Dalam zaman modern yang cepat ini, banyak orang merasa bahwa memahami dunia hanya perlu dilakukan dengan membaca: baik itu berita, data, fenomena sosial, situasi politik, atau peluang ekonomi. Dunia terlihat seperti teks besar yang siap untuk ditafsirkan. Namun, dunia tidak hanya terdiri dari paragraf, angka, dan konsep; ia juga penuh dengan suara—suara masyarakat, cerita yang disampaikan, pelajaran dari generasi sebelumnya, dan ekspresi budaya yang hidup dalam tradisi lisan. Oleh karena itu, hanya membaca dunia saja tidak cukup. Untuk memahami manusia secara menyeluruh, kita juga perlu mendengarkan budaya.
Pandangan bahwa dunia perlu dibaca dan didengar sangat sejalan dengan pemikiran Walter J. Ong tentang praktik kelisanan dan keaksaraan. Ong mengungkapkan bahwa cara kita berkomunikasi—baik melalui teks maupun suara—mempengaruhi cara kita berpikir. Tulisan bukan sekadar alat, melainkan sebuah teknologi mental. Begitu juga suara yang bukan hanya gelombang, tetapi juga membawa nilai, identitas, dan memori bersama. Dengan menyadari hal ini, kita akan memahami bahwa membaca dunia dan mendengar budaya bukan hanya aktivitas sosial, tetapi juga proses pengetahuan: cara manusia meraih informasi.
Membaca dunia berarti kemampuan untuk memahami realitas melalui struktur berpikir yang berbasis tulisan. Dalam budaya tulis, orang terbiasa mengatur pengalaman dalam format yang linier, logis, dan sistematis. Tulisan menciptakan jarak: antara pembaca dan pengalaman, antara kejadian dan penilaian, sehingga orang dapat menganalisis secara objektif. Kita membaca dunia untuk mencari pola, menemukan struktur, dan menyusun gagasan secara rasional. Itu sebabnya, ilmu pengetahuan modern berkembang dari budaya tulis. Buku, artikel, catatan, arsip, dan dokumentasi memberikan kestabilan makna.
Namun, kemampuan untuk membaca dunia yang kuat terkadang mengurangi sisi manusia yang lain: kemampuan untuk mendengar budaya. Budaya itu hidup dalam suara: dalam tradisi lisan, cerita rakyat, lagu-lagu, mantra, nasihat dari orang tua, percakapan sehari-hari, dan komunikasi sehari-hari lainnya. Budaya tidak selalu tertuang dalam tulisan; bahkan dalam banyak komunitas, inti dari identitas sering kali terwujud dalam bentuk lisan. Ketika seseorang bercerita, suaranya mengandung emosi, ritme, dan kedekatan yang tidak bisa ditangkap lewat tulisan.
Mendengarkan budaya berarti membuka diri terhadap pengetahuan yang kontekstual dan relasional. Mendengar bukan hanya tentang menerima informasi, tetapi juga merasakan emosi dan mengakui keberadaan orang lain. Dalam tradisi lisan, makna tidak tetap seperti tulisan; ia muncul dari situasi yang dinamis. Itulah sebabnya budaya lisan kaya akan improvisasi, ingatan kolektif, dan nilai-nilai yang sulit untuk dituliskan sepenuhnya.
Sayangnya, dalam modernitas, keaksaraan sering lebih diutamakan daripada kelisanan. Apa yang tertulis dianggap lebih benar, lebih akademis, dan lebih dapat diandalkan. Sementara apa yang diucapkan sering dianggap tidak permanen, tidak ilmiah, atau subjektif. Padahal, suara juga menyimpan pengetahuan—pengetahuan yang hilang saat diterjemahkan menjadi teks.
Perhatikan bagaimana kita mempelajari sejarah. Dokumen tertulis memberi kita informasi: tanggal, nama, dan peristiwa. Namun cerita yang diwariskan dari generasi ke generasi—kisah perjuangan, legenda nenek moyang, narasi rakyat—memberikan arti yang lebih mendalam. Dokumen merekam apa yang terjadi; suara mengingatkan kita akan pentingnya peristiwa tersebut. Membaca sejarah tanpa mendengarkan budayanya membuat cerita kehilangan makna. Mendengar budaya tanpa membaca sejarah menyebabkan kita kehilangan urutan kronologis.
Dalam kehidupan sehari-hari, kita dapat melihat dengan jelas ketidakseimbangan antara kegiatan membaca dunia dan mendengar budaya. Kita mungkin membaca laporan tentang pasar, tetapi sering kali melewatkan kekhawatiran para pedagang kecil. Statistik tentang kemiskinan mungkin memenuhi halaman-halaman, tetapi kita jarang mendengar suara mereka yang terperangkap dalam angka tersebut. Teori komunikasi bisa saja kita pelajari, namun peribahasa yang memiliki kedalaman makna sering tidak kita dengar. Analisis mengenai konflik mungkin kita teliti, tetapi jeritan masyarakat yang menjadi korbannya sering kali terabaikan.
Pada saat ini, tulisan dan suara sebenarnya sedang bersaing untuk mendapatkan perhatian. Walter J. Ong menjelaskan bahwa dalam budaya modern kita, tulisan tidak lagi menjadi satu-satunya bentuk komunikasi, melainkan merupakan campuran: di mana tulisan mengandalkan logika literasi, tetapi dalam interaksi sehari-hari, dominasi lisan tetap terasa. Media digital menyatukan keduanya. Kita menjumpai teks yang ditulis dengan gaya lisan. Kita juga mendengar suara yang dihasilkan melalui teknologi tulisan. Podcast, rekaman suara, vlog, keterangan di media sosial, dan komentar online menunjukkan bahwa kelisanan kembali mengambil posisi penting.
Teknologi telah menghidupkan kembali suara dalam ruang publik, tetapi juga cenderung menjadikan tulisan terasa seakan-akan berasal dari lisan: cepat, ekspresif, dan tanpa pikir panjang. Di sinilah peluang serta tantangan baru muncul. Kita dapat mendengar budaya dengan lebih mudah—melalui cerita pendek, wawancara, atau konten audio—tetapi sering kali terjebak dalam bentuk kelisanan yang dangkal, yang lebih mengutamakan daya tarik daripada makna yang mendalam.
Oleh karena itu, membaca dunia dan mendengar budaya tidaklah hanya dua aktivitas yang terpisah, tetapi dua cara untuk memahami kenyataan yang harus berjalan beriringan. Dengan membaca dunia, kita dapat melihat struktur sosial, sementara dengan mendengar budaya, kita dapat memahami jiwa manusia yang ada di dalam struktur tersebut. Contoh yang jelas muncul ketika kita mengamati fenomena sosial. Untuk bisa memahami perubahan bahasa di kalangan remaja, penting untuk membaca dunia: meneliti pola penggunaan media, interaksi yang terjadi, dan dinamika sosial. Namun, mendengar budaya juga sangat diperlukan: mendengarkan cara mereka berbicara, kata-kata baru yang mereka ciptakan, serta emosi yang mereka ungkapkan. Hanya dengan cara ini kita dapat memahami budaya bahasa dengan baik.
Hal yang sama berlaku dalam memahami identitas suatu bangsa. Membaca dunia memberi kita akses pada catatan sejarah, arsip, dan dokumen resmi. Namun mendengar budaya mengajak kita untuk merasakan lagu daerah, ritual, kebiasaan, dan cerita rakyat—unsur-unsur yang tidak benar-benar hidup dalam bentuk tulisan. Hanya dengan mendengar, kita dapat sepenuhnya memahami budaya.
Karena itu, sejatinya ada ajakan untuk menemukan kembali keseimbangan. Kita tidak bisa memahami dunia hanya dengan membaca, dan budaya pun tidak bisa kita pahami hanya dengan mendengar. Keduanya saling melengkapi. Keduanya membentuk manusia. Keduanya membangun kesadaran. Ketika kita membaca dunia, kita diajarkan untuk berpikir kritis. Ketika kita mendengar budaya, kita belajar merasakan dan menghargai kehidupan.
Akhirnya, membaca dunia dan mendengar budaya adalah dua cara untuk menjadi manusia yang lebih peka, lebih mendalam, dan lebih utuh. Tulisan membantu kita memahami dunia; suara memberi kita kesempatan untuk merasakan maknanya. Dunia menjadi lebih jelas saat kita membaca, dan budaya semakin hidup saat kita mendengar. Ketika kedua hal ini dilakukan bersamaan, kita tidak hanya mengetahui apa yang terjadi, tetapi juga memahami mengapa hal itu penting bagi manusia.
Meskipun ditemukan di semua budaya, dari segi-segi tertentu narasi lebih berfungsi luas dalam budaya lisan primer ketimbang dalam budaya lain. Pertama-tama, dalam budaya lisan primer, seperti yang dikemukakan oleh Havelock (1978a; bdgk. 1963), pengetahuan tidak dapat dikelola dalam kategori-kategori yang kurang lebih bersifat abstrak dan ilmiah. Budaya lisan tidak dapat menghasilkan kategori-kategori seperti itu, jadi digunakanlah cerita-cerita mengenai tindakan manusia untuk menyimpan menata, dan mengomunikasikan sebagaian besar hal yang mereka ketahui.







