Mencintai Diriku Sendiri untuk Meraih Cita dan Kebahagiaan
Karya: Alfia Nurchasanah
“Boleh saya cek tensinya dulu mbak?, Tensinya tinggi ya…mbaknya apakah kurang cukup tidur?”
“Iya Bu, akhir-akhir ini tidur saya malam”
“Baik, mbak tunggu nomor antrian ya..nanti saat dipanggil silahkan masuk ke dalam ruangan”
Itulah kondisiku saat memberanikan diri bulan Juli tahun 2023 untuk pergi ke psikiater. Saat itu aku sangat tidak pikir panjang akan sesuatu terjadi kedepannya, yang aku pikirkan hanya bagaimana kondisiku bisa jauh lebih baik, tak masalah bila harus minum obat tidur atau apapun jenisnya itu. Aku pikir diriku ini baik-baik saja karena selalu gembira bila bersama dengan teman-teman. Benar apa yang dikatakan Dosen yang mengajariku psikoterapi saat semester 4.
“semua hal yang kita pendam perlahan-lahan akan menjadi bom waktu bagi kita, apabila terlalu lama dan sering memendam perasaan sakit yang begitu amat dalam.
Terkadang kita hanya butuh jeda agar bisa melihat kondisi diri kita, mungkin kita seringkali paham perasaan orang lain tapi lupa dengan memperhatikan kondisi diri kita yang seharusnya lebih di utamakan terlebih dahulu.”
Kembali ke 1 bulan sebelum pergi pada psikiater 2
Saat itu, setelah praktik art therapy kedua temanku berkomentar soal gambaran ku yang sangat gelap pemilihan warnanya. “Kayaknya kamu harus ke psikiater deh..masalah kamu berat ya?” aku yang mendengar mereka mengatakan hal tersebut hanya tertawa saja padahal memang perintah dari Dosen yang mengajar saat itu untuk menggambar dengan menunjukkan rasa emosi yang dikeluarkan dari warna yang dipilih, dan aku hanya tertuju oleh insting-insting saja dan merasa perasaanku ini baik-baik saja.
Sampai salah satu teman dekatku mendekat, setelah mata kuliah selesai dan kelas mulai sepi “Kamu ga kenapa-napa kan? Ada masalah? karena masalah kamu mau asrama pasti ya?” Aku yang mendengar pertanyaan darinya hanya menjawab datar bahwa aku baik-baik saja. Dan dia menyeletuk kembali “Kalo kamu butuh apa-apa bilang ya..apa mau ke psikiater bareng aku nanti bulan depan sihh”
Diriku yang mendengar perkataannya kembali hanya menjawab biasa bahwa aku tidak membutuhkan Psikiater, jika butuh mungkin aku akan pergi kesana setelah skripsi ataupun lulus dari kuliah. Karena aku merasa permasalahan ku ini bukanlah masalah serius yang harus diceritakan oleh orang profesional terlebih lagi aku hanya merasa kaget saja nanti di semester 5 harus tinggal di asrama jadi ini hanya permasalahan penerimaan yang harus ditumbuhkan dalam diri.
Aku adalah seorang mahasiswa pengejar beasiswa agar bisa tetap bertahan kuliah dan meraih cita-cita ku mencapai target yang aku impi-impikan, rasanya sangat membahagiakan saat keluar dari bangku SMA bisa mendapatkan beasiswa di semester 2 lalu dan semester 3 mendapatkan beasiswa full hingga lulus serta bisa pergi gathering dengan penerima beasiswa lainnya di Daerah yang pertama kali aku kesana dan dibiayai full. Hal itu 3
tentu sebuah anugerah yang diberikan oleh Allah SWT padaku dan juga pengalaman yang tidak pernah aku lupakan.
Namun saat tiba-tiba ada pemberitahuan secara tiba-tiba asrama yang seharusnya tidak ada dalam perjanjian aku merasa kaget, sulit bagiku untuk bisa menerima itu. Aku memiliki beberapa alasan salah satunya adalah menjaga Mbah ku. Aku tinggal dengan kakek serta nenekku di kota ini untuk berkuliah dan ibuku berada di sebuah pulau yang ku sebut pulau itu pulau M yang dimana beliau berjualan disana serta memiliki usaha.
Hari demi hari kehidupan asrama aku jalani, banyak adaptasi yang harus aku lewati mulai dari karakter teman-teman ku dan seseorang yang menyebalkan dalam asrama itu. Sampai dimana dadaku terasa sesak karena selalu menyimpannya sendiri sebenarnya aku sadar dari lama saat diriku memenangkan karya terbaik di salah satu platform konseling digital saat itu dan ada hadiah konseling gratis selama 6 bulan yang aku dapatkan, aku memanfaatkannya dan aku bercerita banyak hal dan sangat melegakan mengatakannya. Namun, kehidupan asrama yang membuat aku kurang nyaman serta terasa tidak memiliki privasi untuk diri sendiri dari banyaknya konflik antar teman dan diriku pun bukan manusia sempurna tentunya pasti ada kurangnya dalam diriku.
“Kayaknya aku udah ga kuat deh…aku mau ikut kamu pergi ke Psikiater” ucapku saat menelpon teman dekatku itu.
Benar bagai bom waktu perasaan sakit yang lama di pendam dan pondasi dalam diriku selalu berkata bahwa aku baik-baik saja nyatanya kini menghantam ku begitu sakit hingga terasa sesak dan tidak tahu harus bagaimana lagi.
Saat menunggu no antrian di poli jiwa diriku terasa lunglai rasanya seperti mimpi, apakah benar aku disini? Tapi, apa bedanya sakit di jiwa dengan fisik keduanya juga membutuhkan perawatan,dan yang aku rasakan adalah sakit yang tak terlihat oleh siapapun di dunia ini dan hanya aku yang paham itu.
Saat psikiater menanyakan apa kondisi yang aku rasakan aku jujur saja saat itu, bahwa nafsu makan ku berkurang, pola tidur tak teratur dari tidur jam 2 pagi bangun jam 4. Menjalani hari-hari yang terasa hampa bagiku dan aku sering sekali menangis tanpa alasan. Aku tidak tau mau cerita apa soal kondisi ku jadi aku hanya menceritakan lingkup asrama saja saat itu.
Aku minum obat penenang dan tidur selama 3 bulan dari bulan Agustus hingga November di tahun 2023 ini. Aku memutuskan untuk berhenti dengan selalu berpikir bahwa aku harus bisa membahagiakan diriku terlebih dahulu sebelum orang-orang disekitarku. Yang utama adalah diriku. Yang awalnya aku sangat tidak berhenti istirahat untuk mengikuti beberapa perlombaan, mengerjakan tugas-tugas kuliah, mengikuti beberapa volunteer, dengan tujuan awalnya ingin menambah pengalaman diriku di usia muda justru malah menjadi pelarian diriku dikala tidak ingin memikirkan hal-hal yang membuat diri menjadi sedih dan akhirnya berujung pada burn out stress karena tidak kuasa menahan hal-hal tersebut.
Kusadari hal tersebut butuh proses agar bisa kembali lagi semangat menjalani semua hari-hari yang kujalani, apalagi di tengah banyak sekali isu mahasiswa yang melakukan aksi “Bun*uh dir* ” membuatku paham banyak sekali seseorang yang belum bisa menyadari pentingnya kesehatan mental bagi diri mereka dan terkadang tak masalah jika harus pergi kepada seseorang yang profesional. Aku mulai memberi jeda kepada aktivitas yang kujalani walaupun ada beberapa orang yang mengatakan “Si dia ikut lomba loh…kamu ga ikut? Emang kamu ga mau dapet juara lagi? Buat nambah prestasi?”
Perkataan yang keluar dari seseorang yang tidak tahu akan kondisiku ku akui memang menyakiti perasaanku dan aku tidak bisa berkata apa-apa saat itu selain, aku hanya sibuk dengan kegiatan yang lain. Nyatanya memang aku sedang tidak ingin terlalu memaksa diriku jika aku memang tidak senang dengan kegiatan itu. Aku lebih suka mengikuti kegiatan volunteer daripada perlombaan karena aku merasa senang bisa bertemu dengan orang-orang baru dan bisa membantu mereka suatu kebahagiaan bagiku. Kegiatan volunteer juga sangat berkaitan dengan jurusan kuliah yang aku ambil yaitu ilmu kesejahteraan sosial.
Perlombaan aku baru memulainya saat mendapatkan beasiswa dan teman-temanku setiap bulannya selalu mendapatkan penghargaan aku juga saat itu merasa harus mengejar mereka seperti mengikuti beberapa perlombaan yang tidak sesuai minat ku, pernah saat itu aku memenangkan juara pada lomba video kreatif, tetapi mengikuti perlombaan lain bagiku sangat menyiksa dan begitu melelahkan mengejar mereka tapi pada bidang yang tidak aku senangi, sesak rasanya mungkin itu salah satu faktor dari burn out yang aku alami.
Di semester 5 aku hanya fokus pada magang yang aku ikuti pada MBKM ( Merdeka Belajar Kampus Merdeka) independen yang dilakukan oleh program studi kampus, dan aku sangat bersemangat bisa magang di sebuah lembaga yang berfokus pada penanganan jiwa, hal tersebut membuat aku semakin sadar untuk bisa mencintai diri sendiri. Walaupun tidak semudah itu, terkadang rasa sakit yang tiba-tiba datang dan menangis tanpa alasan masih saja ada.
Dalam masa penyembuhan ini aku sering sekali kehabisan tenaga untuk berkata apa-apa pada seseorang tentang kondisiku dan aku rasa mereka juga tidak perlu tahu akan hal tersebut. Hidup yang aku lalui adalah milik diriku, prestasi tidak perlu harus dengan perlombaan yang kita menangi, mencintai diri sendiri juga bagian dari prestasi yang kita harus banggakan. Karena, masih banyak orang-orang yang belum bisa berhasil dalam mencintai dirinya di luar sana. Fokus pada diri sendiri ikuti bidang-bidang yang kamu senangi, tidak perlu terburu-buru ambil jeda untuk istirahat agar kegiatan yang kamu lakukan juga bisa memiliki kualitasnya sendiri karena jeda yang kamu gunakan tersebut.
Dalam kisahku yang telah aku bagikan ini, ada sebuah beberapa perkataan dari seseorang yang sampai kini selalu terngiang-ngiang pada benakku dan afirmasi positif tersebut membuat ku merasa lebih tenang dan bisa bertahan bahkan kondisi terbawah di hidup ini.
Di titik terendah aku sempat menghawatirkan kondisi seseorang tersebut karena dirinya beberapa melakukan self harm (melukai dirinya sendiri) aku takut hal buruk terjadi padanya. Tapi, ada seseorang yang berkata pada ku ” Kamu hebat masih berusaha membantu orang lain tapi jangan lupakan kebutuhan dirimu juga ya” perkataan tersebut membuat diriku merasa tersadar masih ada beberapa hal yang harus aku perhatikan pada diriku. Jika aku ingin membuat seseorang disekitarku bahagia maka aku harus bahagia terlebih dahulu.
Dikala diriku merasa terpuruk tidak ada teman untuk bercerita (lebih tepatnya aku tidak pernah merasa ada seseorang yang tepat untuk mendengarkan aku cerita) karena setiap percaya pada seseorang untuk menceritakan masalahku pasti ada beberapa perkataannya yang melukai ku. Namun, kembali lagi manusia tidak ada yang sempurna dan aku tidak lupa dengan hal itu. Perkataan seseorang yang membantuku saat ada dititik terendah ini menguatkan aku untuk percaya kembali pada seseorang.
” kamu boleh punya teman buat ngobrol kalau ada yang cocok dan bisa diajak cerita, bisa mulai dengan cerita yang sederhana dulu. Kita pasti perlu seseorang buat berbagi cerita dan perasaan. Kadang jalannya juga tidak mulus, bisa ternyata ga cocok dengan teman itu ya ga apa. Bagian dari perjalan hidupmu. Dalam hidup kita boleh sesekali terlihat tidak baik-baik saja dihadapan orang lain dan mereka mungkin saja bisa membantu meringankan beban kita. Memang ada perasaan takut dipandang A-Z tetapi tidak apa, kita manusia tidak mungkin sempurna. Yang penting kita tetap menjadi orang yang baik, dekat dengan Tuhan.”
Perkataan yang sederhana tapi begitu mendalam sekali. Dan aku harap siapapun yang akan membaca cerita ini, ini adalah kisahku yang begitu panjang tapi aku ceritakan sedikit saja bagaimana aku bisa bertahan dan menemukan bahagia ku pada hal terkecil dan bisa meraih cita-cita serta harapan ku perlahan-lahan di tahun 2023 dan berharap di tahun 2024 juga seperti itu menemukan bahagia tidak perlu harus terlihat, karena tanpa sadar ada hal kecil juga yang bisa menjadi satu alasan untuk bisa bahagia. Kamu yang membaca ini semoga bisa menemukan bahagia di dirimu sendiri dan tetap semangat karena kita tidak akan tau besok bahwa setelah badai ini akan ada pelangi setelah itu akan ada matahari yang bersinar terang menyinarinya.
Kuucapkan terimakasih banyak kepada teman-teman yang selalu ada di sekeliling ku hingga saat ini serta mereka yang mau mendengarkan keluh kesah ku padahal hanya pada lingkup itu-itu saja, serta mereka yang mau berproses bersama denganku. Ku ucapkan juga terima kasih pada diri ini yang sudah bertahan hingga saat ini. Dirimu hebat, dan maafkan diriku yang tidak bisa mencintai diri ini secara lebih aku selalu memperhatikan orang lain tapi lupa bahwa diri ini juga perlu diperhatikan kebutuhannya terlebih dahulu. Mari kita berjuang bersama wahai diri, berjuang bersama untuk semua tantangan-tantangan yang akan ada di depannya nanti dan semoga diri ini bisa jauh lebih diberikan kekuatan untuk bisa menghadapi semua rintangan. Sekali lagi ku katakan “aku mencintai diriku untuk berbahagia.” Itulah satu alasan dari ribuan penyebab yang membuat diri ini menangis.