Langit yang Tak Lagi Dihafal

Di sudut belakang kelas, Damar duduk diam dengan wajah nyaris tanpa ekspresi. Buku biologi terbuka di depannya, tapi pandangannya kosong. Dia tahu besok ulangan. Dia tahu harus menghafal. Tapi sore itu, langit terlalu biru untuk diabaikan.

Dia mendongak sedikit ke jendela, melihat awan yang berjalan perlahan seperti anak-anak kecil yang belum tahu arah pulang. Hatinya penuh tanya. Apa gunanya semua ini? Angka-angka di rapor, nilai sempurna, hafalan rumus, dan definisi-definisi yang bahkan tak pernah menyentuh hatinya?

Dia pernah punya mimpi, jauh sebelum dunia menilainya dari angka. Dia ingin menjadi pembuat film dokumenter. Mengelilingi Indonesia. Membuat dunia tahu bahwa tanah ini indah, bahwa manusia di dalamnya hebat, kuat, dan layak diperjuangkan. Tapi mimpi itu terasa seperti hantu dalam kotak sepatu: ada, tapi tak pernah dilihat lagi.

“Damar.”

Suara itu lembut, tapi cukup membuatnya menoleh.

Bu Lintang berdiri di sampingnya, guru sosiologi yang baru beberapa bulan mengajar di sekolah itu.

“Boleh Ibu duduk?”

Damar mengangguk. Suasana kelas sudah sepi. Bel pulang sekolah telah lama berbunyi.

“Ibu tadi lewat dan lihat kamu tidak mencatat apapun saat pelajaran. Ada yang kamu pikirkan?” tanya Bu Lintang sambil tersenyum.

Damar ragu. Tapi ada sesuatu dalam cara Bu Lintang bertanya yang membuatnya merasa tidak sedang diinterogasi. Lebih seperti ditanya oleh seseorang yang sungguh ingin tahu, bukan untuk menghakimi.

“Apa gunanya semua ini, Bu?” akhirnya Damar bertanya pelan. “Kita terus belajar, disuruh dapat nilai bagus, ikut lomba, hafal materi. Tapi setelah itu… apa? Apa kita berubah jadi manusia yang lebih baik?”

Bu Lintang terdiam sesaat. Lalu ia menatap langit dari jendela yang sama.

“Langit hari ini bagus ya,” katanya.

Damar mengangguk.

“Kamu tahu, Damar, Ibu dulu juga seperti kamu. Dulu Ibu ingin jadi penulis cerita anak. Tapi hidup membawa Ibu jadi guru. Dan tahu tidak, ternyata mengajar itu seperti menulis juga. Hanya saja… tinta yang Ibu pakai adalah pengalaman hidup.”

Damar tak menjawab. Tapi matanya menunjukkan ketertarikan.

“Ibu paham, banyak anak merasa terpenjara dalam angka. Seolah nilai rapor adalah takdir hidup. Padahal, yang lebih penting dari angka adalah dampak. Apa gunanya cerdas jika tidak membawa perubahan untuk sekitarnya? Untuk keluarga? Untuk lingkungan? Untuk Indonesia?”

Damar menyentuh sampul buku biologi itu.

“Ayah saya petani, Bu. Di desa. Saya selalu ingin bisa buat dokumenter soal petani dan tanah mereka yang makin tergusur. Tapi itu dianggap tidak penting. Katanya film tidak bisa bikin hidup layak.”

Bu Lintang tersenyum. “Lalu kamu percaya begitu saja?”

Damar menghela napas. “Saya jadi ragu, Bu.”

“Saat Ibu seumur kamu, Ibu pernah membaca satu kalimat yang Ibu tidak pernah lupa sampai hari ini,” ucap Bu Lintang pelan. “Bahwa mimpi yang baik tidak pernah padam. Dia hanya menunggu pemiliknya cukup berani untuk menyalakan kembali.”

Mata Damar mulai berair. Ada sesuatu dalam dirinya yang selama ini diam, kini seperti disentuh perlahan. Dia tidak menangis, tapi dia merasa dihargai.

“Menjadi peserta didik itu bukan soal mencari nilai semata,” lanjut Bu Lintang. “Ini adalah masa paling baik untuk tumbuh, bereksperimen, gagal, dan bangkit. Kamu sedang membentuk karaktermu. Dan karakter itu akan lebih tahan lama daripada nilai di rapor.”

Damar diam cukup lama sebelum akhirnya berkata, “Kalau begitu… bolehkah saya buat film pendek untuk tugas akhir proyek sosiologi nanti, Bu?”

“Bukan hanya boleh,” jawab Bu Lintang sambil tersenyum. “Ibu akan jadi penontonnya yang pertama.”

Dua bulan berlalu. Proyek film pendek Damar selesai. Judulnya “Langit Tak Lagi Dihafal”. Dia mewawancarai petani di desanya, merekam wajah-wajah tua yang masih tersenyum di tengah harga pupuk yang tak bersahabat. Dia menyusuri sawah, menunggu fajar, merekam suara alam yang jarang lagi didengar anak kota. Dia berbicara, menarasikan bukan sekadar fakta, tapi perasaan.

Hari itu, seluruh kelas menonton film Damar. Sebagian tertawa, sebagian tertunduk, dan ada yang diam tak berkedip. Bahkan teman yang biasa mengejek Damar karena “tidak ikut lomba” mengaku bahwa film itu membuatnya ingin pulang dan memeluk ibunya.

Di akhir pemutaran, Bu Lintang berdiri dan berkata, “Hari ini, kalian telah belajar satu hal penting. Bahwa kecerdasan bukan sekadar angka. Tapi tentang bagaimana Dia bisa menyentuh hidup orang lain.”

Damar menatap teman-temannya. Dia tidak mendapatkan nilai seratus, tidak juga piala. Tapi Dia tahu, hari itu, Dia sudah memberi sesuatu yang berarti.

Dan langit di luar sana, tidak perlu lagi dihafal.

Karena kini, Dia sedang dihidupi.

***

Damar tidak tahu apa yang akan terjadi lima atau sepuluh tahun ke depan. Tapi sejak hari itu, Dia tahu satu hal pasti: bahwa kebermanfaatan tidak harus menunggu sempurna. Dia telah memulai dengan satu kamera dan satu keyakinan kecil bahwa menjadi pelajar bukan sekadar tentang menjadi pintar, tetapi menjadi sadar. Dan dari kesadaran itulah, perubahan bisa dimulai. Meski pelan, meski sunyi. Sama seperti langit, yang tidak lagi dia hafal, tapi telah menjadi bagian dari jalan yang dia pilih sendiri.

Dia menyadari, sekolah bukan tempat untuk mengumpulkan angka demi bangga diri. Sekolah adalah taman tempat menanam nilai, keberanian, dan kepedulian. Di sanalah karakter tumbuh, bukan untuk diri sendiri, tapi untuk dibagikan kepada dunia. Sebab pada akhirnya, manusia diingat bukan karena nilainya, tapi karena jejaknya.

Dan jika suatu hari kau lupa semua rumus dan teori yang kau pelajari, semoga kau tetap mengingat satu hal ini: bahwa hidupmu penting karena berguna, bukan hanya karena pintar.

Tagar:

Bagikan postingan

5 Responses

  1. Tapi tempat belajar dan memberikan makna dari setiap proses yang ditempuh.
    Mempelajari ilmu pengetahuan, lalu memikirkan akan digunakan untuk apa ilmu tersebut 🙂

  2. Pada akhirnya kita belajar dari kisah Damar. Apa yang kita pelajari hari ini pasti akan ada dampak positif untuk kedepannya, meskipun terkadang kita merasa hal itu tak ada gunanya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *