Kesehatan Mental Guru – Cepren Gayatri Candra Kirana

puisi guru

Kesehatan Mental Guru
Karya: Gayatri Candra Kirana


Perjalanan menuju sekolah membutuhkan waktu 15 menit. Masih berada di pusat kota hanya berbeda kecamatan saja. Dengan mengendarai sepeda motor kecepatan hanya 60 km/jam, membuatku terlalu lama di jalan dan tiba di sekolah mepet jam waktu masuk.

“Bu Sari sudah datanggg!!!” teriak Arya dari depan kelas ketika melihatku memarkirkan sepeda motor, memberitahu teman lainnya untuk bersiap-siap baris di depan kelas.

“Siapppp gerakkk!” komando dari Arya yang menjadi ketua kelas. Teman-teman yang lain dengan sigap meluruskan barisan dan sikap siap sempurna.
Setelah beranjak dari parkiran, aku selalu mampir untuk menyiapkan peralatan tempur mengajar anak-anak hebat di kelas. Buku absen dan kotak pensil aku bawa dan langsung menuju kelas. Menyalami anak satu per satu dengan sapaan salam yang hangat dan penuh antusias. Tidak ada rasa lelah perjalanan maupun ekspresi stres akibat beban administrasi pembelajaran, semua dirasa aman dan damai.

Kelas di mulai dengan berdoa, pemanasan di tempat, dan jargon semangat yang setiap hari menjadi tradisi motivasi, agar pagi hari yang fresh disambut dengan semangat membara untuk siap belajar. Sebelum guru memberi salam, anak-anak juga dibiasakan untuk merapikan seragam, meja, dan kursi, agar anak lebih siap belajar dan terlihat rapi.

“Bagaimana kabar anak-anakku yang hebat?” sapaanku dengan suara lantang dan semangat.

“ALHAMDULILLAH SEHAT, SENANG, CERIA!!!” jawab anak-anak kompak.

“Adakah yang tidak masuk sekolah hari ini?” absensi sebagai bentuk perhatian.

“Ada Bu, Dzakira izin tidak masuk karena sakit. Suratnya ada di meja Bu Guru” sahut Cita teman sebangku Dzakira dan rumah mereka berdekatan satu sama lain.

“Baik, terima kasih Cita. Kita doakan semoga Dzakira lekas membaik dan bisa kembali belajar bersama kita di sekolah” apresiasi kepada anak yang sudah bersedia menjadi pelopor kebaikan, membawakan surat izin temannya ke sekolah.

“Kembali kasih, Bu.”

“Baik anak-anak, hari ini kita akan belajar Ilmu Pengetahuan Alam kelas V dengan tema ‘Lingkunganku’ dan Bahasa Indonesia dengan tema ‘Puisi’. Sebelum dimulai, siapkan buku dan alat tulis kalian terlebih dahulu.”

“Baik Bu” sahut anak-anak tanpa ada basa-basi ngobrol dengan teman lainnya, drama ejek-ejekan, atau menjaili teman lain, suasana tenang dan damai.

“Sebelum kita masuk materi inti, Bu Guru akan memberitahu kalian tujuan pembelajaran kita pada hari ini. Mari kita rumuskan tujuan pembelajaran hari ini dengan tema “Lingkunganku”. adakah yang ingin berpendapatkan kita akan melaukan apa dan tujuannya apa, setelah materi sebelumnya kita sudah membahas fenomena alam.” apersepsi untuk memantik pola pikir anak merumuskan tujuan pembelajaran yang baru.

“Saya Bu, kemarin kita sudah membahas ekosistem di sekitar kita. Sepertinya sekolah kita terkena banjir setelah hujan lebat tadi malam. Bagaimana jika kita melakukan diskusi kelompok terkait itu?” usulan Arya memahami aturan, mengangkat tangan terlebih dahulu sebelum bertanya

“Saya juga ingin berpendapat Bu. Saya setuju dengan rencana Arya dan kita fokuskan diskusi untuk mencari tahu ciri-ciri lingkungan sehat. Kemudian kita bisa jadikan puisi untuk mata pelajaran Bahasa Indonesia.” usulan Bagas melanjutkan.

“Ide yang bagus, jadi pertama melalui kegiatan analisis pemecahan masalah, peserta didik dapat memahami penyebab masalah bencana alam yang terjadi di sekitar tempat tinggal dengan tepat. Kedua, melalui kegiatan menganalisis lingkungan, peserta didik mampu membuat karangan puisi bertema lingkungan sehat dengan tepat. Adakah yang ingin ditanyakan dari tujuan pembelajaran kita hari ini?” memberi kesempatan anak-anak bertanya untuk memahami tujuan pembelajaran, agar mereka mampu memahami gunanya belajar materi yang dipelajari.

“Bagaimana dengan proses belajarnya, Bu? Apakah nanti dipresentasikan?” tanya Cita. .

“Baik, Cita. Bu Guru akan jelaskan kegiatan belajar kita hari ini. Kalian akan dibagi menjadi lima kelompok, setiap kelompok berisi lima anak. Pembagian kelompok akan dipimpin ketua kelas. Sebelum kalian mulai bekerja, Bu Guru akan menyampaikan masalah terlebih dahulu, kemudian kalian cari jawaban dari masalah tersebut, dan presentasikan di depan kelas. Pembelajaran pertama kita gunakan untuk IPA, setelah istirahat baru kita mulai pembelajaran Bahasa Indonesia, sudah paham belum?” tanyaku untuk memastikan.

“Sudah, Bu!” sahut anak-anak penuh semangat.

“Silahkan ketua kelas membagi teman-teman dalam lima kelompok, langsung dipilih ketua dan sekretaris, setelah itu langsung bergabung dengan kelompoknya. Bu Guru izin mengambil lembar kerja kalian terlebih dahulu.”

“Siap, Bu!” jawab Arya langsung maju ke depan kelas, membungkukkan badan sedikit ketika hendak maju. Ia memimpin teman-teman membagi dalam lima kelompok secara acak dan sekretaris menuliskan hasil kelompok di papan tulis. Hal itu sudah menjadi rutinitas sebelum ada kegiatan berkelompok. Biasanya ada kesepakatan sistem acaknya seperti apa, sehingga semua merasa adil dan tidak ada yang dirugikan.

“Sudah dibagi kelompoknya?” tanyaku sembari membawa lembar kerja.

“Sudah selesai, Bu” jawab Arya sembari memperlihatkan hasilnya di papan tulis.

“Terima kasih Arya dan teman-teman. Sebelum menjelaskan terkait masalah, Bu Guru bertanya dulu kepada kalian. Kita kemarin sudah belajar ekosistem. Ekosistem ada di suatu lingkungan tertentu, misalnya di lingkungan sekolah ada taman yang berisi tumbuhan dan hewan-hewan. Utarakan pendapatmu terkait dengan apa itu lingkungan?” apersepsi pendahuluan.

“Tempat tinggal tumbuhan, hewan, dan manusia, Bu” jawab Cita.

“Tempat bernaung makhluk hidup di alam, Bu” sahut Arya bergantian dengan Cita. Tidak ada kerusuhan saat diminta pendapat secara klasikal, semua aman terkendali karena taat aturan.

“Jawaban yang hebat, kita definisikan bahwa lingkungan adalah suatu tempat berisikan makhluk hidup yang memiliki hubungan timbal balik dengan alam. Nah, kira-kira bisa nggak terjadi kerusakan di lingkungan kita akibat timbal balik itu?”

“Bisa Bu, contohnya tsunami, banjir, longsor” sahut teman yang lain.

“Benar sekali! Nah, sekarang Bu Guru akan menjalaskan permasalannya ya. Tadi malam di kota kita terjadi hujan lebat, dan ketika hujan lebat pasti ada genangan air yang cukup banyak di sekolah kita, atau bisa disebut banjir tapi skala kecil. Sekarang genangan airnya masih ada dibeberapa sudut sekolah. Nah, dari fenomena tersebut, Bu Guru minta setiap kelompok menganalisis penyebab dari banjirnya sekolah saat hujan, dan bagaimana ciri-ciri lingkungan yang sehat menurut kalian. Buat skema diskusi di kertas fortofolio yang akan Bu Guru bagikan per kelompok. Ada yang ingin ditanyakan?” peserta didik mendengarkan penjelasan dengan seksama.

“Saya izin bertanya, Bu. Selain menganalisis tempat, apakah kita boleh mencari sumber lain, misalnya dari buku perpustakaan?” tanya Bagas dari ketua kelompok 1.

“Pertanyaan bagus Bagas, nanti kalian boleh mencari referensi dari buku-buku di perpustakaan atau bertanya pada penjaga sekolah, dengan syarat harus beretika baik ketika bertanya. Sudah jelas?” jawabku mengingatkan anak untuk mengutamakan adab.

Tidak ada anak yang mengangkat tangan, pertanda mereka sudah memahami instruksi kegiatan kelompok. Tidak lupa juga penyampaian aturan kegiatan kelompok, jika ada peserta didik yang tidak bekerja, ketua kelas wajib melaporkan anak tersebut kepada guru. Guru akan memberikan sanksi setelah pembelajaran selesai atau sepulang sekolah, berupa bersih-bersih kelas membantu jadwal piket, maupun membersihkan ruangan lain. Agar anak jera dan tidak mengulanginya lagi.

“Waktu untuk analisis sampai pukul delapan lebih 30 menit, kemudian presentasi kelompok sampai istirahat pukul 10 kurang 15 menit. Silahkan boleh dimulai dari sekarang.” aba-aba untuk memulai kegiatan kelompok.

Dari kejauhan mereka sudah mulai melihat-lihat tempat yang menjadi fokus utama analisis masalah, yaitu genangan air. Ada yang menuju selokan, bak pasir olahraga, dan depan kantin yang tidak ada saluran pembuangan air. Aku sebagai fasilitator, mengamati mereka dan mengunjungi setiap kelompok untuk melihat progres dari diskusi dan pembuatan skema.

“Adakah kendala, Bagas dan teman-teman?” tanyaku ketika mengunjungi kelompok 1.

“Ada Bu, kami masih harus tanya penjaga sekolah untuk memastikan lagi hasil dari diskusi kami” jawab Bagas dengan tegas dan sangat berwibawa menjadi seorang ketua. Menjadikan kelompoknya kritis untuk saling bertukar pikiran.

“Untuk penyebabnya, sudah didiskusikan?”

“Kami menyimpulkan banjir di sekolah karena selokan terlalu kecil, dan ada sampah di selokan besar depan sekolah sehingga air tidak mengalir dengan lancar”

“Baiklah, untuk skemanya mau seperti apa?” tanyaku mengenai rencana skema analisis.

“Kita akan buat seperti mind mapping, Bu. Ada point bahasan ditengah dan penjabaran disamping-sampingnya” jawab Bagas sembari meminjam kertas yang dipegang sekretaris kelompok untuk menejelaskan gambaran skema.

“Perlu ada tambahan gambar nggak nanti?” saranku berkedok pertanyaan.
“Ada bu, kita berencana menggambar genangan air, hehe” Cita menambahkan.

“Baiklah, silahka dilanjutkan. Semangat!” kata motivasi yang sering kuucap.

Sama dengan kelompok lain, aku sebagai fasilitator menyambangi setiap kelompok dan memberikan saran jika memang perlu. Waktu analisis lapangan sudah selesai, kini saatnya mereka kembali ke kelas untuk menyampaikan hasil diskusi.

“Sebelum presentasi dimulai, Bu Guru akan menyampaikan aturannya. Setiap anak didalam kelompok harus mendapatkan kesempatan untuk berbicara, pembagiannya bebas. Kemudian setiap kelompok menuliskan saran untuk kelompok yang presentasi, ditulis dikertas, diberi nilai, terakhir dikumpulkan. Jadi setiap kelompok menilai empat kelompok lain, jelas ya?”

“Jelas, Bu!” sahut mereka tidak sabar ingin maju.

Dimulai dari kelompok satu, menempelkan skema hasil analisis di papan tulis. Mulai dengan perkenalan anggota, kemudian penjelasan hasil diskusi. Begitu pun sampai dengan kelompok lima. Guru mendengarkan sembari menuliskan capaian anak melalui presentasi tersebut.

“Kelompok kami menyimpulkan bahwa genangan yang ada di sekolah terjadi karena tidak adanya saluran pembuangan air di depan koperasi sekolah, dan selokan di sekolah terlalu kecil, tidak bisa menampung air dalam jumlah banyak. Pembahasan selanjutnya akan disampaikan oleh teman saya” penjelasan Arya dari kelompok terakhir.

“Lingkungan bersih menurut kelompok kami yakni jika terdapat saluran air yang tidak tersumbat oleh sampah, tidak banyak sampah berserakan, dan tidak ada genangan air, karena bisa menjadi sarang nyamuk DBD” jelas teman satu kelompok Arya.

Tepuk tangan gemuruh diberikan kepada setiap kelompok ketika selesai memaparkan hasil diskusi sebagai bentuk apresiasi. Kemudian guru menyimpulkan hasil diskusi semua kelompok, memberikan umpan balik dan meminta peserta didik menuliskannya di buku catatan. Bel istirahat berbunyi, anak-anak boleh beristirahat dan bermain di lapangan sekolah.

~*~

Teng…teng…teng, sontak lamunanku terhenti mendengar suara bel berbunyi, pertanda jam istirahat telah usai. Begitu asyiknya aku melamun, membuatku tidak fokus pada realita yang terjadi dihadapanku. Ternyata Arya, Cita, Bagas, dan teman-teman yang aku didik di sekolah itu hanyalah cerita khayalanku saja. Berharap cerita itu menjadi nyata dan ada di zaman modern saat ini, dimana banyak murid yang tidak mengenal apa itu tata krama, sopan, dan santun kepada guru, ataupun kepada orang yang lebih tua.

‘Zaman Edan’ kata penyair Ranggawarsita. Manusia zaman sekarang seolah-olah kehilangan identitas diri, mengikuti nafsu untuk kesenangan duniawi. Pendidikan belum mampu mengubah pola pikir anak, mengasah untuk bisa bernalar kritis. Sekolah hanya menjadi ajang untuk mendapatkan ijazah dan menghafal materi sebanyak-banyaknya. Semakin besar angka di rapot dan banyak piala yang didapat, maka semakin orang tua bahkan guru menjadi bangga.

“Sudah bel masuk Bu, belum ke kelas?” sapa Bu Marti bagian dapur sekolah.

“Iya Bu, ini sedang siap-siap” jawabku dengan nada lemas, seakan tubuh, hati, dan pikiran enggan untuk ke kelas, tapi kewajiban menuntut.

Meskipun suara bel sangat jelas dan keras, anak-anak tidak menghiraukan sama sekali. Mereka masih tetap asyik bermain di depan kelas bersama temannya. Aku berjalan dari ruang guru menuju kelas pun tidak ada anak yang perduli, atau merasa perlu untuk menyadari bahwa jam istirahat telah usai dan waktunya kembali ke kelas untuk belajar.

“Ayok anak-anak, waktu istirahat selesai. Masuk ke kelas!” pintaku dengan suara lantang.

“Nantilah Bu, lagi asyik main nih” sangkal anak didikku sembari mengusili temannya.

“Kalo gak mau masuk yasudah, tidak usah masuk kelas!” suara tegasku mengancam.

Anak-anak masuk kelas tanpa semangat karena kebahagiannya bermain harus direnggut untuk kembali belajar. Tulisan yang terkenal dan terpasang dibanyak sekolah sudah tidak lagi relevan dengan fenomena saat ini, seharusnya ‘Aku datang untuk belajar’ diganti dengan ‘Aku datang untuk bermain’. Begitulah realitanya, anak ke sekolah bukan karena motivasi belajar, tetapi karena ingin bermain bersama temannya.

Mereka kehilangan waktu bermain ketika di rumah karena sudah menjadi pecandu gawai. Ketika di sekolah tidak ada teknologi tersebut, naluri mereka berkeinginan untuk bermain. Sehingga abai dengan belajar, bahkan justru enggan untuk belajar jika bukan karena nilai. Nilai itulah yang menjadi fokusnya sekolah, tidak perduli dengan etika, tata krama, sopan, dan santun, yang terpenting dapat nilai bagus.

Semakin guru dituntut untuk akrab dengan murid, semakin murid tidak paham batasan bergaul dan tidak paham bagaimana cara menghomati guru. Kasus guru ditantang berkelahi oleh murid, anak-anak tidur di lantai saat guru menjelaskan, sudah cukup menjadi bukti tidak bermoralnya anak bangsa. Jika guru tegas, orang tua yang tidak terima akan menuntut. Kasus guru menyuruh anak untuk sholat pun bisa sampai ke jalur hukum.

“Sekarang kita belajar Bahasa Indonesia tentang puisi. Apa yang kalian tahu tentang puisi?” pertanyaan pemantik untuk memunculkan kembali ingatan anak.

“Gak tau, Bu” jawab ketua kelas dengan sedikit guyon, sedangkan yang lain tidak menggubris dan asyik ngobrol dengan sesama teman lainnya.

“Kalian mau belajar atau mau mainan aja? Kalo gak mau belajar, baiknya gak perlu daftar sekolah!” seketika ruang kelas hening mendengarkan omelanku yang terdengar agak keras.

Begitu seterusnya siklus belajar berlanjut, pembelajaran hanya berisi amanat-amanat lantang berbentuk luapan emosi guru yang berkedok fasilitator. Kini aku menjadi guru yang tegas dan emosional secara mental, berbanding terbalik dengan karakter asliku yang tidak suka marah. Ketika bersuara keras memperingatkan anak, yang terjadi jantung berdetak kencang, nalar buyar, dan nafas tidak teratur.

“Sekarang kalian buat puisi bertema ‘Lingkungan Sekolahku yang Sehat’, sesuai dengan hasil analisis kalian ketika di lapangan” pintaku sebagai tugas terakhir hari ini, yang sudah sangat lelah secara mental dan batin.

Anak-anak diminta membuat puisi berdasarkan hasil analisis lapangan yang gagal dipresentaikan dan didiskusikan secara klasikal diakhir, karena waktu terbuang untuk bermain di lapangan, bukan benar-benar berdikusi. Hasil diskusi kelompok pun sama gagalnya, tidak sesuai dengan ekspektasi. Seolah-olah mereka tidak mengerti apa itu ‘disiplin waktu’, tidak paham kapan waktunya belajar dan kapan waktunya bermain.

Pulang ke rumah waktunya untuk bersantai, menata kembali emosi-emosi negatif, melakukan afirmasi untuk memunculkan emosi positif. Di akun instagram pribadiku juga mengikuti para selebgram guru yang membagi kegiatan mengajarnya. Ternyata permasalahan etika murid di berbagai kota sama. Beredar juga berita bahwa profesi guru memiliki kesehatan mental paling rendah, bisa menjadi bukti besarnya beban moral yang harus ditanggung guru pada era saat ini.

Alih-alih berinovasi dengan metode, model, teknologi, untuk pembelajaran berdiferensiasi agar sesuai dengan kebutuhan zaman yang ‘katanya’ tertuang pada kurikulum baru saat ini. Justru karakter peserta didiklah yang harus menjadi fokus pendidikan, adab dahulu baru ilmu. Aku Sari (samaran) inilah sedikit dari kisahku menjadi guru.

Tagar:

Bagikan postingan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *