Membentuk Karakter,Menyembuhkan Bangsa

Pendidikan karakter adalah pondasi yang menopang keberlangsungan masa depan bangsa. Ia bukan hanya tentang nilai-nilai di atas kertas, tetapi tentang bagaimana seorang anak memahami arti menjadi manusia seutuhnya. Namun, di zaman yang kian kompleks ini, pendidikan karakter tak bisa lagi hanya dibebankan pada sekolah semata. Ada benang merah kuat antara keluarga, sekolah, dan rumah ibadah—sebuah trilogi pendidikan karakter—yang harus saling bersinergi. Guru tidak lagi sekadar pengajar, tapi menjadi konselor, sahabat, dan terkadang pengganti figur orang tua bagi para siswa yang terluka di rumah.

Pendidikan Karakter dan Tantangan Zaman

Menurut Profil Pelajar Pancasila yang dicanangkan pemerintah Indonesia, anak-anak masa kini diharapkan memiliki enam karakter utama: beriman dan bertakwa, berkebinekaan global, bergotong royong, mandiri, bernalar kritis, dan kreatif. Namun bagaimana mungkin nilai-nilai luhur ini tumbuh, jika akar di rumahnya sendiri telah lapuk?

Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa sekitar 40% anak-anak di Indonesia mengalami masalah keluarga yang berdampak pada kesejahteraan emosional mereka. Masalah keluarga ini berpotensi menghambat proses pembentukan karakter yang sehat. Jika pendidikan karakter hanya diajarkan di sekolah tanpa dukungan dari keluarga, maka usaha itu akan sia-sia.

Saya mengajar di jenjang menengah. Setiap hari, saya tidak hanya mengajarkan pelajaran, tapi juga menyerap cerita-cerita sunyi dari siswa saya. Ada yang datang ke sekolah dengan mata sembab karena pertengkaran orang tuanya semalam. Ada yang tidak fokus belajar karena di rumah tidak ada yang memerhatikannya. Pernah seorang siswa berkata lirih, “Pak, saya lebih tenang di sekolah. Rumah saya tidak pernah sepi dari teriakan.”

Dalam kondisi seperti itu, pendidikan karakter yang seharusnya dimulai dari rumah malah harus dipikul penuh oleh sekolah. Di sini, guru tak lagi sekadar mentransfer ilmu, tapi juga harus menyembuhkan luka, memberi harapan, dan menjadi ruang aman yang mungkin tidak mereka temukan di rumah.

Ketika Rumah Tak Lagi Ramah: Guru Sebagai Konselor Karakter

Saya bukan psikolog. Namun di kelas, saya adalah pendengar setia. Anak-anak datang bukan hanya untuk bimbingan belajar, tapi juga untuk berbagi cerita luka. Saya teringat seorang siswa laki-laki yang pendiam, tiba-tiba menangis di ruang guru karena tidak tahan dengan sikap kasar ayahnya. “Saya sudah biasa dipukul, Pak. Tapi saya capek pura-pura baik di sekolah,” katanya.

Pendidikan karakter anak adalah hasil kerjasama tiga pilar utama: keluarga, sekolah, dan rumah ibadah. Jika satu tiang rapuh, maka beban akan ditanggung dua lainnya. Dan seringkali, sekolah lah yang akhirnya menanggung semua. Mengacu pada laporan dari UNICEF, sekitar 28% anak di Indonesia mengalami kekerasan dalam rumah tangga, yang tentunya mempengaruhi perkembangan karakter mereka.Keluarga, sebagai madrasah pertama, seharusnya menjadi ladang kasih sayang dan pembentukan nilai. Namun banyak anak justru tidak mendapatkan itu.

Rumah ibadah seharusnya memperkuat nilai-nilai spiritual dan moral, namun keterlibatan anak dalam kegiatan keagamaan makin berkurang. Data dari Kementerian Agama menunjukkan penurunan partisipasi anak-anak dalam kegiatan keagamaan di rumah ibadah, yang seharusnya menjadi landasan nilai spiritual mereka.

Maka guru menjadi penjaga karakter terakhir, yang mendengar, memahami, dan membimbing anak untuk tetap menemukan harapan dalam dirinya.

Suara Guru: Di Antara Idealita dan Realita

Realitas ini makin kompleks dengan berbagai tekanan administratif. Banyak guru terjebak pada rutinitas laporan, absen digital, dan input data yang menumpuk. Data dari Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) menyebutkan bahwa sekitar 70% waktu guru tersita oleh pekerjaan administratif dibandingkan proses pengajaran langsung.

“Guru yang baik adalah yang bisa menyelesaikan administrasi, bukan yang dekat dengan siswa,” begitu suara sistem yang ironis. Tapi hati saya menolak. Seorang guru yang baik adalah yang bisa menjadi manusia—yang mengajar bukan hanya dengan kata, tapi dengan empati. Yang menjadi teladan, bukan sekadar pelengkap struktur.

Najwa Shihab, tokoh perempuan inspiratif Indonesia, pernah berkata, “Kita tidak kekurangan orang pintar, kita kekurangan orang jujur dan berintegritas.” Inilah alasan kenapa pendidikan karakter menjadi hal yang tak bisa ditawar. Negeri ini butuh generasi yang bukan hanya cerdas, tapi juga berjiwa mulia.

Menghidupkan Trilogi Pendidikan: Sekolah, Rumah, dan Iman

Kita tak bisa terus membiarkan guru berjuang sendiri. Pemerintah perlu menguatkan pendidikan karakter berbasis trilogi pendidikan. Artinya, perlu ada integrasi antara peran orang tua, peran guru di sekolah, dan dukungan spiritual dari rumah ibadah.

Program parenting harus digiatkan kembali. Guru dan orang tua perlu berdialog lebih terbuka, bukan saling menyalahkan ketika anak bermasalah. Rumah ibadah pun didorong untuk menciptakan ruang diskusi dan bimbingan moral yang ramah anak dan kekinian.

Di sinilah nilai-nilai Ki Hajar Dewantara relevan kembali: “Ing ngarso sung tulodo, ing madya mangun karso, tut wuri handayani.” Guru bukan hanya di depan memberi contoh, tapi juga di tengah sebagai penggerak, dan di belakang sebagai penyemangat. Nilai-nilai ini menjiwai peran guru sebagai sahabat karakter siswa.

Karakter Masa Kini: Apa yang Dibutuhkan?

Anak-anak zaman sekarang hidup di tengah arus teknologi, budaya instan, dan media sosial. Maka karakter yang perlu ditanamkan harus menyesuaikan zaman :                                                                                              A .Berani dan jujur di dunia digital, bukan sekadar hafal teori.                                                                            B. Empati lintas budaya, karena mereka hidup dalam dunia global.                                                                  C. Disiplin dan mandiri, bukan karena takut dihukum, tapi karena sadar tanggung jawab.                                  D. Kritis dan kreatif, bukan sekadar ikut-ikutan tren.

Nilai-nilai ini tidak bisa diajarkan dengan ceramah. Ia hanya bisa ditanamkan lewat teladan. Dan siapa lagi yang punya akses sedekat itu ke anak-anak, kalau bukan guru?

Penutup : Membentuk Karakter, Menyelamatkan Bangsa

Jika pendidikan karakter terus diabaikan, maka kita sedang membiarkan generasi kehilangan arah. Guru yang tidak didengar, akan kehilangan semangat. Anak yang tidak dipahami, akan kehilangan jati diri. Dan bangsa yang kehilangan keduanya, akan kehilangan masa depannya.

Mari kita rangkul kembali nilai-nilai luhur dalam mendidik. Jadikan guru sebagai tokoh utama dalam pendidikan karakter. Jadikan keluarga sebagai ladang kasih sayang yang tulus. Dan jadikan rumah ibadah sebagai penopang spiritual yang hidup.

Sebab sejatinya, mendidik karakter bukan hanya soal hari ini. Ia adalah tentang siapa yang akan memimpin negeri ini esok hari.

Tagar:

Bagikan postingan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *