Memori Lisan, Alur Cerita, dan Karakterisasi

MEMORI LISAN, ALUR CERITA DAN KARAKTERISASI
Oleh: Zahratulaeni

Pergeseran dari kelisanan menuju keaksaraan terlihat pada banyak genre seni verbal-sajak, narasi, wacana deskriptif, seni berpidato (dari yang murni lisan hingga yang tertata secara tulis sampai pidato gaya televisi), drama, karya-karya filosofis dan ilmiah, historiografi, dan biografi, merupakan sedikit contoh yang bisa disebutkan. Dari semuanya ini, genre yang paling banyak dikaji dalam hal perubahan kelisanan-keaksaraan adalah narasi.

Di mana-mana, narasi merupakan genre utama seni verbal, dan ini berlangsung dari budaya lisan primer hingga keaksaraan tinggi dan era pemrosesan informasi elektronik. Dalam pengertian tertentu, narasi adalah bentuk seni verbal yang paling penting karena ia mendasari begitu banyak bentuk seni lainnya, sering kali bahkan bentuk yang paling abstrak. Pengetahuan manusia dihasilkan dari waktu. Bahkan di balik abstraksi ilmu pengetahuan, terdapat narasi pengamatan yang menjadi basis abstraksi.

Meskipun ditemukan di semua budaya, dari segi-segi tertentu narasi lebih berfungsi luas dalam budaya lisan primer ketimbang dalam budaya lain. Pertama-tama, dalam budaya lisan primer, seperti yang dikemukakan oleh Havelock (1978a; bdgk.1963), pengetahuan tidak dapat dikelola dalam kategori- kategori yang kurang lebih bersifat abstrak dan ilmiah. Budaya lisan tidak dapat menghasilkan kategori-kategori seperti itu, jadi digunakanlah cerita-cerita mengenai tindakan manusia untuk menyimpan, menata, dan mengomunikasikan sebagian besar hal yang mereka ketahui.

Narasi sangat penting dalam budaya lisan primer karena bisa mengikat sejumlah besar adat dan pengetahuan dalam bentuk yang relatif panjang, besar, serta cukup tahan lama-yang dalam budaya lisan berarti bentuk-bentuk yang akan diulang.

Dalam budaya tulis atau cetak, teks secara fisik mengikat apa pun yang dikandungnya dan memungkinkan pemunculan kembali segala jenis organisasi pikiran sebagai satu kesatuan. Dalam budaya lisan primer, yang tidak memiliki teks, narasi berfungsi untuk mengikat pemikiran secara jauh lebih besar- besaran dan lebih permanen ketimbang genre-genre lain.

Narasi itu sendiri memiliki sejarah. Scholes dan Kellogg (1966) meneliti dan menskematisasi sebagian cara berkembangnya narasi di Barat dari sebagian asal-usul lisan kunonya hingga saat ini, dengan memberi perhatian penuh pada faktor-faktor sosial, psikologis, dan estetis yang rumit serta faktor-faktor lain.

Dalam Ars Poetica karyanya, Horace menulis bahwa pujangga epik “bergegas menuju aksi dan memburu-buru pendengar ke bagian tengah” (baris 148-9). Horace terutama tengah memikirkan tentang keabaian pujangga epik terhadap urutan waktu. Pujangga melaporkan sebuah situasi dan baru lama setelahnya menjelaskan, sering kali secara mendetail, bagaimana situasi itu bisa terjadi (Brink, 1971: 221-2).

Penafsiran terhadap epik lisan oleh orang-orang melek aksara di masa lalu pada umumnya memandang para pujangga epik lisan melakukan hal yang sama, melekatkan pada mereka penyimpangan sadar dari susunan yang pada kenyataannya tak mungkin ada tanpa tulisan. Penafsiran semacam itu menunjukkan bias tulis yang sama dengan yang tampak jelas pada istilah “sastra lisan”. Sebagaimana penampilan lisan dianggap sebagai varian tulisan, begitu pula plot epik lisan dianggap sebagai varian plot yang dibuat dalam bentuk tulisan untuk drama. Aristoteles sudah berpikir seperti itu dalam karyanya Poetics (1447-1448a, 1451a, dan di tempat-tempat lain), yang jelas menunjukkan pemahaman yang lebih baik mengenai drama. Drama ditulis dan dimainkan dalam budaya tulis Aristoteles sendiri, sementara epos merupakan produk budaya lisan primer yang telah lama lenyap.

Berkley Peabody membuka wawasan baru mengenai hubungan antara memori dan plot dalam karyanya yang Panjang, The Winged Word: A Study in the Technique of Ancient Greek Oral Composition as Seen Principally through Hesiod’s Works and Days (1975). Dia menempatkan psikodinamika epik Yunani dalam tradisi Indo-Eropa, menunjukkan pertalian erat antara metrik Yunani dan metrik Avesta (teks suci kaum Zoroaster dalam bahasa Iran kuno yang terkait erat dengan bahasa sansekerta Weda-penerj.), metrik Weda india dan mentrik-mentrik Sansekerta lain serta hubungan antara
evolusi baris heksameter dan proses mental. Besar kemungkinan apa yang dikemukakannya mengenai posisi plot dan tentang hal-hal yang terkait dalam kidung narasi Yunani akan didapati berlaku pada narasi lisan budaya-budaya di seluruh penjuru-penjuru dunia dengan beragam cara.

Sebagian secara tersurat dan Sebagian lagi secara tersirat, Peabody menegaskan ketakserasian tertentu antara plot linear (piramida Freytag) dan memori lisan, sesuatu yang belum dicapai oleh karya-karya sebelumnya. Dia menjelaskan bahwa “pemikiran” atau kandungan sesungguhnya epic lisan Yunani kuno terletak pada pola-pola stanza dan formulawi tradisional yang diingat, bukan pada niatan sadar penyanyinya untuk menata atau “memplot” narasi dengan suatu cara tertentu yang diingat (1975:172-9) ‘Penyanyi tidak menampilkan niatannya sendiri melainkan memunculkan kesadaran konvensional atas pemikiran tradisional untuk para pendengarnya (1975: 176). Si penyanyi tidak sedang menyampaikan ‘informasi’ dalam pemahaman umum kita mengenai pipeline
transfer ‘pemindahan ala saluran’ data dari penyayi ke pendengar. Pada dasarnya, si
penyanyi mengingat dengan cara publik yang ganjil, mengingat bukan dari teks yang
dihafal, karena hal semacam itu tidak ada, juga bukan mengingat rentetan kata verbatim,
melainkan mengingat tema dan formula yang telah dia dengar dilantunkan oleh penyanyi
lain. Dia selalu mengingat tema-tema dan formula-formula itu secara berbeda, sebagaimana terajut atau tersusun dengan caranya sendiri pada kesempatan khusus ini
untuk pendengar tertentu ini. “Lagu adalah ingatan akan lagu-lagu yang telah
dinyanyikan”. (1975:216).

Memori Lisan, Alur Cerita dan Karakterisasi menegaskan bahwa pergeseran dari
tradisi lisan menuju tradisi tulis membawa perubahan besar dalam cara manusia
memahami, menyimoan, dan menyampaikan pengetahuan. Narasi menjadi fokus utama
karena ia merupakan genre seni verbal yang paling bertahan dan paling berfungsi dalam
budaya lisan primer. Dalam Masyarakat yang tidak bergantung pada tulisan, narasi
memainkan peran penting sebagai wadah pengetahuan kolektif, sebab mereka tidak
memiliki kategori abstrak yang biasanya disediakan oleh budaya tulis. Cerita-cerita
mengenai tindakan manusia menjadi sarana pengikat adat, norma, dan informasi sosial
yang diwariskan secara turun-temurun.

Perubahan cara memandang alur cerita dari pola lisan menuju pola tulis ditunjukkan melalui kritik terhadap anggapan bahwa epik lisan mengikuti pola plot linear. Melalui kajian Peabody, dijelaskan bahwa ingatan lisan tidak bekerja seperti teks tertulis. Penyanyi epik tidak menghafal kata demi kata, tetapi mengingat formula dan tema tradisional yang kemudian dirangkai Kembali sesuai konteks penampilan. Karena itu, struktur narasi lisan bersifat fleksibel, tidak kaku, dan tidak berpijak pada urutan waktu yang ketat. Kesimpulannya, hubungan antara memori lisan dan alur cerita merupakan proses kreatif yang merefleksikan cara budaya lisan memahami dunia melalui ingatan kolektif, pola berulang, dan tradisi yang terus hidup dalam praktik naratif.

 

Tagar:

Bagikan postingan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *