Kidung Sandyakala
Karya: Afiirha Arasuka
Ketika merindumu, hanya mampu memandang nisan tanpa ragamu
Jauh mata kita memandang, semakin jauh dari bayang-bayang
Ku meniti setiap perjalanan, pun menikmati proses dan alurnya
Namun hari yang ditunggu, tak kunjung hadir tuk bertemu
Dirgantara menepi dalam singgasananya, tuk hilangkan gundah gulana
Senyumnya tak pernah pupus, walau serpihan doa itu kian hangus
Menerjang ombak kian mendayu-dayu, namun karang tetap kokoh tanpa sayu
Hingga perlahan perjalanan yang hampa, menjadi terbiasa sepi cerita
Sejauh kemanapun kaki ini melangkah, setiap pijakannya tak akan pernah sampai
Karena alam telah memisahkan kita tanpa sebuah izin dari tuannya
Bumi memintamu tuk kembali, namun ragaku menginginkanmu tetap disini
Berlayarlah untuk menggapai impian, sekalipun renjana menghantui keadaan
Kepada angin kusampaikan salam rinduku, padamu yang telah lama pergi menemui panggilan Tuhanmu
Memandang langit gelap kelabu, inginku raih wajahmu dalam hamparan langit membiru
Kutuliskan sebaris cinta, kukirimkan lewat doa di setiap sujud ku meminta
Akankah masih ada keajaiban, walau kalbu ini sadar dirimu tinggal kenangan
Boyolali, 19 Mei 2024
Seperti Masa Tua yang Telah Kita Janjikan
Karya: Hardianti, S.Hum., M.Hum
Sewaktu itu kita duduk-duduk
di malam yang paling hening
usai menina-bobokan anak-anak kita
–kita bersiap-siap mengunduh janji
dengan semangkuk mie goreng
& teh botol dingin
Kita duduk-duduk dengan teramat lama
–mengekalkan cinta
dalam riuh debar di dada
sedang sepasang tangan
mengerat-eratkan pinta
Duduk-duduk
dengan waktu yang tak habis-habisnya
kita merencanakan hari-hari tua
dengan apa adanya
–sebagaimana pandangan pertama
yang memeluk erat-erat takdir
Kau dan aku dalam balutan malam
meminta temu pandang yang sama
dalam remang-remang hari tua
dan keriput
yang menanggalkan-nanggalkan
kemudaan
Sedang kini, sebagaimana masa tua yang telah kita janjikan
–lagi-lagi kita duduk-duduk
sembari menanggalkan umur
satu per satu
Toboali, 19 Mei 2024