Jalan setapak menuju sekolah,
singgah sebentar mengambil napas.
Jalan itu basah oleh embun yang belum sempat gugur,
sekolah memanggil dengan gema yang tak pernah letih,
sementara napas kadang meragu,
seiring dengan kelas yang tak lagi perlu nama,
ruang-ruang belajar yang kian sunyi,
papan tulis tinggal bayang memudar di balik layar kaca,
anak-anak tumbuh dengan jari
yang lebih cekatan dari langkah gurunya,
menggapai pengetahuan tanpa perlu mengetuk pintu,
sebab dunia kini membuka jutaan jendela,
meski segala kelimpahan itu belum memberikan jaminan,
keingintahuan justru jarang bersemi,
seolah cahaya terlalu terang
membuat mata enggan
mencari bentuk bayangannya sendiri.
Aku menatap zaman ini dengan hati yang ganjil,
di satu sisi, kagum pada derasnya arus,
di sisi lain, cemas pada perahu-perahu
yang memilih bergeming di dermaga,
berdiri di tempat yang sama,
mengulang pelajaran yang tak lagi menggugah,
seakan waktu tak meminta mereka menjelma,
sementara anak-anak pun berjalan tanpa peta rasa ingin tahu,
menghafal laju angin tetapi tak pernah bertanya.
Aku percaya,
setiap zaman menyembunyikan cahaya
bagi mereka yang mau mencarinya,
berharap guru kembali menjadi penjaga nyala,
bukan menara yang menjulang,
melainkan api kecil penuntun arah,
agar anak-anak menemukan keberanian
untuk bertanya lebih jauh daripada pelajaran yang dibacanya,
para guru kembali belajar bersama,
bukan mengajar dari atas singgasana lama.
Biarlah kelas berubah nama atau hilang sekali pun
asal keingintahuan tetap menjadi rumah,
tempat generasi tumbuh,
bukan hanya cerdas,
tetapi juga merdeka mencari makna zaman.
Belajarlah tanpa kenal lelah,
agar horizon pikiran makin luas.
Kutim, 19112025







