Kudapan Manis Bunda
Karya: Dimas Setyanto
“Jangan kau membicarakan orang lain sedangkan ia masih ada didekat-Mu.”
Tetangganya sendiri yang bergosip tentang gadis malang disamping-Ku. Ingin sekali kumarahi bibirnya yang tak bisa dikondisikan, sialnya posisiku sekarang dipasar. Gadis malang itu pasti sudah mencoba kuat, Ia hanya mengisyaratkan bagaimana hidupnya hampa. Bahkan beberapa tekanan, tak akan cukup untuk lebih menghancurkan keputusasaannya. Ia tak segan-segan mencoba menjadi orang yang benar-benar tuli.
Perjalanannya telah usai dilanda kerasnya hidup. Tapi aku tak mengerti, berkali-kali kuingatkan perjalanannya masih jauh. Raut mukanya menunjukkan kesanggupan untuk berhenti. Sebagai salah satu penyemangat hidupnya, aku mencoba keras, mencoba untuk mengajaknya menikmati liang-liang pasar. Tempat yang selalu ia jadikan penyejuknya, namun apa yang aku lakukan, jika orang-orang terus membicarakannya. Aku ingatkan sekali lagi hidupmu masih panjang,
“Senyum dong dik!” Pintaku.
Gadis itu seperti harapanku saat ini, benar-benar aku berikan tangan-tangan penyemangat, alunan bibir penggelora jiwa, bahkan jikalau mungkin semuanya. Aku hanya mau dia mengingat perjalanan hidupnya masih panjang. Langkah demi langkah aku dan dia menuju rumah kecil dan mungil, rumah yang di mana tempat berkeluh asa, menaruh kebersamaan buih keluarga. Di meja sering kali bunda menyiapkan kudapan manis penuh cinta. Gadis itu doyan memakan kudapan itu, tapi ia melupakan manisnya segala hal.
Sungguh, kudapan itu dibuat dengan penuh cinta tidakkah itu memberikan rasa harmoni dihidupnya? Ingat perjalananmu masih panjang, hei nona kau harus tetap berjalan dengan cinta. Kemudian pergi ke kamar, tanpa secuil kata. bunda selalu bilang ia butuh waktu, ia masih berjuang mengatasi traumanya. Aku tahu akan itu, tapi dia harus semangat, perjalanannya masih panjang.
Di samping kudapan itu terdapat buku masuk perguruan tinggi tapi edisi tahun lalu. Begitu aku pegang, aromanya seperti aroma kudapan manis bunda. Aku semakin yakin kekuatan cinta membuatnya berjuang sekali lagi, memperjuangkan asanya yang telah pupus. Abang tahu ini tak mudah, mencoba bangkit itu sulit.
***
Tatkala esok ia bangun, mengendap-endap, mencari kudapan manis bunda. Kuperlihatkan semangat lagi, membawa kudapan manis sembari buku masuk perguruan tingginya. Ayo-ayo semangat, di atas bukunya terdapat kudapan manis bunda. Air matanya berlinang, senyumnya pun kembali. Sempat terpintas ini bahwa ia mulai menerapkan pesanku, perjalananmu masih panjang, semangat. Ia segera menyiapkan sebuah kursi di depan meja makan. Mulutnya menyantap habis kudapan itu sembari membaca materi dibuku itu. Kudapan itu tak bersisa, ia telah menyelesaikan bahasan materi pertama.
Hari esoknya lagi mentari timbul, aku yang terbangun berusaha lagi menyempatkan diri untuk menyemangatinya. Namun, tanpa kusadari benih cinta di kudapan manis bunda telah membuatnya bertambah semangat. Aku lihat ia telah asyik duduk lagi di meja itu seperti kemarin. Sejujurnya aku yakin, bahwa setiap tekanan ia telan mentah-mentah, karena yakin kebangkitannya. Bahkan, setiap saat kerja, aku bisa membayangkan perkembangannya saat ini.
Tak diragukan lagi, bunda yang setiap kali sabar memberikannya rasa tegar menyalurkannya lewat kudapan itu. Rasanya memang nikmat, membuat setiap orang terkesima. Bahkan setiap kali aku membicarakan untuk membuat sebuah toko untuk berjualan kudapannya, ia selalu mengatakan bahwa kudapan in khusus untuk Zahira.
Melihat keyakinanku untuk gadis itu, aku semakin yakin bahwa ia akan lolos untuk masuk ke perguruan tinggi. Ingin sekali aku melihatnya membawa buku sambil membaca, lalu aku temani ditaman-taman perguruan tingginya. Kan benar kata abang, Zahira pasti bisa kok, hal itu pasti terwujud. Aku tak ingin ia mengalami nasib yang sama sepertiku, menjadi tulang punggung keluarga. Tak berkuliah, sudah cukup terpuruk kala itu. Abang Renza lebih kuat daripada semua hal, Abang sangat berbeda, penuh saluran cinta berbeda dengan Zahira yang masih harus disuluri cinta kata terakhir Abah masih terngiang di pikiranku, membuat aku yakin aku harus lebih bersemangat.
***
“Ihhhh, malas lagi aku!”
“Eh ada apa sayang?”
“Ini Buk, soal bagian akhir nggak ada jawabannya dibuku”
“Coba kamu makan kudapannya, barangkali nemu jawabannya”
“Astaga Bun, itu bukan solusi buat Adik Renza yang cantip”
Aku berusaha mengoreksi lagi buku perguruan tinggi gadis itu, memang benar soal yang ditulis berbeda jauh dengan materi yang ada dibukunya, karena soal prediksi tahun berikutnya. Sontak pikiranku sedikit ragu, apakah yang selama ini pelajari tak akan muncul saat tesnya nanti? Kucari tahu disudut-sudut desa, tempat percetakan buku, segalanya yang berhubungan dengan buku. Berbekal kudapan manis bunda, kekuatan cintanya membersamaku. Akhirnya ketemu, buku edisi 2024. Jalan yang aku tempuh ibarat roda sepeda motor dengan durasi satu jam. Demi semangat dan cinta untuk gadis itu.
Lalu, aku titipkan sepucuk surat untuk anggota rumah kecil dan mungil, terutama gadis itu. Tiba-tiba gadis itu menangis lagi sambil berteriak
“Abang-abang! Ibu, abang!”
Ia memberikan sepucuk suratku untuk bunda dengan penuh gemetar. Bunda membacanya tangannya seperti patah sepatah-patahnya hati seorang Ibu pada anaknya, tangannya ikut gemetar. Di samping buku itu aku titipkan paket berisi handphone baru dan buku titipannya. Gadis itu memeluk erat semuanya, bunda juga ikut memeluk, tatkala pada saat itu aku sudah tak dapat dilihat lagi tapi aku bisa melihat bunda dan gadis itu. Tapi aku masih cinta mereka, ikatan cinta kudapan manis itu tak pernah lenyap sedikit pun. Aku benar-benar senang karena ceritaku ditahun 2023 akan berguna untuk harapanku pada gadis itu. Aku memang tak selamanya berharap bisa menemaninya, tapi aku benar-benar lega karena bisa melihatnya bangkit dari rasa traumanya. Ayo semangat, perjalananmu masih panjang, akhir dari sepucuk suratku.
***
Tahun berikutnya, perasaanku lega, omongan-omongan yang pernah aku ucapkan seperti dikabulkan. Aku berpilu tak kasat mata, dari kejauhan berjalan mendekat terlihat bunda dan gadis itu. Gadis itu memegang hasil ujiannya, wajahnya sangat cerah, senyumannya kini terbuka, sangat berbeda dengan tahun sebelumnya. Lalu, bunda tampak asyik berjualan, ia menuruti apa yang aku mau, dengan berjualan kudapan manis yang penuh cinta, hingga aromanya mengantarkanku untuk bisa terharu melihat mereka bahagia.
Gadis itu kembali duduk melihat buku yang aku berikan dulu, benar-benar tak disangka ia masih terlihat sedih. Andai saja kejadian kecelakaan abang tak terjadi Bun, pasti kini aku memeluknya dengan erat, menanggapi perasaan gadisnya itu, bunda kembali menguatkannya sambil memberikan sepucuk suratku. Bunda menggenggam pena ditangannya, lalu memberikannya pada gadis itu, tulis balasan pesan untuk abang. Menorehkan aksara yang benar membuat perasaanku harus melepaskan, mengakhiri cerita ini.
“Terima kasih abang, abang sudah berhasil, berhasil membuat adikmu memahami arti tentang kalimat perjalananmu masih panjang yang telah tersampaikan di titik tahun ini”
Hatiku melampaui perasaan lega, entah rasa apa itu namanya, telah tercapai semua. Aku menghilang ditengah-tengah angin yang berhembuskan aroma kudapan manis cinta.