“Tak semua pahlawan dikenang dengan plakat.
Beberapa hanya tinggal dalam ingatan
yang selamanya menyala dalam hati murid-muridnya.”
Rintik hujan jatuh perlahan di atas atap rumah tua bercat biru pucat. Dedaunan basah bergetar pelan diterpa angin sore. Di dalam rumah itu, seorang perempuan duduk di kursi rotan, menatap kosong ke arah jendela. Di tangannya, secarik kertas dengan tulisan tangan yang mulai goyah.
Namanya Bu Sari. Dulu, orang-orang memanggilnya Ibu Sari, lengkap dengan gelar guru di depannya. Kini, setelah beberapa tahun pensiun, tak ada lagi suara “Selamat pagi, Bu!” yang menyambutnya. Hanya suara jam dinding dan nyanyian rintik hujan yang setia menemaninya.
Di atas meja kecil di sampingnya, terdapat sebuah album tua. Ia membukanya perlahan, jari-jarinya menyusuri foto-foto masa lalu—wajah-wajah kecil yang dulu ia kenal, kini entah di mana. Sebagian tersenyum, sebagian meringis malu di depan kamera saat kelulusan.
Wajahnya menegang saat membaca ulang puisi yang ia tulis semalam.
Apakah aku masih berjasa?
Kalimat itu menjadi judul sekaligus pertanyaan yang berulang kali muncul dalam benaknya. Ia tak butuh jawaban muluk. Hanya ingin tahu—masih adakah satu dari ratusan muridnya yang mengingat bahwa ia pernah ada?
Pagi tadi, ia melihat berita di TV tentang seorang guru viral karena muridnya datang beramai-ramai saat ulang tahun ke-60. Mereka membawa karangan bunga, kado, dan air mata. Bu Sari menonton dalam diam. Ada senyum yang dipaksakan, ada dada yang perlahan perih.
Ia bangkit, mengambil mantel, dan membuka payung. Di tangannya, ia membawa sebuah buku catatan tua dan sebuah surat yang tak pernah ia kirimkan. Tujuannya: sekolah tempat ia mengabdi lebih dari tiga dekade.
Langkahnya pelan, menyusuri trotoar basah, sambil sesekali menatap langit yang kelabu. Sesampainya di gerbang sekolah, seorang satpam muda menegurnya sopan.
“Ibu … siapa ya?”
Bu Sari tersenyum kecil. “Saya Bu Sari. Dulu mengajar Bahasa Indonesia di sini.”
Satpam itu tampak ragu sejenak. Lalu ia tersenyum, “Oh, Iya … silakan masuk, Bu. Mau bertemu siapa?”
“Tak apa. Saya hanya ingin melihat-lihat sebentar,” jawab Bu Sari.
Ia menyusuri lorong sekolah yang kini sudah berganti warna. Beberapa bangku diganti, tapi ia masih bisa membayangkan suara-suara masa lalu. Di ruang guru, ia duduk di bangku paling pojok—tempat favoritnya dulu untuk membuat soal dan mengoreksi puisi.
Di dalam tasnya, ia membawa kumpulan karya muridnya. Beberapa puisi sempat ia simpan selama bertahun-tahun, berharap suatu hari bisa mengembalikannya pada sang penulis. Salah satunya: “Ibu Sari seperti hujan pertama, menenangkan tapi juga menggugah.” Entah siapa yang menulisnya. Tertanda hanya: “Anak bangku nomor tiga, baris tengah.” Waktu itu ia lupa menanyakan siapa yang menaruhnya di mejanya.
Langkah kaki tiba-tiba terdengar. Seorang guru muda muncul, mengenakan seragam dinas dan membawa map besar.
“Ibu… Bu Sari?” tanyanya ragu.
“Iya, saya,” jawab Bu Sari pelan.
“Maaf, saya baru beberapa tahun di sini. Tapi nama Ibu ada di daftar guru inspiratif yang dibacakan saat Hari Guru, lho,” kata guru muda itu.
Bu Sari tertawa kecil. “Benarkah? Saya kira tak ada yang mengingat saya.”
Guru muda itu tersenyum, lalu berkata, “Ada satu alumni yang sering bercerita tentang gurunya dulu. Namanya Dimas. Katanya, gara-gara Bu Sari, dia suka sastra dan sekarang jadi penulis buku puisi.”
Bu Sari mengerjap. Dimas? Wajah bocah kurus berkacamata muncul dalam bayangannya. Anak yang dulu takut bicara di depan kelas, tapi puisinya selalu menyentuh hati.
Sore itu, Bu Sari pulang dengan langkah lebih ringan. Ia membuka ponselnya yang lama ia diamkan, dan mencari nama: Dimas Pratama. Benar saja, sebuah akun media sosial muncul dengan bio: “Penulis. Penyuka hujan. Murid dari guru yang tak tahu dirinya telah menyalakan lentera.”
Air mata Bu Sari jatuh. Perlahan, ia mengetik sebuah pesan:
“Halo, Dimas. Ini Ibu Sari. Apakah kau masih ingat dengan Ibu?”
Tak lama, balasan datang:
“Ibu Sari?! Ya Tuhan… saya mencari Ibu selama ini. Saya masih menyimpan semua catatan puisi Ibu. Bolehkah saya berkunjung?”
Dua minggu kemudian, rumah kecil itu dipenuhi aroma teh melati. Dimas datang dengan membawa buket bunga kecil dan sebuah buku yang ia persembahkan untuk Bu Sari: “Untuk Ibu yang Mengajar Aku Menulis Langit.”
“Kata-kata Ibu mengubah hidup saya,” ujar Dimas. “Saat saya merasa tak berarti, Ibu berkata, ‘Kau punya dunia di ujung penamu.’ Saya bawa kalimat itu ke mana-mana, Bu.”
Bu Sari menggenggam buku itu dengan tangan gemetar. Di halaman pertama, ada dedikasi:
Untuk Bu Sari, yang tak pernah tahu betapa puisi kecilnya menumbuhkan hutan dalam diri murid-muridnya.
Hari itu, Bu Sari menangis—bukan karena sedih, tapi karena akhirnya yakin: ia masih berjasa. Meski tanpa sorotan, tanpa karangan bunga, ia telah menanam cahaya dalam diam.
Akhir pekan berikutnya, rumah Bu Sari dipenuhi tawa yang sudah lama tak ia dengar. Dimas mengajak 3 temannya mengunjungi guru kesayangan mereka. Ada Lilis, kini seorang dosen muda. Ada Reno, mantan anak nakal yang kini menjadi kepala sekolah. Bahkan Farah, yang dulu pemalu dan selalu duduk di pojok, kini jadi penyiar radio. bukan lagi murid dan guru, tapi seperti sahabat lama yang kembali dalam lingkar hangat kenangan.
Malam itu, Bu Sari menyalakan lampu kecil di samping ranjangnya. Ia membuka catatan harian, dan untuk pertama kalinya setelah pensiun, ia menulis:
“Hari ini, aku menemukan jawabannya. Aku masih berjasa. Bukan karena mereka sukses, tapi karena mereka tumbuh. Dan aku, pernah jadi bagian kecil dari pertumbuhan itu.”
Ia tersenyum pada bayangan dirinya di cermin. Wajah tuanya kini tak lagi tampak sayu. Ada cahaya di sana—cahaya seorang guru yang menemukan kembali makna dari kehadirannya.
Seminggu kemudian, sebuah amplop datang dari Dinas Pendidikan. Di dalamnya, surat undangan untuk acara “Penghargaan Pendidik Sepanjang Masa”. Nama Bu Sari tertera di sana, direkomendasikan oleh para alumni yang menulis surat dukungan untuknya.
Ia membaca nama-nama itu dan tertawa kecil. Mereka dulu murid-murid yang sering ia tegur karena tak mengerjakan PR.
Kini, mereka berdiri sebagai saksi bahwa pengaruh seorang guru tak pernah usang dimakan waktu.
“Yang ditanam seorang guru bukan hanya ilmu,
tapi kepercayaan bahwa setiap anak punya cahaya sendiri.”