Judul Cerpen : Langkah Pak Abdul Sang Pelita di desaku (Kisah Seorang Guru)
Ciptaan : Makhsus,S.Pd.
Sinopsis Cerepen:
Cerpen ini menggambarkan perjuangan seorang guru honorer di pelosok desa yang mengabdikan hidupnya untuk mencerdaskan anak-anak, meskipun digempur oleh kemiskinan, tragedi di ruang kelas, dan kegelisahan hidup. Melalui langkah-langkah kecil yang penuh ketulusan, Pak Abdul menunjukkan bahwa pengabdian bukan soal gelar atau jabatan, melainkan keberanian mencintai tanpa syarat. Cerita ini adalah salam sunyi bagi para guru yang memilih bertahan, bahkan ketika dunia enggan melihat.
Isi Cerpen:
Di ujung kampung yang tak tercatat di banyak peta, seorang lelaki tua berjalan tiap pagi dengan langkah pelan, menyusuri jalan tanah yang lengket kala hujan dan berdebu saat kemarau. Ia adalah Pak Abdul, guru honorer di sebuah lembaga pendidikan sederhana yang berdiri di antara sawah dan lereng bukit.
Seragam cokelatnya telah pudar dimakan waktu. Sepatunya berlubang di sisi kiri. Namun wajahnya tetap teduh, dan matanya memancarkan cahaya lembut cahaya dari seorang yang hidup bukan untuk mencari nama, melainkan makna.
Setiap pagi, ia tiba lebih awal dari siapa pun. Menyapu kelas, membenahi kursi kayu yang goyah, dan menuliskan soal matematika dengan kapur bekas. Tak ada gaji tetap, tak ada tunjangan. Tapi ada keyakinan yang terus ia peluk: pendidikan adalah jalan keluar dari kemiskinan. Di sela-sela pelajaran, ia kerap menyisipkan nasihat kecil, tentang kejujuran, rasa hormat, dan semangat belajar. Ia tahu, tak semua pelajaran ada di buku.
Siang hari, selepas mengajar, ia berjualan di teras rumahnya. Gorengan hangat buatan istrinya, Bu Umi, tersusun rapi. Ia menjualnya dengan harga seribu per buah murah bagi yang membeli, tapi cukup untuk menambal biaya hidup. Kadang, ia keliling kampung dengan motor tua, menawarkan jajanan sambil menyapa warga. Ia selalu menolak rasa lelah. Baginya, berdagang adalah cara untuk tetap menyambung nyawa, tanpa harus mengorbankan pengabdiannya di kelas.
“Kalau bukan karena anak-anak itu, mungkin aku sudah berhenti sejak lama,” katanya suatu ketika, sembari mengemasi dagangan yang tak habis.
Hari itu, di kelas lima, ia sedang menjelaskan pecahan. Anak-anak mendengarkan sambil mencoret-coret buku lusuh yang sudah diwariskan dari kakak-kakaknya. Tiba-tiba, terdengar suara menggelegar dari belakang kelas, Brak!.
Rak kayu yang menua ambruk, menimpa seorang murid Rino. Suasana seketika beku. Darah merembes dari pelipis bocah itu. Pak Abdul langsung menggendongnya, berlari keluar sekolah tanpa sepatu, tanpa helm, menuju Puskesmas sejauh satu kilometer. Nafasnya terengah, tapi ia tak peduli. Yang ia tahu, hidup anak didiknya jauh lebih penting dari rasa lelahnya. Tak satu pun ia pikirkan, kecuali keselamatan muridnya.
Hari itu ia pulang dengan baju yang masih bernoda darah. Malamnya, ia duduk diam, memandangi langit yang mendung. Di beranda rumahnya, ia menyesap teh pahit, membiarkan pikirannya melayang.
“Aku lelah, Umi,” bisiknya pada sang istri. “Bukan pada tugas, tapi pada dunia yang seolah tuli.” Bu Umi memegang tangannya erat. “Kamu sudah melakukan lebih dari cukup. Kamu bukan sekadar guru, kamu rumah bagi anak-anak itu. Kamu cahaya dalam gelap mereka.”
Beberapa minggu kemudian, tragedi lain datang. Rina, murid kelas enam yang cerdas, pingsan di tengah pelajaran. Setelah diperiksa, ia divonis anemia parah karena kurang gizi. Pak Abdul terguncang. Ia tahu betul keluarga Rina hanya makan nasi dan garam setiap hari. Ia tidak bisa tidur malam itu, memikirkan bagaimana bisa murid secerdas itu tumbang karena kelaparan.
Sejak hari itu, ia menyisihkan sedikit hasil jualannya untuk membeli telur, susu, dan vitamin sederhana bagi murid-murid yang paling lemah. Kadang, ia membawa dua bekal dari rumah satu untuk dirinya, satu untuk dibagikan diam-diam.
Ia tidak ingin anak-anaknya tumbuh dalam kekosongan perut dan impian. Ia ingin mereka punya masa depan. Ia percaya, satu telur bisa menyelamatkan satu harapan.
Namun malam-malam panjang sering ia lewati dengan resah. Gajinya tak cukup. Umurnya terus menua. Surat pengangkatan tak pernah datang. Ia sempat berpikir untuk berhenti dan fokus berdagang. Tapi tiap kali ia menatap wajah-wajah polos itu di kelas, ia tahu: ia belum bisa menyerah. Dalam doa-doanya, ia meminta kekuatan, bukan kemudahan.
Satu sore, sepucuk surat datang dari lembaga pendidikan kabupaten. Dengan tangan gemetar, ia membukanya. Dalam surat itu, tertulis bahwa ia terpilih sebagai penerima “Penghargaan Guru Inspiratif Daerah Terpencil.” Ia menangis bukan karena pujian, tapi karena akhirnya suara sunyinya didengar. Setetes pengakuan dari dunia luar terasa seperti samudra bagi hatinya.
Namun, pagi keberangkatan menuju kota, motornya mogok. Ia hampir tak jadi pergi. Tapi warga kampung yang mendengar kabar itu beramai-ramai menyewa mobil pick-up, lengkap dengan spanduk sederhana: “Terima kasih, Pak Abdul, pelita desa.”
Ia berdiri lama di depan rumah, menatap wajah-wajah yang dulu diajarnya, kini dewasa, kini mengulurkan tangan padanya. Hari itu, ia tahu: perjuangan tak pernah sia-sia. Ia melangkah ke mobil dengan air mata yang tak sanggup ia tahan.
Kini, setiap kali Pak Abdul berdiri di depan kelas, ia melihat lebih dari sekadar dinding kayu yang berlubang atau meja rapuh. Ia melihat impian-impian kecil yang mulai tumbuh, mekar, dan siap terbang. Ia melihat masa depan yang tengah ia bentuk, perlahan tapi pasti.
“Suatu hari, kalau kalian jadi orang besar,” katanya sambil menatap mata anak-anak itu, “ingatlah bahwa dunia ini tak hanya butuh orang pintar, tapi juga orang yang punya hati.”
Dan di antara debu kapur dan kertas ujian, langkah Pak Abdul terus bergema pelan, pasti, dan tak pernah lelah menuju cahaya yang hanya bisa dilihat oleh hati yang setia. Di balik tubuh yang renta dan suara yang mulai serak, ada semangat yang tak pernah padam, karena cinta tak mengenal usia, dan pengabdian tak pernah minta upah.
3 Responses
Cerpen nya bagus✨
mantap pak
Menginspirasi sekali