Kelisanan Bahasa

Perdebatan mengenai istilah sastra lisan merupakan persoalan akademik yang tidak sederhana. Istilah ini bukan sekadar masalah terminologi, melainkan juga menyangkut cara kita memahami hakikat kelisanan, dinamika bahasa, epistemologi masyarakat tanpa tradisi tulis, serta hubungan antara pikiran yang melek aksara dengan ingatan kolektif masa lalu yang sepenuhnya bertumpu pada tuturan tradisi. Esai ini berupaya menelaah apakah istilah sastra lisan memang tepat digunakan, atau justru menyiratkan bias budaya tulis (literasi) yang memaksakan kategori akademik modern terhadap warisan tradisi lisan yang sebenarnya memiliki logika kebudayaan tersendiri. Dalam konteks ini, penting pula untuk meninjau bagaimana bentuk-bentuk ekspresi lisan—seperti mitos, legenda, pantun, dan mantra— mewakili cara

berpikir, mengingat, dan menafsirkan dunia yang berbeda dari masyarakat tulisan. Dengan demikian, pemahaman tentang sastra lisan menuntut pendekatan lintas disiplin

yang sensitif terhadap konteks budaya, fungsi sosial, dan nilai estetika tradisi tutur.

• Pikiran Melek Aksara dan Bias Literer

Ketika manusia menemukan aksara, terjadi revolusi kognitif. Jack Goody menyebut literasi sebagai teknologi berpikir yang mengubah cara manusia mengorganisasi pengetahuan. Dengan tulisan, manusia dapat menyimpan informasi di luar kepala. Hal ini kemudian melahirkan paradigma berpikir baru yang tekanan analisis pada logistik, kategorisasi, dan sistematika Namun di dalamnya muncul masalah epistemologis: cara berpikir yang melek aksara cenderung memandang tradisi lisan sebagai bentuk budaya yang “belum maju” atau “pra-literer”. Selain mengubah cara menyimpan pengetahuan, literasi memungkinkan munculnya institusi formal seperti sekolah, perpustakaan, dan birokrasi yang mengatur informasi secara sistematis. Tradisi tulis juga mendukung pengembangan ilmu pengetahuan, filsafat, dan sejarah. Namun, kecenderungan menilai budaya lisan sebagai “pra-literer” sering mengabaikan kekayaan naratif, memori kolektif, dan strategi komunikasi kompleks yang dimiliki masyarakat lisan. Inilah persoalan ketika ilmuwan Barat pertama kali meneliti tradisi lisan. Mereka membawa bias literasi, lalu menafsirkan tradisi lisan melalui kategori tulis. Akibatnya, tradisi lisan sering direduksi menjadi “teks lisan” yang dianggap sejajar dengan karya sastra tertulis. Padahal, tradisi lisan tidak mengenal konsep teks dalam pengertian modern. Yang ada adalah ungkapan performatif yang lahir dari interaksi sosial dan berubah sesuai situasi. Selain aspek performatif, tradisi lisan juga mempertahankan sejarah, hukum adat, dan pengetahuan lokal melalui cerita, pantun, atau lagu. Setiap ungkapan bersifat kolaboratif dan kontekstual, memungkinkan komunitas menyesuaikan makna dengan situasi nyata. Reduksi menjadi “teks” menghapus interaksi sosial dan fungsi edukatif yang melekat dalam praktik lisan.

• Masa lalu yang lisan: imgatan kolektif sebagai arsip budaya

Sebelum adanya dokumentasi tertulis, sejarah dan memori budaya umat manusia sepenuhnya terjaga melalui tradisi lisan: mitos, legenda, petatah-petitih, cerita asal-usul (hikayat), mantra, ungkapan adat, hingga epos panjang. Tradisi ini berperan sebagai arsip budaya yang hidup. Menurut Jan Vansina dalam Oral Tradition as History (1985), tradisi lisan bukan sekadar cerita rakyat, melainkan sumber sejarah yang sah karena ia mengumpulkan pengalaman kolektif suatu masyarakat. Namun yang menarik, tradisi lisan bukan hanya bentuk penyimpanan memori, tetapi juga sarana negosiasi identitas budaya. Cerita lisan tidak hanya berfungsi untuk mengingat masa lalu, tetapi juga mereproduksi makna masa lalu sesuai kepentingan masa kini. Oleh karena itu, warisan lisan tidak pernah final dan selalu terbuka untuk perubahan. Inilah yang membuatnya berbeda secara ontologis dari teks sastra tulis yang dibatasi oleh linearitas waktu dan otoritas penulis.

• Apakah tepat berlatih oral literature = “Sastra lisan”

Istilah sastra lisan pertama kali populer dalam studi folklor dan filologi abad ke-19, namun sejak awal memicu permasalahan mendasar. Secara harfiah, istilah tersebut memadukan dua konsep yang berbeda secara epistemologis: lisan (lisan) dan sastra (literer/bertulisan). Penerjemahan ke dalam bahasa Indonesia menjadi “sastra lisan” semakin menimbulkan persoalan. Permasalahan muncul karena istilah ini memaksakan kategori sastra tulis pada tradisi yang bersifat performative, kolektif, dan kontekstual. Akibatnya, banyak aspek sosial, ritual, dan fungsi edukatif tradisi tutur terabaikan. Istilah “tradisi lisan” dianggap lebih tepat karena menghargai dinamika, fleksibilitas, dan peran komunitas dalam menjaga keberlanjutan pengetahuan lisan.

Mengapa istilah “sastra lisan” bermasalah?

1. Mengandung kontradiksi istilah: kata “sastra” di Indonesia Merujuk pada teks yang tertulis, padahal tradisi lisan tidak berbasis teks.

2. Paradigma bias tulis: menyebut tradisi lisan sebagai “sastra” berarti menilai tradisi tutur dengan kategori estetika sastra tulis.Menghapus sifat performatif: tradisi lisan tidak hanya berwujud kata-kata, tetapi juga mencakup gerak tubuh, konteks sosial, musik, dan ritual. Hilangnya dimensi sosial: disebut sebagai “karya”, padahal tradisi lisan adalah peristiwa komunikasi kolektif, bukan karya individu. Para sarjana kemudian mengkritik keras istilah ini. Ruth Finnegan lewat Oral Literature in Africa (1970) masih menggunakan istilah sastra lisan karena belum ada istilah alternatif, namun ia mengakui bahwa istilah itu tidak sepenuhnya tepat. Di Indonesia, Pudentia MPSS mengusulkan istilah “tradisi lisan” sebagai pengganti “sastra lisan”, karena lebih mencakup aspek sosial, budaya, dan performatif tradisi tutur.

• Tradisi lisan lebih luas dari sastra

Contoh konkret memperkuat argumen bahwa tradisi lisan tidak bisa direduksi menjadi “sastra

lisan”

Bentuk Lisan Termasuk Sastra? Kenapa Tidak

Mantra pengobatan tradisional Tidak selalu Fungsi ritual, bukan estetika Tutur adat dalam upacara Tidak Fungsinya normatif dan sosial Cerita Panji atau Hikayat Bisa ya Bersifat naratif- estetik Syair lisan dalam ritual laut Tidak sepenuhnya Bagian dari pertunjukan budaya, Dongeng rakyat Ya Mengandung estetika naratiftidak semua tradisi lisan adalah sastra, maka istilah “sastra lisan” panjang dan melingkar. Tradisi lisan lebih tepat dipahami sebagai produkbudaya yang mencakup fungsi estetik, sosial, ritual, historis, hingga didaktik.

• Kesimpulan

Menyebut tradisi lisan sebagai sastra lisan tidak sepenuhnya salah, tetapi tidak akurat dan terlalu sempit. Istilah tersebut lahir dari dominasi cara pandang literasi yang memaksakan kategori estetika tulis pada budaya tutur. Untuk menghindari bias epistemologis dan membuka ruang kajian yang lebih luas, istilah “tradisi lisan” jauh lebih tepat digunakan. Ia bersifat lebih ilmiah, inklusif, dan mencerminkan realitas performatif tradisi tutur. Pendekatan “tradisi lisan” juga memungkinkan peneliti memahami mekanisme transmisi pengetahuan, termasuk penggunaan simbol, metafora, dan pola naratif yang fleksibel. Hal ini membantu menilai kecerdasan budaya dan strategi komunikatif masyarakat lisan secara adil, sekaligus menghargai peran komunitas dalam menjaga keberlanjutan tradisi tanpa mengandalkan tulisan.

Essay

Syifa Widyastuti

Tagar:

Bagikan postingan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *