Perkenalkan, namaku Ani. Aku adalah seorang guru di sebuah sekolah menengah kejuruan. Sudah 18 tahun mengajar. Di sekolah, siswa-siswi biasa memanggilku Bu Ani. Aku mengajar sebagai guru produktif.
Hari ini, aku menerima Surat Keputusan (SK) pindah tugas dari kepala sekolah. Surat itu merupakan SK resmi dari Dinas Pendidikan dan Kebudayaan itu kini ada di tanganku. Sebagai seorang guru, aku tahu betul, profesi ini menuntut kesiapan untuk di tempatkan dimana saja. Tak ada kata menolak, hanya belajar menerima, beradaptasi dan tetap mengabdi.
Bagaimana dengan sekolah yang baru?
Dengan membawa SK ditangan, aku datang melapor ke sekolah yang baru. Sekolah ini terletak di dalam gang di antara rumah-rumah penduduk. Sekolahnya cukup sederhana, bahkan tidak memiliki akses jalan utama sendiri.
Saat aku tiba, para guru sedang mengadakan rapat. Aku pun masuk ke ruang rapat dengan hati yang berdebar. Kepala sekolah segera menyambutku dengan ramah. Ternyata, beliau pernah menjadi kepala sekolah di sekolahku yang lama. Ada sedikit rasa lega yang kurasakan karena setidaknya ada wajah yang sudah kenal di sini.
Tanpa banyak basa-basi, aku langsung diminta untuk memperkenalkan diri. Ada rasa gugup yang sulit kutahan. Aku sadar, harus kembali beradaptasi di tempat baru ini.
Kulirik sekeliling, Sebagian besar guru-guru di sini masih muda-muda. Dalam hati aku membatin, “semangat mengajar mereka pasti masih segar dan membara.”
Setelah aku selesai memperkenalkan diri, kepala sekolah menyampaikan bahwa aku sudah bisa mulai mengajar keesokan harinya.
Dengan semangat yang membara, aku mulai berdandan rapi untuk berangkat ke sekolah baru. Ada debaran kecil di dada saat sepeda motor ojek online membelah jalanan menuju sekolah. Kulihat jam tangan, oh…masih pukul 06.30 WIB, waktu yang pas untuk sampai tepat waktu.
Sesampai di sekolah, suasana masih sepi. Aku menunggu di halaman sambil menikmati udara pagi yang sejuk. Lima belas menit kemudian, beberapa guru mulai berdatangan. Mereka menyambutku dengan senyuman hangat dan anggukan kecil. Aku membalas senyuman itu dengan penuh rasa hormat dan kehangatan.
Tak lama, bel tanda masuk kelas berbunyi nyaring. Aku segera menuju kelas yang sudah disiapkan oleh wakil kepala sekolah bidang kurikulum. Saat ini di berikan kesempatan mengajar di kelas XI. Dengan perlahan, aku membuka pintu ruang kelas tersebut.
Alangkah terkejutnya aku, hanya ada sekitar sepuluh siswa yang duduk di kelas.
”Baru segini jumlahnya? Kemana teman-teman kalian yang lain?” tanyaku, mencoba tetap tersenyum.
Seorang siswa menjawab cepat, diikuti beberapa lainnya, saling berebut,” ibu guru baru ya? Memang seperti ini, Bu. Ada yang masih bantu orang tuanya belanja, ada yang masih tidur di rumah, ada juga yang antar adiknya ke sekolah.”
Salah satu dari mereka menambahkan,” nanti, sekitar pukul 08.00 WIB, biasanya sudah penuh, Bu.”
Aku tersenyum memahami, lalu berkata, “oh, begitu. Tidak apa-apa, ibu akan sabar menunggu kalian semua datang.”
Jam di dinding kelas menunjukkan pukul 08.00 WIB. Benar saja, satu per satu siswa mulai berdatangan, tanpa menunjukkan rasa bersalah sedikit pun.
Sekitar pukul 08.30 WIB, seorang siswa masuk dengan santai. Ia mengenakan sweater, bertubuh tinggi, dan gayanya agak cuek. Begitu melihatku, wajahnya tampak sedikit terkejut.
“Guru baru, ya?” katanya sambil berlalu.
“Kupikir Bu Dina yang masuk. Maaf ya, Bu,” ujarnya dengan santai.
Aku tersenyum tipis lalu bertanya.
“Boleh tahu siapa namamu?”
“Saya Fauzan,” jawab sambil tersenyum-senyum tidak jelas.
Aku melanjutkan.
“Kenapa kamu datang terlambat? Apa rumahmu jauh?”
Belum sempat Fauzan menjawab, seorang siswa lain menyeletuk.
“Dekat bu! Rumahnya dekat sekali dari sekolah.”
Aku terkejut. Rumah dekat, tapi masih terlambat?
“Dekat, ya…bisa terlambat juga?” tanyaku setengan bercanda
“Bu, saya antar orang tua belanja. Sebagai anak, kita harus berbakti,” katanya tenang.
Aku Hanya mengangguk coba untuk memahami. Sebagai guru baru, aku tahu perlu waktu untuk benar-benar mengenal karakter siswa-siswa ini sebelum memberi teguran yang lebih tegas.
“Baiklah ibu paham. Tapi lain kali, jangan terlambat lagi, ya. Ingat, jam masuk sekolah itu pukul 07.00 WIB,” kataku mencoba menegaskan.
Fauzan menjawab dengan nada santai, “Kita lihat besok, Bu.”
Disambut dengan sorak-sorai kecil teman-temannya. Aku menarik napas panjang, berusaha tetap tenang.
“Sekarang, Ibu perkenalkan diri dulu, ya,” kataku sambil tersenyum.
Namun, baru beberapa kalimat aku bicara, tiba-tiba seorang siswa nyeletuk.
“Jam berapa selesainya, nih?”
Aku hanya menggeleng pelan sambil menarik napas panjang. Dalam hati, aku bertekad: Aku harus melakukan sesuatu untuk membentuk kedisiplinan mereka… pelan-pelan, tapi pasti.
Empat hari sudah aku mengajar di sekolah baru ini. Namun, sikap siswa-siswaku belum juga berubah. Meski sudah aku tegur dengan cara baik-baik, kedisiplinan mereka tetap rendah, dan sikapnya pun masih kurang sopan. Aku bertanya-tanya “apa yang harus aku lakukan?”
Aku sadar, aku tak bisa berjalan sendiri. Aku harus mencari tahu lebih dalam dari guru yang sudah lama mengajar di sini. Pilihanku jatuh pada Bu Dina.
Setelah bertemu dengannya di ruang guru, aku menceritakan semua kejadian yang kualami di kelas selama empat hari ini.
“Bu, anak-anak di jurusan kita memang begitu. Harus banyak bersabar,” kata Bu Dina sambil tersenyum tipis.
Aku mengerutkan dahi. “Maksudnya…bagaimana, Bu?
“Anak-anak ini memang sudah terkenal bandel. Banyak guru yang sebenarnya malas mengajar mereka. Syukur-syukur kalau mereka mau datang ke sekolah,” jawab Bu Dina dengan nada pasrah.
Perbincangan kami tiba-tiba di sela oleh Pak Risman, guru lain yang duduknya tak jauh dari kami.
“Iya, Bu Ani. Jangan terlalu dipikirkan. Mereka datang saja sudah bagus. Setidaknya, aman?” katanya enteng.
Aku hanya terdiam, menyerap semua informasi itu. Dalam hati, aku bertanya, “sesulit itukah membentuk kedisiplinan dan karakter mereka?”
Aku mulai melakukan pendekatan dengan Fauzan. Seperti biasa, pagi itu ia datang terlambat lagi, tepat saat pelajaran hendak di mulai.
“Bagaimana kabar orang tuamu?” tanyaku dengan nada penuh perhatian.
“Baik-baik saja, Bu,” jawabnya agak bingung.
“Boleh ibu bicara sebentar denganmu saat istirahat nanti? Datanglah ke ruang ibu, ya.”
Saat istirahat tiba. Fauzan datang menghampiriku. Aku mempersilahkan duduk.
“Fauzan, kamu terlambat lagi hari ini. Apakah orang tuamu tidak khawatir kamu sering datang terlambat ke sekolah?”
“Rasanya tidak, Bu. Karena saya tetap masuk dan tidak membolos,” jawabnya enteng.
Aku tersenyum kecil.
“Fauzan, boleh ibu sedikit beri saran? Bagaimana kalau kamu mengantar orang tuamu belanja lebih pagi, sebelum jam masuk sekolah. Dengan begitu, kamu tetap bisa berbakti pada orang tua dan tidak ketinggalan pelajaran.”
Aku melanjutkan, pelan-pelan.
“Kalau kamu belajar dengan sungguh-sungguh, cita-citamu akan tercapai. Itu juga bentuk bakti yang luar biasa pada orang tua, orang tua akan senang melihat anaknya sukses.”
Aku lalu bertanya,” Boleh tahu, apa cita-citamu Fauzan?”
“Jadi polisi, Bu.”
“Wah, bagus itu kejar cita-citamu! Tapi ingat, jadi polisi harus disiplin. Kalau sering terlambat, bagaimana maul lulus tesnya? Pelajaran pertama itu penting, lho.”
Fauzan tersenyum malu-malu. “Terima kasih, Bu. Saya janji, besok tidak akan terlambat lagi.”
Aku mengangguk dan mempersilahkan kembali ke kelas.
Keesokan harinya, Fauzan datang tepat pukul 07.00 WIB. Tidak terlambat. Aku senang melihat usahanya. Perlahan, aku pun mulai melakukan pendekatan dengan ke siswa-siswi lainnya. Aku mengubah metode pembelajaran menjadi lebih menarik dan sesuai dengan perkembangan zaman. Aku juga membuat kesepakatan kelas bersama, agar lebih terarah dan menjaga kedisipilinan.
Dua tahun berlalu. Waktu terasa cepat.
Fauzan dan teman-temannya kini sudah lulus. Suatu hari, Fauzan datang menemuiku dengan wajah sumringah. Ia menunjukkan pesan WhatsApp yang menyatakan bahwa Ia lulus menjadi seorang polisi.
Aku ikut bahagia dan memberinya ucapan selamat.
Aku merasa lega. Kelas yang dulunya dikenal sebagai kelas “bandel”, kini berubah. Beberapa dari mereka telah bekerja di perusahaan, dan yang lainnya melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi.
satu Respon
Semangat selalu ibu Guru hebat…semoga apa yang di berikan kepada anak anak menjadi amal jariyah. Aamiin..