kulihat Fitri mengeluarkan gawainya untuk mengambil gambar kaligrafi pada plafon kubah masjid. Aku cuma memperhatikan. Aku tahu anak itu suka sekali dengan kaligrafi.
“Bagus sekali, ya, desainnya. Komposisi warnanya juga. Saya suka,” kataku kemudian. Tidak berharap banyak akan dijawab oleh keduanya. Betul, mereka tetap diam.
Aku duduk di bawah pohon yang tumbuh di dekat serambi masjid. Rak sepatu untuk para jemaah terletak tidak jauh dari pohon itu. Aku tertarik mengambil sepasang sepatu mungil dan menjajarkannya dengan sepatuku. “Sepatu siapa ini? Kecil sekali.” Aku tertawa melihat kedua pasang sepatu yang sangat kontras dari segi model dan ukuran itu.
Fitri terlihat sibuk mengenakan sepatunya. Sementara Rahma berjalan mendekatiku. Memandangku dengan tatapan ganjil, tanpa bicara sepatah kata pun. Tentu saja. Sepatu siapa lagi. Hanya kami bertiga yang terlambat menunaikan salat zuhur berjemaah siang ini di masjid. Aku langsung mengembalikannya ke tempat semula dengan canggung karena tidak berhenti ditatap pemiliknya, lantas memakai sepatuku sendiri dan berdiri.
“Kalian mau melihat-lihat museum, Ndhuk? Ayo!” seruku kemudian. Aslinya, aku tidak tertarik pada dunia pewayangan. Namun, menunggu tanpa kegiatan saat hati tidak tenang sepertinya tidak akan nyaman. Lebih baik menyibukkan diri. Lagipula rasa penasaran terhadap sesuatu hal yang baru lebih kuat menggodaku. Mumpung di sini. Jangan sampai dilewatkan.
Kami bertiga kemudian berkeliling untuk melihat-lihat semua koleksi yang dipamerkan di Museum Wayang. Banyak karya yang luar biasa, beberapa mampu menyita perhatianku. Hei, ternyata Rahma juga memiliki pengetahuan yang cukup baik tentang wayang. Namun, astaga. Seenaknya saja anak itu meninggalkan tasnya begitu saja setelah aku membantu membawakannya sejak tadi. Berat tahu, Ndhuk. Aku hanya bisa geleng-geleng kepala.
Akhirnya, di sinilah kami sekarang berada. Duduk menjeplak di serambi depan museum. Dari sini kami bisa mengamati kesibukan orang-orang yang berlalu-lalang di bawah. Sesekali berbincang hal remeh-temeh. Lebih banyak diam, hanyut dalam pikiran masing-masing. Perasaan bersalah semakin berat mengganjal di hati. Andai kemarin aku tidak menyetujui konsep itu, dia pasti tidak akan mengalami kesulitan seperti hari ini. Sungguh, aku merasa sangat bersalah padanya.
Seharian tadi menunggui anak-anak tanpa kegiatan bukanlah perkara mudah. Semua orang sibuk mengobrol untuk mengisi waktu. Aku memilih menepi di tangga atas, berlindung di bawah pohon jambu. Cukup nyaman. Dari sini aku bisa mengamati para peserta lomba yang tengah sibuk menyelesaikan karyanya. Sesekali beranjak turun di kala bosan menyapa. Berkeliling menyaksikan perjuangan anak-anak untuk mengukir karya terbaik mereka.
Sebanyak 90% lebih karya didominasi oleh gambar tokoh wayang. Sejak tadi aku agak cemas karena hal itu. Overthinking. Bagaimana kalau karya anak-anak “ditolak” karena konsepnya berbeda dengan yang lainnya. Akan tetapi, di surat edaran lomba tersurat jelas bahwa tema wayang bisa bebas dikembangkan sesuai imajinasi peserta.
Sesekali aku turut berbaur bersama guru-guru yang lain, yang kebanyakan adalah guru Seni. Rasanya seperti seorang pendatang baru di planet asing. Berada di keramaian bersama orang-orang yang tidak dikenal sebenarnya tidak terlalu nyaman. Duduk anteng menyimak. Berharap ada banyak ilmu baru yang bisa diserap dan dipelajari. Namun, satu-satunya hal yang bisa kutangkap, para guru sangat percaya diri dan optimis akan meraih kemenangan. Aku? Tidak kupikirkan. Bagiku kemenangan adalah kuasa Tuhan, di luar kendaliku.
Bu Widya, yang sedari tadi bersama para guru ini, berbisik padaku. Beliau tampak insecure karena sekolah lain sudah mengadakan bimbingan dan latihan selama berbulan-bulan, bersama ahlinya pula. Berbeda dengan sekolah kami. Info saja baru kami terima kemarin alias sehari sebelum pelaksanaan lomba. Berangkat dengan modal nekat. Kontras sekali dengan sekolah lainnya.
“Tidak apa-apa, Bu. Yang latihan lama bisa kalah oleh yang terlahir berbakat.” Aku menjawab lirih, sungguh-sungguh. Aku memang tidak begitu berbakat menggambar, tetapi sepertinya cukup berbakat mengenali bakat orang lain. Aku yakin Rahma sangat berbakat di bidang Seni Rupa, sejak lahir. Dia memiliki kode genetik itu. Suatu anugerah istimewa dari Sang Maha Penyayang untuknya.
Satu jam menjelang berakhirnya lomba, tampak sebagian besar peserta sudah mulai meninggalkan area perlombaan. Beberapa masih bertahan, membereskan peralatan, menikmati makan siang yang tertunda, atau sekadar berfoto bersama karya dan guru pembina. Aku kembali beranjak menghampiri kedua muridku. Untuk yang kesekian kalinya.
Kulihat Fitri tidak memiliki kendala yang berarti. Dia menggambarkan kisah saat Kalamarica, utusan Rahwana, menyamar menjadi kidang kencana untuk menarik perhatian Sinta dan mengalihkan perhatian Rama agar memburunya. Untuk pewarnaan, dia menggunakan oil pastel yang kubawakan. Tinggal finishing, tidak masalah.
Kemudian aku bergeser ke meja Rahma. Berdiri mematung di sampingnya sekian waktu. Rasa bersalah kembali menyeruak melihatnya kewalahan dengan sketsanya sendiri. Baru sekitar 10% bagian yang sudah mendapatkan sentuhan pensil warna dan alcohol marker. Berikutnya dia memegang sebuah kuas kecil. Kuas satu-satunya.
Mengapa dia tidak bilang padaku kalau mau menggunakan watercolor? Aku kan bisa membawakan banyak kuas dari rumah. Ah, dia kan memang tidak pernah bicara kalau tidak kutanya. Aku yang salah karena lupa bertanya padanya. Beragam pikiran berkecamuk memenuhi kepala. Rasa bersalah pun mulai mendera.
“Masih lima puluh menit lagi. Kamu bisa menyelesaikannya, kan?” Aku bertanya dengan hati-hati. Itu seperti pertanyaan retoris. Aku paham kecepatan menggambar dan mewarnai anak ini. Selama ini, dia selalu memperhatikan detail setiap objek dan sangat berhati-hati saat mengerjakan. Itu yang membuatnya lama. Dan kali ini dia menggambar dua adegan sekaligus, yaitu saat Kalamarica menyamar menjadi brahmana untuk mengelabui Sinta dan saat Resi Jatayu bertarung melawan Rahwana untuk menyelamatkan Sinta. Setara dengan dua kali pengerjaan peserta lainnya.
Rahma memandangku sejenak dengan sorot mata meredup. “Tidak bisa, Bu,” tuturnya lemah.
Aku terpukul mendengar jawabannya, walau sudah menduganya. Kupandangi wajahnya yang mulai kuyu. “Diselesaikan, ya,” titahku pelan lalu beranjak pergi untuk menenangkan hatiku sendiri.
Bukan hanya kami yang mengalami situasi seperti ini. Dua tiga anak dari sekolah lainnya juga bernasib sama. Kalang-kabut menyelesaikan sketsa dan pewarnaan. Bedanya, guru mereka juga terlihat panik, sambil terus menyemangati. Sementara aku cuma duduk terdiam di belakang, memikirkan beragam solusi untuk membantu, tetapi buntu. Apa yang bisa kulakukan untuk membantunya?
Bu Widya tergesa-gesa menghampiriku. Mata beliau tampak berkaca-kaca, wajah mendung, mengguratkan kesedihan di hati. “Aku tidak kuat menemani Rahma, Bu. Aku kasihan sekali padanya.” Bu Widya seperti ingin menangis.
Sama. Aku juga ingin menangis sejak tadi, tetapi akal sehatku tidak mengizinkan. Anak itu masih membutuhkanku. “Tidak apa-apa, Bu. Biar saya saja,” jawabku menenangkan beliau.
Setelah meneguhkan hati, aku bangkit dari dudukku dan kembali menghampiri Rahma. Kulihat Fitri sudah selesai dan mulai membereskan semua peralatannya. Alhamdulillah.
“Tinggal 40 menit. Kamu punya waktu 5 menit untuk mewarnai tiap objek. Siap, ya?” Aku berkata pelan, tetapi tegas. Tak lebih untuk memberinya kekuatan baru agar mampu menyelesaikan karya ini. Rahma sedikit terkejut, tetapi tidak membantah.
“Pindah objek sekarang,” seruku kemudian.
Rahma menurut, segera mencelupkan kuasnya ke dalam air.
“Yang mana dulu, Bu?”
“Burung.” Maksudku Resi Jatayu. Aku memilih objek-objek bagian atas yang lazim jadi sorotan pertama.
“Warna apa, Bu?”
Eh, apa, ya? Aku tidak siap dengan pertanyaan ini. Hanya karena kulihat warna yang baru saja dia pakai adalah abu-abu, aku sontak menjawab, “Abu-abu.” Besok-besok saat kesadaranku sudah pulih, aku sungguh menertawakan diri sendiri soal burung abu-abu ini. Termasuk pintu gubuk warna abu-abu. Ingatanku rancu dengan pintu kelas di sekolah kami.
Rahma selalu bertanya pilihan warna padaku dan patuh tanpa syarat. Sementara aku hanya menjawab sekadarnya karena otak sudah tidak jernih lagi untuk berpikir. Begitu seterusnya sampai objek terakhir selesai diwarnai. Menit-menit terakhir yang benar-benar menegangkan. Serasa terlibat langsung dalam medan pertempuran. Namun, kali ini adalah perang urat saraf yang menguras seluruh emosi.
Selesai. Anggap saja begitu. Masih ada 5 menit tersisa. “Tulis identitas di sebaliknya.”
“Identitas apa, Bu?”
Sepertinya energi Rahma juga sudah terkuras habis. Konsentrasinya menurun drastis. Aku menuntunnya melengkapi identitas.
Seorang bapak-bapak paruh baya, pegawai di Museum Wayang sekaligus panitia kegiatan ini, datang menghampiri. Baru kusadari suasana di sekitar kami sudah cukup lengang. Rupanya hampir semua peserta sudah meninggalkan area perlombaan.
“Maaf, Pak, belum sepenuhnya selesai,” tuturku sopan sambil membantu Rahma membereskan semua peralatan.
Beliau tersenyum ramah menunggui kami berkemas. “Tahun depan bisa ikut lagi.”
“Sudah kelas 9, Pak.” Aku yang menjawab sambil tersenyum.
“Yah, sayang sekali.” Si bapak terlihat baik hati dan menyenangkan. Kehadirannya membantu kami sedikit bebas dari ketegangan yang mencekam selama puluhan menit terakhir.
“Terima kasih, nggih, Pak. Kami pamit dulu.” Aku menggandeng Rahma, mencari Fitri, dan mengajak keduanya menuju masjid di seberang jalan untuk menunaikan salat zuhur.
Lamunanku buyar mendengar seruan bapak-bapak panitia yang menghampiri kami siang tadi. Beliau membujuk kami agar turun untuk mengikuti pengumuman kejuaraan. Sebenarnya aku tidak berminat karena energiku sudah habis. Namun, melihat si bapak tetap bersikukuh, akhirnya aku patuh. “Ayo, turun, Ndhuk.”
Kami duduk agak jauh dari podium utama. Duduk nyaman di bangku taman. Kuakui, aku cukup terkesan dengan Museum Wayang. Para pegawainya ramah. Lingkungan alamnya sejuk nan asri. Tanaman dirawat dan ditata apik, kebersihan dijaga pula dengan baik. Tempat yang menyenangkan bagiku.
Bu Widya duduk di sebelahku, berbisik pelan. “Aku dapat bocoran, Bu. Punya Rahma masuk 10 besar. Semoga dapat juara, ya, Bu.” Wajah beliau berbinar-binar, terlihat sangat antusias.
Aku sekilas memandang beliau untuk mencerna ekspresi yang tergurat di wajahnya. Itu bukan sekadar ekspresi “masuk 10 besar”, tetapi lebih dari itu. Aku yakin. Namun, aku lebih memilih menunggu pengumuman resmi dengan sabar.
Detik demi detik terasa sangat menegangkan. Nama-nama juara mulai diumumkan satu per satu. Mulai dari juara harapan 3 sampai juara 2. Astaga, apa mungkin Rahma juara 1? Dan begitu nama siswi kelas kewalianku itu benar-benar disebut sebagai pemenang utama, sontak aku bergegas menghampirinya. Memeluknya erat-erat.
“Selamat, Ndhuk!” ucapku penuh haru. Aku sungguh bahagia. Ini anugerah luar biasa yang sulit dipercaya. Tidak lupa aku juga memeluk Fitri untuk memberikan semangat untuknya. Bu Widya pun melakukan hal yang sama.
Kami kemudian mendampingi Rahma maju ke podium utama. Menyimak dengan baik semua ulasan dari ketua dewan juri yang merupakan dosen Seni dari salah satu perguruan tinggi ternama di negeri ini. Alhamdulillah, karya Rahma bertajuk Resi Jatayu ini dibanjiri ulasan positif oleh juri, minus ulasan negatif. Selain itu, para juara juga mendapatkan piala kejuaraan, piagam penghargaan, dan uang pembinaan. Sepadan rasanya dengan semua perjuangan dan pengorbanan yang telah dilakukan.
Setelah menyelesaikan seluruh rangkaian acara, kami segera meninggalkan Museum Wayang. Mampir di masjid yang kami kunjungi siang tadi untuk menunaikan salat asar terlebih dahulu. Dilanjutkan dengan makan siang yang sangat terlambat, tetapi tidak apa-apa. Bahagia dan rasa haru menutupi rasa lelah dan lapar yang berusaha keras ditahan sedari tadi.
Plot twist dari kisahku hari ini adalah ternyata Rahma sudah mendapat bocoran terlebih dahulu kalau dia juara satu. Baiklah, abaikan kalau sebenarnya aku kesal dia tidak memberitahuku sampai larut dalam rasa bersalah sepanjang hari. Sekarang dalam perjalanan pulang, lagi-lagi dia tidak berdaya seperti pagi tadi, bahkan lebih buruk. Sudah sakit perut, mabuk kendaraan di sepanjang perjalanan pula. Ya Rabb, kasihan benar. Namun, sebagai guru, aku benar-benar bangga padamu, Ndhuk. Terima kasih telah mengharumkan nama sekolah kita dengan semua prestasi dan pencapaianmu yang luar biasa selama setahun terakhir. Kuharap kamu tidak pernah melupakan pengalaman berharga hari ini bersamaku.