Di ruang kelas 5A SD Lentera Bumi, aroma kapur dan buku bacaan anak-anak masih lekat seperti dua dekade silam. Di balik papan tulis yang kini sudah berganti dengan layar interaktif, berdirilah seorang perempuan berusia senja, namun matanya masih menyala seperti dulu—Bu Umi, sang penjaga lentera pendidikan.
“Anak-anak, hari ini kita belajar bukan hanya tentang pelajaran, tapi tentang bagaimana menjadi manusia yang bermakna untuk orang lain.”
Suara Bu Umi tenang, mengalun seperti lagu nina bobo yang menenangkan. Anak-anak Alpha Generation di depannya menatap penuh rasa ingin tahu, meski beberapa masih sibuk menggeser tablet mereka.
Bu Umi telah melewati berbagai zaman. Ia memulai kiprahnya saat generasi Z masih duduk di bangku sekolah dasar—anak-anak yang masih suka menggambar di meja, melempar kertas, dan berceloteh tiada henti. Salah satunya adalah Firman.
Firman… Anak yang dulu terkenal badung, suka menyela saat Bu Umi menjelaskan, kini berdiri di ruang guru dengan setelan kemeja biru dan name tag bertuliskan: “Firman, S.Pd – Guru Matematika SD.”
“Bu Umi,” sapa Firman suatu siang dengan canggung, “Saya masih ingat waktu Ibu pernah bilang: ‘Suatu hari kamu harus jadi orang yang berguna.’ Saya pikir dulu itu cuma omong kosong.”
Bu Umi tersenyum lembut. “Dan sekarang kamu berdiri di sini sebagai guru, bukan?”
Firman menunduk, mata berkaca. “Saya malu. Dulu saya sering mempermalukan Ibu.”
Namun Bu Umi hanya tertawa pelan. “Tugas guru bukan membuat murid menjadi sempurna, tapi membuat mereka menemukan cahaya dalam dirinya.”
Kilatan Masa Lalu
Dua puluh tahun silam, SD Lentera Bumi hanyalah sekolah swasta kecil yang bernaung di tengah kepungan sekolah unggulan lain di Sidoarjo. Tapi Bu Umi percaya, sekolah bukan tentang status, melainkan tentang nilai-nilai.
Ia membangun program literasi karakter saat belum ada yang memikirkan pentingnya pendidikan hati. Ia menggagas kelas inklusi, mengajar anak-anak berkebutuhan khusus berdampingan dengan anak-anak biasa. Ia menulis sendiri modul pembelajaran yang penuh nilai kemanusiaan.
Namun tak hanya soal ilmu dan karakter, Bu Umi dikenal sangat jeli membaca potensi murid-muridnya.
Ia melihat sesuatu yang tak terlihat oleh guru lain. Baginya, setiap anak adalah benih dengan tanahnya masing-masing. Ada yang harus dirawat dengan sabar, ada yang harus dibiarkan tumbuh liar agar kuat.
Suatu hari, ia melihat Raka, anak pendiam yang tak pernah bicara di kelas, mencorat-coret bagian belakang buku tugasnya. Gambar-gambar robot dan kota futuristik.
“Raka, ini kamu yang gambar?”
Anak itu mengangguk perlahan.
“Mulai besok, kamu ikut klub desain dan animasi ya. Kita akan tunjukkan dunia bahwa kamu punya dunia sendiri.”
Lima tahun kemudian, Raka membawa pulang medali emas dari olimpiade desain grafis Asia untuk pelajar SD. Ia berdiri di panggung internasional dengan mata berkaca, menyebut nama Bu Umi dalam pidatonya.
Namun tak semua kisah semanis itu. Bu Umi pernah berhadapan dengan orang tua yang keras kepala, bahkan kasar.
“Anak saya harus ikut olimpiade matematika, Bu!” ujar seorang ayah, Pak Heru, dengan nada tinggi saat pertemuan wali murid.
“Tapi Pak, dari hasil observasi, Arvin lebih cemerlang di musik. Ia punya telinga absolut, dan…”
“Musik tidak ada masa depannya! Saya ini insinyur! Anak saya harus ikut jejak saya!”
Hari itu, Bu Umi pulang dengan mata sembab. Bukan karena takut, tapi karena sedih. Arvin, anak itu, datang padanya sambil menahan tangis.
“Bu, saya nggak bisa tidur. Saya mimpi terus main piano, tapi Papa marah.”
Bu Umi tahu, ini bukan tentang sekadar pilihan ekskul. Ini tentang menyelamatkan masa depan anak dari obsesi orang tua.
Ia menulis surat panjang kepada Pak Heru, bukan untuk menggurui, tapi untuk membuka mata. Ia lampirkan video latihan Arvin, rekaman hasil komposisinya yang menyentuh, dan surat dari guru musik nasional yang mengapresiasi bakat anak itu.
Beberapa bulan kemudian, Arvin tampil di konser anak berbakat se-Asia Tenggara. Pak Heru duduk di baris depan, berdiri paling lama memberi tepuk tangan. Matanya basah. Ia memeluk Bu Umi dan berkata, “Saya nyaris kehilangan anak saya, Bu. Terima kasih sudah membuka mata saya.”
Klimaks yang Perih
Hari itu, kabar datang seperti petir di siang bolong. Bu Nia, yang dulu kerap meremehkannya, lolos menjadi ASN.
“Alhamdulillah ya, akhirnya rezeki itu datang juga,” ujar rekan-rekan sambil bersalaman.
Di ruang guru, hanya Bu Umi yang diam, menyuap nasi bungkusnya sambil menatap jendela. Bukan iri, tapi getir. Ia tahu, perjuangannya tak pernah memikirkan materi. Namun tetap saja, diam-diam ia bertanya dalam hati:
“Mengapa perjuangan yang penuh pengorbanan ini tak pernah benar-benar dihargai secara layak?”
Firman masuk ke ruang guru, melihat Bu Umi termenung.
“Bu, izinkan saya bicara di depan siswa-siswi kita besok, di acara Hari Guru. Saya ingin mereka tahu siapa Bu Umi sebenarnya.”
Panggung Kecil yang Menggema
Besoknya, aula sekolah dipenuhi siswa dari berbagai generasi. Firman berdiri di podium.
“Semua orang di ruangan ini mengenal Bu Umi sebagai guru,” katanya, suaranya bergetar. “Tapi bagi saya, Bu Umi adalah cahaya. Dulu saya pembangkang. Saya remehkan semua yang diajarkan. Tapi hari ini, saya berdiri di sini karena satu hal: cinta dari seorang guru.”
Ruangan sunyi. Beberapa murid terisak. Bahkan kepala sekolah, yang selama ini hanya diam, meneteskan air mata.
Firman melanjutkan, “Bu Umi mungkin bukan ASN. Ia tidak pernah menerima gaji tinggi. Tapi ia menanam benih di hati setiap anak yang dia temui. Dan benih itu kini tumbuh—menjadi dokter, guru, penulis, bahkan pejabat. Semua membawa nilai-nilai yang Bu Umi tanamkan. Inilah cara Bu Umi mengharumkan bangsa—melalui anak-anaknya.”
Senja dan Lentera
Bu Umi kini sering duduk di taman sekolah, mengamati generasi Alpha yang berlari-lari sambil membawa laptop. Ia tahu, tantangan zaman berubah. Tapi satu yang tak boleh berubah: akhlak dan cinta dalam belajar.
Di sakunya selalu ada satu catatan kecil, bertuliskan:
“Aku bukan siapa-siapa. Tapi jika satu anak menjadi lentera karena aku, maka hidupku tak sia-sia.”