Literasi Tanpa Rasa Percaya Diri Tidak Berguna​ – Rapi Nurfauzi

Orang-orang menyeru bahwa literasi sangat penting, baik untuk individu maupun bagi negara. Tapi sebenarnya penting untuk apa? Apa karena membaca dan menulis yang menjadi ruh literasi itu akan meningkatkan wawasan masyarakat? Dapat memberi ilmu kepada orang lain? Atau bahkan meningkatkan kualitas daya saing bangsa? Mungkin iya! Kenapa hanya mungkin? Akan saya jawab!

Kuliah di jurusan Program Studi (Prodi) Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (PBSI) telah memperkenalkan saya dengan banyak orang yang menggemari kegiatan literasi, khususnya membaca dan menulis. Jumlah mahasiswa di kelas saya sebanyak 27 orang yang didominasi oleh perempuan, yakni sebanyak 21 orang atau 78% dari jumlah keseluruhan. Dari 21 mahasiswi itu hampir semuanya menyukai drama Korea (Kdrama) dan Korea POP (KPOP). Kesukaannya tersebut mereka perlihatkan dengan cara berpenampilan, selipan kata berbahasa Korea dalam beberapa obrolan, dan dari karya tulis yang mereka tuangkan.

Sebut saja Mawar, dia teman sekelas saya, ia menulis sebuah cerita pendek berjudul Class Corner di blog pribadinya. Penulis telah mengizinkan saya untuk menyalin sedikit penggalan cerita yang dibuatnya sekaligus dijadikan topik pembahasan dalam tulisan ini. Berikut adalah penggalan dialog cerita pendek yang ia tulis.

“Annyeonghi kyesipsiyo” ucap Yoona yang ikut berbaring diranjang.

Dari penggalan tersebut saya seolah membaca sebuah cerita yang dibuat oleh seseorang yang ahli berbahasa Korea, bukan tulisan mahasiswi dari Prodi PBSI. Alasan yang pertama penulis tidak memperhatikan cara penulisan yang baik dan benar sesuai kaidah bahasa Indonesia, yakni dengan tidak memiringkan kata “Annyeonghi kyesipsiyo” yang merupakan bahasa asing, yaitu bahasa Korea. Penulis juga tidak memisahkan kata ”di” dan “ranjang” yang merupakan kalimat penunjuk sebuah tempat, harusnya dipisah menjadi “di ranjang”. Hal inilah yang membuat saya berpendapat bahwa terkadang kegiatan literasi memiliki dampak negatif, sebab tulisan seperti ini dibuka untuk umum dan memungkinkan untuk dibaca dan ditiru oleh banyak orang. Alasan yang kedua adalah cerita yang dibuat justru penuh dengan nuansa Korea, dari mulai penamaan tokoh, latar tempat, penggalan kalimat, dan lain-lain. Alasan ke dua inilah yang akan menjadi inti dalam pembahasan tulisan ini.

KPOP dan Kdrama tengah digandrungi generasi muda di banyak negara, termasuk Indonesia. Kebanyakan karya literasi yang dibuat oleh orang Korea baik melalui karya tulis, KPOP, Kdrama, selalu konsisten menggunakan bahasa mereka sendiri. Selain itu, mereka juga kerap mengangkat kekayaan budaya negaranya, khususnya dalam Kdrama, seperti Queen for Seven Days, Love in The Moonlight, dan The Legend of The Blue Sea. Kendati demikian, pada faktanya industri musik dan perfilman di Korea justru menuai kesuksesan, bukan hanya dari segi finansial, tapi juga meningkatkan eksistensi negaranya, termasuk dalam bahasa.

Hasil karya anak bangsa Indonesia bukan berarti tidak bagus, yang membedakan kita dengan mereka hanyalah kepercayaan diri saja. Di tengah populernya KPOP dan Kdrama yang konsisten menggunakan bahasa dan kerap mengangkat budaya negaranya sendiri, paradigma yang muncul di masyarakat Indonesia justru menganggap sebuah karya akan lebih sukses di ranah internasional jika menggunakan bahasa serta mengangkat budaya asing.

Melalui Gerakan Literasi Nasional (GLN) pemerintah cukup berhasil meningkatkan minat literasi masyarakat Indonesia, setidaknya demikian yang saya lihat dari banyak teman di Prodi PBSI. Selain itu, ada suatu program yang dicanangkan oleh salah satu Sekolah Menengah Atas (SMA) di Cianjur, yaitu gerakan “1 Bulan 1 Buku”. Salah satu teman saya sudah menjalankan program Pengenalan Lapangan Persekolahan (PLP) di sekolah tersebut, ia menilai bahwa program itu sangat diminati oleh murid-murid, bahkan seluruh murid berhasil membuat 1 buku dalam 1 bulan. Namun ironisnya kebanyakan buku yang dibuat bergenre romantis, dan banyak pula yang mengangkat bahasa dan budaya asing ketimbang dengan mengangkat kearifan lokal di Indonesia.

Dari fenomena tersebut sudah sepatutnya kita menyadari bahwa hanya menggaungkan pentingnya literasi tidaklah cukup, tapi juga harus memberikan pemahaman literasi yang berdampak baik bagi negara. Membangun perpustakaan merupakan hal yang penting untuk meningkatkan literasi masyarakat, tapi pertimbangkan juga kualitas buku yang dikoleksi. Perbanyak buku-buku pengetahuan khususnya yang berkenaan dengan kekayaan Indonesia. Pada komik atau buku cerita, ketimbang mengoleksi cerita super hero seperti Batman, Iron Man, Spiderman, atau pahlawan fiksi luar negeri lainnya, lebih baik perbanyak cerita pahlawan fiksi lokal seperti Gatot Kaca, Gundala, Tila, dan lainnya. Ketimbang cerita romansa seperti Romeo dan Juliet, lebih baik perbanyak cerita seperti Ken Arok dan Ken Dedes, Raden Baron Kusmana dan Dewi Anjarwati, Jayaprana dan Layon Sari, atau cerita romansa lainnya yang identik dengan Indonesia.

Begitu pula untuk literasi media, kebanyakan penyedia film online mengiklankan situsnya dengan film luar negeri, bukan film Indonesia. Ini merupakan salah satu faktor mengurangnya kepercayaan diri sekaligus rasa cinta masyarakat Indonesia terhadap bangsa sendiri, termasuk pada bahasa Indonesia. Maka wajar jika di kemudian hari para penerus bangsa yang berkreasi justru lebih condong mengagungkan budaya luar, termasuk dalam bahasa.

Literasi dasar, literasi perpustakaan, literasi media, literasi teknologi, dan literasi visual merupakan jenis-jenis literasi yang perlu dikuasai oleh masyarakat Indonesia. Namun yang juga perlu diingat, Indonesia memiliki modal kekayaan budaya yang melimpah dan beragam, semestinya kita tidak perlu malu untuk melibatkan kekayaan tersebut dalam sebuah karya literasi.

Bagi para penggemar literasi khususnya menulis seperti saya, kita harus sadar bahwa bahasa Indonesia sudah berusia 92 tahun, cukup tua jika dianalogikan dengan manusia. Namun bahasa bukanlah manusia yang makin tua makin renta, ringkih, dan sakit-sakitan. Bahasa laksana kebun yang makin berumur makin berbunga. Kembangkanlah potensi literasi, lihatlah kekayaan bangsa, implementasikan dalam kerja, wujudkan dalam karya! Indonesia dengan generasi mudanya yang berilmu, melalui literasi dan kepercayaan diri akan meningkatkan daya saing Indonesia dengan negara lain.

Mari berliterasi!

Mari percaya diri.

Tagar:

Bagikan postingan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *