Melampaui Takdir: Pendidikan Islam dan Kesadaran Kebencanaan di Sumatera

Sumatra merupakan salah satu wilayah dengan tingkat kerentanan bencana alam tertinggi di Indonesia, termasuk gempa bumi tektonik, tsunami, banjir, longsor, dan letusan gunung berapi. Kerentanan geografis ini tidak hanya menyebabkan kerugian materi dan korban jiwa, tetapi juga membentuk lanskap sosial, budaya, dan agama masyarakat setempat. Dalam konteks masyarakat Sumatra, yang secara historis dan sosiologis memiliki dasar Islam yang kuat, bencana alam tidak hanya dipahami sebagai fenomena geofisik, tetapi juga sebagai peristiwa yang memiliki makna religius. Namun, hubungan antara Islam, bencana, dan pendidikan masih menghadapi masalah konseptual yang serius, terutama ketika interpretasi teologis tidak terintegrasi secara produktif dengan upaya pendidikan dan mitigasi.

Diskursus akademik global dalam lima hingga tujuh tahun terakhir menunjukkan pergeseran penting dalam studi bencana, dari pendekatan teknokratis ke pendekatan sosio-budaya dan pendidikan. Pendidikan dianggap sebagai alat kunci dalam membangun kesadaran risiko bencana dan ketahanan komunitas. Namun, kerangka kerja dominan dalam pendidikan bencana masih berakar pada epistemologi sekuler Barat, yang sering mengabaikan dimensi agama sebagai sumber pengetahuan dan etika. Di sisi lain, pendidikan Islam di Indonesia, khususnya di Sumatra, cenderung berfokus pada transmisi nilai-nilai moral dan ritual agama, dengan keterlibatan minimal dalam isu-isu bencana sebagai masalah sosio-struktural.

Pendidikan Islam memiliki potensi strategis sebagai landasan teologis dan pedagogis untuk membangun kesadaran bencana di daerah rawan bencana seperti Sumatra, namun potensi ini belum diartikulasikan secara konseptual dan sistematis dalam diskursus akademik. Oleh karena itu, diperlukan rekonstruksi pemahaman yang mengintegrasikan teologi Islam, pendidikan, dan pengetahuan bencana secara koheren dan kritis.

Agama, Bencana, dan Pendidikan: Pemetaan Diskursus Mutakhir

Kajian mutakhir dalam religion and disaster studies menegaskan bahwa agama berperan signifikan dalam membentuk cara komunitas memahami risiko, penderitaan, dan ketidakpastian (Mercer et al., 2021; Shaw et al., 2023). Agama tidak hanya berfungsi sebagai mekanisme koping pasca bencana, tetapi juga memengaruhi sikap preventif dan adaptif terhadap risiko lingkungan. Namun, sebagian besar penelitian global masih memosisikan agama secara instrumental, yakni sebagai variabel sosial yang dapat dimobilisasi untuk tujuan kebijakan kebencanaan, tanpa mengkaji secara mendalam struktur teologis dan pedagogis yang melandasinya.

Dalam kajian Islam dan bencana, literatur internasional dan nasional menunjukkan fragmentasi yang tajam. Pendekatan teologis-normatif sering menekankan konsep qadar, ibtilā’, dan ‘adzāb, dengan penafsiran yang cenderung ahistoris dan kurang dialogis dengan sains kebencanaan. Sebaliknya, pendekatan sosiologis dan kebijakan publik menempatkan komunitas Muslim sebagai aktor lokal dalam mitigasi dan respons bencana, tetapi sering kali mengabaikan bagaimana kerangka teologis memengaruhi pola pikir dan tindakan mereka. Ketegangan ini menciptakan celah konseptual yang belum terjembatani oleh pendekatan pendidikan.

Di Indonesia, penelitian tentang bencana dan Islam masih didominasi oleh studi respons pascabencana dan filantropi keagamaan. Pendidikan Islam jarang diposisikan sebagai arena epistemik untuk membangun kesadaran risiko dan etika lingkungan. Padahal, institusi pendidikan Islam seperti madrasah, pesantren, dan perguruan tinggi Islam, memiliki otoritas normatif dan kultural yang kuat dalam membentuk cara pandang generasi muda Muslim terhadap alam dan bencana.

Ketegangan Teoretik: Takdir, Ikhtiar, dan Rasionalitas Edukatif

Salah satu persoalan konseptual utama dalam relasi Islam dan bencana adalah ketegangan antara pemahaman teologis tentang takdir dan tuntutan rasionalitas mitigasi. Sebagian penelitian menunjukkan bahwa pemaknaan fatalistik terhadap bencana dapat melemahkan kesiapsiagaan dan partisipasi dalam upaya mitigasi. Namun, temuan lain justru mengindikasikan bahwa religiositas yang terinternalisasi secara reflektif mampu memperkuat daya lenting psikososial dan solidaritas sosial.

Inkonsistensi temuan ini menunjukkan bahwa problem utamanya bukan terletak pada agama sebagai sistem keyakinan, melainkan pada cara agama diajarkan dan diinternalisasikan melalui pendidikan. Pendidikan Islam yang menekankan hafalan normatif tanpa refleksi kritis berpotensi melanggengkan pemahaman deterministik. Sebaliknya, pendidikan Islam yang dialogis dan kontekstual dapat mengartikulasikan relasi dialektis antara takdir dan ikhtiar sebagai dasar etika kebencanaan.

Dalam perspektif maqāṣid al-syarī‘ah, upaya mitigasi bencana sejatinya merupakan manifestasi dari perlindungan jiwa (ḥifẓ al-nafs), akal (ḥifẓ al-‘aql), dan harta (ḥifẓ al-māl). Namun, kerangka ini jarang dioperasionalkan dalam pendidikan Islam secara sistematis untuk merespons persoalan kebencanaan. Akibatnya, terjadi disjungsi antara ajaran normatif Islam dan praktik sosial dalam menghadapi risiko alam.

Pendidikan Islam sebagai Fondasi Kesadaran Kebencanaan

Dalam konteks Sumatera, pendidikan Islam memiliki posisi strategis bukan hanya sebagai institusi pembelajaran, tetapi juga sebagai otoritas moral dan kultural. Oleh karena itu, pendidikan Islam seharusnya diposisikan sebagai fondasi epistemik dalam membangun kesadaran kebencanaan yang tidak terjebak pada fatalisme maupun teknokratisme sempit.

Rekonstruksi pendidikan Islam dalam konteks kebencanaan memerlukan pergeseran paradigma dari pendidikan normatif-doktrinal menuju pendidikan reflektif-transformatif. Hal ini mencakup integrasi pengetahuan kebencanaan dengan teologi lingkungan Islam, pengembangan kurikulum yang sensitif terhadap konteks lokal Sumatera, serta penguatan kapasitas pendidik dalam mengajarkan bencana sebagai fenomena alam sekaligus amanah etis.

Pendidikan Islam yang demikian tidak hanya berfungsi mentransmisikan nilai, tetapi juga membentuk epistemic habitus peserta didik dalam memahami relasi manusia, alam, Tuhan secara holistik. Dengan demikian, bencana tidak lagi dipahami sebagai peristiwa eksternal yang sepenuhnya di luar kendali manusia, melainkan sebagai fenomena yang menuntut tanggung jawab etis dan tindakan preventif.

Bencana alam di Sumatera tidak dapat dipahami secara memadai hanya melalui pendekatan teknis dan kebijakan publik. Dalam masyarakat yang religius, seperti komunitas Muslim Sumatera, pendidikan Islam memegang peran kunci dalam membentuk cara pandang, sikap, dan tindakan terhadap bencana. Oleh karena itu, rekonstruksi teologis-pedagogis pendidikan Islam menjadi kebutuhan akademik dan sosial yang mendesak.

DIsimpulkan bahwa integrasi Islam, pendidikan, dan kebencanaan bukan sekadar pilihan normatif, melainkan tuntutan konseptual untuk membangun kesadaran kebencanaan yang reflektif, rasional, dan etis. Dengan demikian, pendidikan Islam dapat berkontribusi secara signifikan terhadap pengembangan body of knowledge dalam studi kebencanaan sekaligus menawarkan basis normatif yang kuat bagi upaya mitigasi dan ketahanan masyarakat di wilayah rawan bencana seperti Sumatera.

Tagar:

Bagikan postingan

Postingan terkait:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *