Langkah Kecil Ali – Cerpen Tutut Hilda Rahma

puisi guru

Langkah Kecil Ali
Karya: Tutut Hilda Rahma


Rasa bangga dan syukur terukir indah pada raut wajah kedua orang tuaku. Barangkali mereka berpikir akhirnya putri semata wayangnya lulus kuliah setelah melalui sepuluh semester. Tiga bulan menyandang gelar sarjana pendidikan tak lantas membuatku lekas dapat pekerjaan. Orang bilang susah kalau tidak punya orang dalam. Huft, berapa lamaran lagi yang harus aku kirimkan ke sekolah-sekolah. Beruntung kedua orang tuaku tidak mempermasalahkan itu.

Pagi ini aku kembali ke rutinitas sehari-hari, menyalakan laptop dan membuka e-mail. Sesekali aku pun mengecek handphone. Getar handphone pertanda notifikasi baru telah muncul, aku membacanya perlahan.

“Selamat Anda lolos seleksi …” Seolah tak menyangka dengan pesan yang barusan aku baca. Akhirnya ada panggilan kerja!

Anak lelaki berperawakan gembul, kulit sawo matang itu tiba-tiba mengajakku bersalaman. Tangan mungilnya dengan cepat meraih tanganku dari arah belakang. Aku yang sedang jalan pun sontak terkaget.

“Selamat pagi anak-anak, Perkenalkan nama Ibu, Bu Lia, Ibu yang akan mendampingi anak-anak belajar di kelas satu”

“Yeay …” wajah ceria anak-anak yang kompak menyambut perkenalanku.

“Bu, Ibu sudah punya anak belum bu?” Rian bertanya dengan polosnya

“Bu, nanti pulangnya jam berapa bu?” Ali menyeletuk ditengah-tengah perkenalanku sebagai guru. Oh, dia anak pertama yang menyalamiku pagi tadi. Ini akan menjadi petualangan yang seru batinku.

Tak terasa tiga bulan sudah aku menjalankan tugas sebagai guru. Ternyata menjadi guru tidak semudah yang aku bayangkan. Menyiapkan bahan ajar, media pembelajaran dan merencanakan pembelajaran di kelas sudah menjadi makanan sehari-hari. Bahkan tugas adminstratif itu belum sebanding ketika berhadapan dengan anak-anak langsung di dalam kelas. Belum lagi harus melayani wali murid yang kurang mengenakan hati. Aktifnya anak-anak membuatku setiap kali selesai jam mengajar merasa lelah sekali. Saat seperti itu rasanya aku hanya butuh diam. Tidak ditanya apapun dan oleh siapapun, hanya diam dan mengatur nafas. Mengembalikan energi dan suaraku yang sudah menipis.

Tingkah anak-anak yang selalu ceria dan aktif kadang menjadi hiburan gratis ditengah penatnya aktifitas. Pertanyaan polos dan berulang seolah menjadi bagian yang tak terpisahkan

“Bu, penghapusku hilang”

“Bu, ada yang nangis pup di celana”

“Bu, itu ditulis?”

“Bu, istirahatnya kapan?”

“Bu, pulangnya jam berapa?”

Pertanyaan itu seolah menjadi pola, berulang kali dijawab, berulang kali pula ditanyakan. Aku tak pernah menyangka akan menjadi guru kelas satu, salah satu amanah Tuhan yang besar bagiku. Aku si anak bungsu yang kesabarannya setipis tisu dibagi dua, sekarang sudah menjadi guru. Masih ingat betul dulu kuliah mengambil jurusan pendidikan hanya karena mengikuti kemauan ibuku. Katanya, perempuan itu besok akan menikah dan punya anak, tidak perlu muluk-muluk cari kerja. Guru dianggap menjadi profesi ideal bagi perempuan yang mau berkarir. Ditugaskan menjadi guru, aku dituntut untuk selalu membangun suasana yang menyenangkan, berperan menjadi pembimbing, penasihat, pendengar yang baik dan tentu menjadi pendidik. Sampai saat ini aku pun masih kerap merenung, Apakah aku bisa?

Kaki kecilnya melompat-lompat melewati setiap lantai di lorong meja kelas. Tangannya menepuk setiap meja yang ia lewati. Anak-anak lain antusias antri meminta tugasnya untuk segera dibintang. Sementara ia masih asik sendiri.

“Ali, tugasnya sudah selesai?” Ali menghentikan lompatnya, dan hanya meringis menjawab pertanyaanku.

“Ali, ayo selesaikan dulu tugasnya nak, jangan dulu main” Aku menghampiri meja dan membuka bukunya. Seperti biasa, buku hanya berisi corat-coret gambar. Entah sudah berapa kali aku menegurnya. Ali hanya menatapku, memainkan pensil dan kakinya yang tak berhenti bergerak di bawah meja.
“Ali, tolong kalau Bu Lia menjelaskan perhatikan ya” Lagi-lagi Ali hanya menggelengkan kepala dan meringis. Huft, untungnya hari ini aku cukup sabar menghadapi Ali.

“Bu, tadi Ali nendang aku sampai jatuh bu” Rian melapor perilaku Ali sambil menekuk bibir.

“Iya tadi Ali juga mukul anak cewek bu” Aku mengambil nafas dalam-dalam sambil mendengarkan penuturan Cinta. Entah sudah berapa kali anak yang melapor tentang perilaku Ali.

Pernah suatu ketika aku baru satu bulan menjadi guru ada laporan dari anak kelas enam, bahwa Ali meludah di kaki kakak kelas. Tentu saja kakak kelasnya tidak terima, Ali yang ketakutan bersembunyi di bawah kolong mejaku. Aku mencoba mendamaikan mereka, beruntung kejadian berakhir dengan saling memaafkan.

Pelajaran berganti, ini jadwalku mengajar matematika. Anak-anak terlihat antusias menjawab setiap pertanyaanku. Belajar berhitung sederhana memang menjadi materi favorit bagi mereka.

“Ali, tolong perhatikan Bu Lia, ini angka tiga, ada lengkungnya” Aku mengoreksi tugas Ali dengan sedikit emosi. Ali mengangguk, mencoba menuliskan kembali angka tiga.

Aku sengaja meminta Ali duduk di samping mejaku persis, supaya aku mudah memastikan dia mengerjakan tugas. Aku mengecek kembali tugasnya Ali.

“Ali angka tiga itu lengkungnya menghadap ke kiri bukan ke kanan, itu kebalik! Hapus!” Aku yang habis kesabaran lepas kontrol berbicara dengan nada tinggi. Seketika kelas hening sejenak.

“Sabar Bu Lia, namanya juga belum tahu” Dzaky menyeletuk seola-olah menyadarkanku. Aku tertegun dan diam sejenak. Benar apa yang diucapkan Dzaky, seharusnya aku bisa lebih sabar.

“Maafkan Bu Lia ya nak” Aku mengusap lembut kepala Ali. Dia hanya tertunduk, takut aku berbicara nada tinggi lagi.

Bel pulang sekolah berdering kencang. Anak-anak kompak bersorak ria, bersiap menggendong tas masing-masing dan berdoa. Aku berdiri di samping pintu, menyalami anak satu persatu. Memastikan bahwa mereka sudah dijemput orang tuanya. Tibalah saatnya Ali bersalaman denganku. Aku menatapnya lekat-lekat, ia menunduk seolah menyadari kesalahannya.
“Ali, Bu Lia mau bicara sebentar” Ali mengangguk.

Suasana kelas kian sepi, di ruang ini hanya ada aku dan Ali. Aku menatapnya tanpa sepatah kata pun. Ali menunduk sambil menekuk bibirnya. Tangan mungilnya tak berhenti memelintir telapak mejaku. Emosiku rasanya masih memuncak, sudah tiga kali aku mengajaknya bicara. Tapi Ali tidak ada perubahan sama sekali. Pernah saking tidak kuatnya aku menghadapi Ali, terpaksa aku hukum Ali belajar di luar kelas. Lima menit kemudian aku cek ternyata dia lari-lari di taman depan kelas. Sungguh tidak merasa bersalah sama sekali.

“Ali tau kenapa Bu Lia memanggilmu?” Aku bertanya dengan ekspresi sedikit mengintrogasi.

“Menurut Ali kalau Bu Lia menjelaskan, tapi Ali mainan pensil dan tidak fokus itu baik atau tidak?” Ali hanya menggelengkan kepala.

“Memukul teman, mendorong sampai temanmu jatuh itu baik tidak?”

“Rian duluan, mukul terus … terus di siniku” Ali menuturkan dengan terbata-bata, sambil memegang lengan yang dipukul Rian.

“Iya Rian mukul tangan kamu, mukulnya keras ngga?” Ali hanya menggelengkan kepala.

“Kenapa Ali membalas Rian sampai ditendang jatuh?” Ali kian tertunduk.

“Apa benar Ali yang memulai duluan menyembunyikan pensil Rian?” Ali mengangguk. Aku semakin menggerutu dan kesal. Kenapa dia tidak seperti anak-anak yang lain? Ini kemampuan dasar sosial anak kelas satu. Kenapa dia belum paham aturan sosial mana yang boleh dan tidak boleh?

Masih teringat di memoriku ketika aku berbicara dengan ibunya Ali beberapa minggu lalu. Aku menjelaskan kondisi Ali yang secara kognitif dan afektif tertinggal jauh dari teman-temannya. Belum bisa membaca, membedakan huruf dari A sampai Z, bahkan menghitung jari dari satu sampai sepuluh pun dia masih kebingungan. Padahal itu kemampuan dasar yang perlu anak miliki di kelas satu. Aku pun mengeluhkan kemampuan verbal Ali yang tidak sama dengan temannya, dia belum paham makna dari kosa kata tertentu. Sehingga teman-temannya sering kali tidak paham dengan apa yang disampaikan Ali. Aku sedikit kecewa, karena respon ibunya pun hanya membenarkan kondisi Ali yang seperti itu.

“Kalau menurut saya bu, Ali itu memang sebaiknya tidak di sekolahkan di sini. Kemampuan kita terbatas untuk menangani anak yang seperti itu. Dia perlu bantuan psikolog bu” Aku hanya diam mendengar penuturan Pak Sony di ruang guru. Pak Sony ini salah satu guru olahraga favorit di sekolah kami.

“Iya bu saya setuju dengan Pak Sony. Dia perlu terapi untuk kemampuan perilaku sosialnya, saya kalau ada jam di kelas Bu Lia, ngga ada anak yang mau duduk sama Ali” Bu Dian menambahkan, aku pun semakin dilema. Besoknya saya ada janji bertemu dengan Ibunya Ali untuk yang kedua kali.

Jam sekolah telah selesai, seperti biasa aku meluangkan tiga puluh menit untuk sesi pelayanan komunikasi dengan wali murid. Hari ini aku sudah janji dengan ibunya Ali. Ibu Ali mengetuk pintu kelas perlahan dan aku persilahkan masuk. Di depan Ibu Ali aku bercerita panjang lebar. Menjelaskan kemampuan akademik dan perilaku Ali ketika di sekolah. Aku tatap mata Ibu Ali yang mulai terlihat berkaca-kaca. Sebagai sesama wanita aku pun paham perasaannya. Ibu mana yang mau anaknya tertinggal dengan teman-temannya? Aku pun memberanikan diri untuk menyampaikan ini, demi kemajuan belajar Ali.

“Mohon maaf bu kalau anak saya banyak merepotkan ibu di sekolah. Dari kecil Ali memang kurang perhatian bu, karena saya dan suami sama-sama kerja. Saya titipkan Ali dengan si mbahnya dari usia 2 tahun, sama mbahnya itu Ali selalu dikasih handphone supaya anteng. Itu yang menyebabkan Ali sekarang kurang lancar berbicara. Saya pun tidak tahu harus bagaimana bu, saya tidak mau anak saya di sekolahkan di SLB” Aku menghela nafas mendengar ibu Ali bercerita sambil terisak.

Dengan berat hati, sebagai wali kelas aku memberinya dua pilihan. Pertama, apabila Ali tetap sekolah di sini, maka harus ada pihak ketiga yaitu psikolog atau tenaga ahli yang membantu terapi Ali. Kedua, Ali dipindahkan ke sekolah inklusi di mana ada pelayanan psikolog untuk anak yang memerlukan bimbingan. Di sekolah inklusi ini biasanya terdapat dua guru dalam satu kelas. Sehingga menurutku Ali akan lebih berkembang apabila belajar di sana. Tapi ternyata, tak disangka Ibu Ali lebih memilih pilihan pertama.

Aku merasa senang Ibu Ali mau memperhatikan saranku. Menurut penuturannya, dari pembicaraan terakhir kami beberapa waktu lalu Ali rutin untuk terapi.

“Alhamdulillah bu, Ali mau ikut les renang dan terapi seminggu dua kali sama psikolog di rumah sakit” Aku merasa terharu mendengar penuturan Ibu Ali. Aku pun terus memberinya semangat untuk tidak pernah lelah mengusahakan yang terbaik untuk Ali.

Tiga bulan berlalu, akhir semester telah tiba. Aku merasa ada perubahan yang cukup signifikan dengan perilaku Ali. Ali sudah mulai bisa fokus dan mampu mengendalikan perilakunya. Mulai bisa membaca suku kata dengan huruf vokal a. Di kelas, Ali pun sudah jarang lari-lari keliling kelas. Hal yang membuatku semakin bangga dan terharu dengan Ali, dia sudah mulai mau mengerjakan tugas.

Aku pun tersadar, mungkin Tuhan menitipkan Ali di kelasku untuk mengajarkan arti sabar. Dari Ali aku belajar banyak hal, belajar menerima, dan sabar berproses langkah demi langkah setiap tahap perkembangan hidup kita. Belajar tidak membandingkan pencapaian tahap perkembangan anak. Dan yang paling penting belajar memposisikan bahwa murid adalah manusia yang sangat berharga. Sebagai guru harus menyakini bahwa setiap anak memiliki keunikan masing-masing. Tidak ada anak nakal dan bodoh, yang ada kita belum maksimal untuk membimbingnya. Barangkali ini yang dimaksud dengan merdeka belajar, merdeka dari belenggu macam-macam pencapaian ideal menurut kita. Terimakasih Ali sudah menjadi bagian dari perjalananku, di tahun pertama aku menjadi guru.

Tagar:

Bagikan postingan

20 Responses

    1. Nini pengalaman pribadi yaa.. wkwk

      Lanjutkan kegabutane yaa nii biar bisa lebih produktif lagi menulisnya 🤣

      Fighting Nini ❤️🌹

  1. MasyaAllah luarbiasa cerita yang sangat menginspirasi bagi guru yang sedang berjuang dengan segala tuntutannya tetapi masih mau memperhatikan perkembangan peserta didiknya

  2. Inspired bgt kak tulisannya, semangat terus ya jadi figure seorang guru tentu gamudah, semoga senantiasa diberi kesabaran dan ketekunan.
    Dan semangat juga menuangkan kisah dalam bentuk tulisan gini, jadi bisa menginspirasi pembaca yang mungkin gak memiliki pengalaman seperti itu, mungkin lewat tulisan tulisan inspiring kayak gini bisa menaikan minat baca❣️

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *