Kisahku: Berkah Vs Rupiah
Karya: Triana Mauludiyah, S.H.
“Aku tidak mau jadi guru,” celetukku ketika Bapak menyinggung perihal cita-cita. Itulah aku, satu-satunya anak perempuan yang bisa dikatakan lebih terpenuhi dari segi pendidikan daripada kedua kakakku. Mereka hanya tamat SMA dan harus mempertaruhkan impiannya untuk menjadi seorang sarjana. Keadaan ekonomi keluarga mengharuskan mereka menyambung hidup dengan bekerja di luar kota. Sementara aku bisa mengenyam pendidikan sampai di bangku kuliah karena beasiswa.
Namaku Nana, aku adalah seorang pengajar di salah satu SMA swasta. Genap satu tahun aku telah menjalani kehidupan yang selama ini tidak pernah kubayangkan. Bagaimana tidak, selama hidupku tidak pernah terbesit untuk menjadi seorang guru. Bahkan profesi itulah yang kuhindari dari beberapa pilihan cita-citaku. Bukan tanpa alasan, melihat orang-orang di sekitarku yang berprofesi guru selalu sibuk dengan pekerjaan. Sejalan dengan hal itu, aku merasa tidak mampu untuk mengajar, bersosialisasi dengan murid-murid, apalagi dengan tugas yang harus diemban seorang guru. Itulah mengapa ketika tamat SMA aku tidak mengambil kuliah pendidikan khusus guru.
Perjalanan di awal perkuliahan ternyata tidak serumit yang kubayangkan. Semua kulakukan dengan senang hati dan sungguh-sungguh. Apalagi dengan beasiswa yang kudapatkan, tentu kesempatan untuk kuliah ini harus kugunakan dengan sebaik-baiknya. Menjadi salah seorang mahasiswa hukum merupakan keinginanku sejak dulu. Meskipun tidak ada skill yang mendukung untuk bergelut di dunia konstitusi, namun aku tetap mengambil keputusan tersebut karena senang melihat orang-orang di luar sana yang bisa menegakkan hukum di tengah acuhnya masyarakat di negara ini.
Kerikil-kerikil kecil mungkin bisa kusingkirkan dengan mudah, namun perjalanan tentu tidak dapat dipisahkan dengan tebing-tebing curam yang menghadang. Tepatnya di tahun 2023 merupakan tahun terakhirku menjadi mahasiswa secara hitungan akademik. Di titik inilah keluargaku harus mengalami permasalahan ekonomi untuk kesekian kali. Hasil panen kali ini menurun sehingga tidak ada yang bisa dijual dan hanya cukup untuk makan sehari-hari. “Apa yang harus aku lakukan?” pertanyaan itulah yang selalu menghantuiku. Setelah kukalkulasi semua kebutuhan menjelang akhir skripsi, rupanya banyak pengeluaran yang menguras kantong. Sedangkan beasiswaku tidak cukup untuk memenuhi semua itu. Meskipun kedua kakakku kini telah berpenghasilan, tetap saja dalam hatiku tidak ingin merepotkan mereka berdua. Karena mereka juga memiliki tanggungjawab untuk menghidupi keluarganya masing-masing.
Benar adanya bahwa Tuhan tidak pernah membiarkan hambanya mengalami kesulitan berlarut-larut. Di saat kegundahan menyelimuti, salah seorang temanku menawarkan lowongan pekerjaan di sekitar lokasi tempat ia bekerja. Meski harus ke luar kota, tanpa pikir panjang aku bergegas berangkat menemui orang yang membutuhkan karyawan tersebut. Selang beberapa waktu setelah berdiskusi akhirnya aku diterima dan bekerja sebagai pedagang kaki lima. Meskipun tampak berat, aku tetap membutuhkan pekerjaan ini untuk membiayai studiku. Untuk itu, aku segera mencari tempat tinggal yang paling dekat dengan biaya yang cukup murah.
Tanpa terasa hampir empat bulan lamanya aku hidup mandiri dengan menikmati peluh mencari uang. Suka duka kurasakan menjadi seorang mahasiswa akhir dan juga pedagang kaki lima di tengah-tengah kota ini. Aku berusaha keras untuk manajemen waktu sebaik mungkin. Pagi hingga sore hari kusempatkan pergi ke kampus untuk bimbingan dengan dosen, meski tak jarang harus pulang tanpa hasil. Setelah itu kulanjutkan untuk bekerja mendorong gerobak dagangan hingga larut malam. Hari-hari kujalani rutinitas ini dengan penuh semangat dan ikhlas. Meski seringkali harus merasakan penat dan sakit di sekujur badan harus kuabaikan untuk dapat upah yang sepadan.
Bulan telah berganti tepatnya di bulan Februari aku menerima telepon dari salah seorang guruku di bangku SMA kala itu. “Mbak Nana, bisa datang ke sekolah? Ada hal yang perlu saya sampaikan,” ujar beliau di ujung telepon. Meskipun dengan perasaan bingung, aku mengiyakan dan segera berangkat ke sekolah. Sesampainya di sana kami berbincang-bincang sembari melepas rindu di almamater tercinta. Setelah mendengar maksud dan tujuan beliau memanggilku, sontak membuatku kaget dan bingung. Beliau memberikan sebuah tawaran padaku untuk membantu mengajar di sekolah. Melihat latar belakangku bukan seorang guru, lantas akupun menolak dengan sopan. Namun tanpa kusangka, beliau tetap mengharapkan bantuanku untuk mengabdi dengan kemampuan apa saja yang kumiliki. Melihat sekolah tersebut yang terbilang kecil dan tengah membutuhkan guru, tentu beliau memang sangat berharap kesediaanku. Hal itu terpancar dari raut wajahnya yang serius menunggu jawabanku. Di situlah aku hanya terdiam tanpa memberi jawaban. “Kenapa harus aku? Kenapa harus guru?,” tanyaku dalam hati. Ada perasaan bimbang untuk memilih antara menerima atau tetap menolaknya.
Beberapa hari berlalu, aku belum juga mengambil keputusan. Sempat kudiskusikan dengan keluargaku, ternyata mereka sangat antusias mendukungku. “Kapan lagi kamu dapat kesempatan ini, apalagi kamu belum sarjana. Ambil aja,” jelas orang tuaku. Meski berat hati, kubuang sedikit egoku dan kuturuti apa yang dikatakan kedua orang tuaku. Tak berlangsung lama, setelah melalui beberapa tahapan akhirnya aku diterima secara resmi di SMA. Tentunya aku tetap meminta bantuan dan bimbingan dari guru senior. Mengingat dari segi pengalaman tentu aku masih sangat jauh. Selama ini pengalamanku mengajar hanya ketika di TPQ saja, itupun sudah beberapa tahun yang lalu. Beda halnya saat ini, menghadapi anak SMA tentu menjadi tantangan besar untukku. Namun setelah kupikir-pikir, apa yang dikatakan orang tua memang benar adanya. Tentu ini menjadi sebuah kesempatan emas bagiku meski harus berusaha keras untuk belajar mengajar dengan baik dan benar.
Minggu pertama kulalui dengan perasaan campur aduk. Tatapan penuh curiga timbul di antara wajah para murid remaja itu. Mendengar bahwa aku belum menjadi sarjana, bahkan dengan prodi yang berbeda membuat mereka semakin bertanya-tanya, “mengapa bisa jadi guru di sini?.” Hal itu sontak membuatku bergetar. Hadirku dianggap hanya sebatas koneksi karena aku adalah alumni. Meski guruku pernah meyakinkan bahwa aku memang bisa mengajar, namun tetap saja aku harus menhadapi pertanyaan-pertanyaan memilukan itu.
Hari-hari berganti, rutinitasku selama ini semakin padat dengan bertambahnya jadwal mengajar. Aku harus kesana kemari mengerjakan skripsi yang tak kunjung selesai. Di tambah pekerjaanku sebagai pedagang, tentu aku harus pandai membagi waktu agar semuanya tetap bisa kulakukan. Seringkali kubawa laptop dan buku saat bekerja untuk bisa menyelesaikan tugasku meski harus bergantian melayani pembeli. Namun semua itu tidak bisa kupaksakan, hampir sepekan aku jatuh sakit karena harus membagi waktu untuk ke kampus, bekerja dan juga mengajar. Mau tidak mau aku harus mengambil keputusan untuk merelakan salah satu pekerjaanku. Meski nantinya aku akan kehilangan sumber penghasilan dari salah satunya. Yang ada dalam pikiranku saat ini adalah bagaimana caranya aku harus segera menyelesaikan studiku dan wisuda tepat waktu di tahun ini. Sempat merasa bimbang untuk menentukan pilihan antara menjadi pedagang atau guru. Selama ini aku menerima upah yang cukup dari pekerjaanku sehingga aku bisa mencukupi kebutuhanku dan tempat tinggal untuk per bulan. Di sisi lain, aku baru saja menjadi guru di sekolah tentu tak enak hati untuk buru-buru mengundurkan diri. Dengan perasaan gusar, akhirnya aku memutuskan untuk berhenti bekerja sebagai pedagang. Masalah biaya untuk kebutuhanku akan kupikir nantinya.
Hidup memang tak pernah jauh dari permasalahan dan rintangan. Begitu halnya dengan perjalanan hidupku. Menjadi seorang guru tidak seperti yang kubayangkan. Meski dengan keraguan aku selalu menghibur diri untuk tetap menyesuaikan dengan keadaan. Setelah menerima upah untuk pertama kali, aku sedikit kaget dan terdiam. Ternyata upah guru tak sebesar yang kukira. Di situlah tubuhku terasa lemas dan tak bertenaga. “Padahal aku sudah rela berhenti bekerja, lantas bagaimana ini?,” cemasku dalam hati. Upah yang kudapatkan dari sekolah hanya cukup untuk membiayai hidupku selama sebulan. Sedangkan aku harus membaginya untuk keperluan studi dan biaya tempat tinggal. Tak hanya sampai di situ, perasaan kalut harus kurasakan berulang kali ketika mendapati rekan kerja yang tidak menerima kehadiranku dengan baik. Menjadi seorang alumni yang tidak memiliki latar belakang sarjana pendidikan tentu menjadi bahan perbincangan bagi orang-orang. Meski di depanku mereka selalu baik, namun ketika di belakang tak jarang mereka membicarakanku. Rasanya tidak betah harus menghadapi semua ini. Tak jarang aku harus menahan tangis, namun aku sadar tidak boleh berlarut-larut sedih. Aku yakin bahwa aku bisa bertahan dan melewati semua ini.
Bila kupikir-pikir, sejauh ini aku masih bisa bertahan di sini karena dukungan salah seorang guru yang selalu meyakinkan bahwa aku pasti bisa mengajar dengan kemampuanku ketika masa SMA di bidang pelajaran yang kuampu saat ini. Tanpa support darinya aku tidak pernah berpikir sampai disini. “Kamu bisa belajar lagi, kok. Kamu pasti mampu meskipun kamu bukan anak pendidikan, tapi saya yakin kamu menguasai di bidang ini,” katanya kala itu dengan penuh keyakinan.
Tak terasa perjalananku sebagai seorang mahasiswa juga telah usai melalui banyak cerita yang akhirnya bisa menyandang gelar sarjana. Bulan Juli 2023 menjadi momentum yang berharga ketika diriku dinyatakan lulus dengan nilai yang memuaskan. Itu artinya aku harus fokus untuk menjadi seorang guru tanpa harus memikirkan tugas studi. Aku selalu menghibur diri dengan terus belajar untuk menjadi guru yang baik dan menyenangkan. Salah satu kunciku bahwa aku harus bisa dekat dengan para murid, sehingga bisa diterima mereka dengan baik. Aku juga tidak pernah lupa untuk selalu meminta kesediaan hati para murid untuk mau belajar bersama tanpa membeda-bedakan bahwa guru harus lebih pandai daripada murid ataupun guru harus lebih tahu apapun daripada murid. Karena aku merasa bahwa kami bisa lebih dekat dan mampu menciptakan kelas yang menyenangkan bisa dimulai dari diskusi bersama. Ketika aku salah dalam menyampaikan, murid sangat disarankan untuk membantu meluruskan. Tak berhenti sampai di situ, aku mulai mewarnai suasana kelas dengan permainan dan metode belajar yang menyenangkan. Aku lebih banyak menghabiskan waktu bersama para murid tanpa harus merasa kesepian. Tanpa kusangka ternyata aku bisa diterima dengan baik oleh mereka, bahkan tak jarang mereka bercerita apapun itu padaku seolah tengah bercengkerama antara adik dan kakak. Hal itu membuatku semakin bersemangat mengajar. Berkat kesungguhanku, aku dipercaya oleh kepala sekolah untuk memegang beberapa acara di dalam maupun di luar sekolah yang melibatkan para murid dan masyarakat.
Tak kusangka pula, dari situ aku banyak belajar untuk bersosialisasi dengan mereka dan aku juga mendapatkan upah lebih dari acara tersebut.
Pernah terpikir olehku ketika diterima di sekolah ini bahwa menjadi seorang guru adalah suatu profesi yang keren. Ketika teman sebayaku masih sibuk dengan skripsi, sedangkan aku sudah disibukkan dengan mengajar. Selain itu, hanya dengan menyampaikan materi kepada para murid aku juga mendapatkan upah yang cukup tinggi. Namun semua itu adalah persepsi yang keliru. Guru adalah profesi yang sangat mulia dan pengorbanannya tanpa tanda jasa. Tanggung jawab guru memang berat adanya, tidak sekedar untuk datang ke sekolah dan mengajar lalu beranjak pulang. Namun, ketika menyelam lebih dalam lagi, mengajar sendiri membutuhkan metode yang beragam sesuai dengan fakta di lapangan. Di samping itu, guru juga diharapkan untuk rela mengabdikan diri untuk kemajuan sebuah instansi. Seperti yang dikatakan salah seorang guruku, “menjadi guru tidak hanya untuk mencari rupiah, tidak hanya mengajar di kelas. Tapi bagaimana kamu bisa menjadi orang yang berguna dengan ilmu yang kamu punya dan jadikan semua ini pengalamanmu untuk terus mengabdi di almamatermu sendiri. Carilah berkahnya, bukan sekedar rupiah.” Dari situlah aku sadar, Tuhan memberi jalan sejauh ini untuk kuhadapi. Di balik semua itu ada pelajaran berharga yang dapat kumaknai. Ketika semua kulakukan dengan ikhlas hati, Tuhan selalu memberikan jalan rejeki. Tanpa kusadari pula, studiku lekas selesai juga berkat iringan doa dari orang-orang yang selalu mempercayaiku bahwa aku bisa melakukan semua ini. “Aku memang tak pandai mengajar, namun aku tetap berusaha untuk belajar. Kalaupun upahku tak seberapa, namun bersama mereka para guru dan murid membuatku seperti menemukan keluarga. Aku yakin, tidak ada yang sia-sia. Kalaupun aku butuh biaya, Tuhan selalu mengatur jalannya.”
2 Responses
Lanjutkan dan terus karya, kenalkan pada dunia bahwa kamu ada.
Aaaa gak expect ada beberapa kesamaan di ceritamu mbak naa, semangat dan sukses terus💕