Menegakkan Panji
Karya: Dini Hanifa
Udara dan kabut pagi seperti pintalan sutra halus yang membelai lembut apa saja yang ia lewati. Layaknya sutra yang mahal, udara bersih nan segar semacam ini merupakan harta karun yang sering diburu masyarakat urban meski harus ditempuh dengan cara bermacet-macetan di tengah waktu libur yang serba terbatas. Ah, siapa peduli. Walaupun polusi di kota nyaris mencekik paru-paru, tapi itu lebih kusukai daripada udara bersih di pelosok kampung yang telah menjerat seluruh mimpiku.
“Kamu anak abah satu-satunya, Alya. Siapa lagi yang akan meneruskan sekolah kita jika bukan kamu?”
Itulah kalimat yang diucapkan abah saat aku baru saja lulus dari perguruan tinggi dengan dengan predikat lulusan terbaik dan telah mendapat tawaran untuk bekerja sebagai jurnalis di salah satu perusahaan media massa bonafide.
“Mengajar bukanlah duniaku, Bah. Abah yang mendirikan sekolah itu, abah yang gagal memajukannya, kenapa aku yang harus bertanggungjawab untuk mempertahankannya?” Aku berontak menolak.
Dan abah mengeluarkan senjata paling ampuh yang ia dimiliki; penyakit jantungnya.
Ketertarikanku pada dunia jurnalistik dan kepenulisan sudah dimulai bahkan sebelum aku duduk di bangku kuliah. Bagiku, dunia sastra dan berita adalah samsak yang dapat memuaskan buncahan sikap kritisku yang menggebu-gebu. Sejak SMA, aku sudah aktif sebagai pengurus mading dan penyiar di ekskul radio sekolah. Lulus dari SMA, abah bersikukuh menginginkan aku masuk fakultas keguruan. Kuturuti, aku mengambil jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, jurusan keguruan yang kurasa paling dekat dengan jurnalistik dan kepenulisan.
Sejak semester satu, aku sudah aktif di UKM jurnalistik dan sastra. Di semester tiga aku mulai menulis buku dan bekerja freelance sebagai editor naskah di sebuah penerbit kecil. Beranjak semester lima, aku mengikuti program magang sebagai jurnalis di salah satu kantor berita. Aku masih ingat betul, beberapa hari sebelum wisuda, aku diminta Bang Satya -pemimpin redaksi di tempatku magang dulu- untuk bergabung kembali menjadi tim redaksi di
kantor berita tersebut. Jalanku menuju mimpi begitu terbentang lebar, luas dan mulus, sebelum akhirnya dijegal oleh ayahku sendiri.
Aku memejamkan mata dan menarik napas dalam-dalam, dengan berat hati kulangkahkan kaki memasuki gerbang sekolah yang sudah rapuh dan karat di sana-sini. Beberapa anak berseragam putih-merah berlalu-lalang melewatiku. Kuamati mereka satu demi satu. Ada yang berlarian tanpa sepatu, ada yang menjinjing tas dari anyaman bungkus kopi, hingga yang menenteng buku paket usang tak bersampul. Jangan ditanya soal baju yang kusam, celana yang pudar atau penampilan yang lusuh. Aku seperti kembali beberapa dasawarsa ke belakang saat mengamati setiap sudut sekolah ini.
“Assalamualaikum, ini Bu Alya putri Pak Hilman itu, ya?” Seorang lelaki paruh baya menghampiri dan menyalamiku dengan ramah.
Aku tersenyum, mengangguk.
“Wah, alhamdulillah, akhirnya ada guru yang mau mengajar di sini. Anak-anak pasti senang sekali. Mari, saya antar ke ruang guru.”
Lelaki paruh baya itu mengantarku menuju ruangan kecil yang ia sebut ruang guru. Hanya ada satu meja kepala sekolah dan lima meja guru di dalamnya. Lemari-lemari kayu yang telah dimakan rayap membuat keadaannya makin memprihatinkan. Setelah berkenalan, aku tahu jika lelaki paruh baya tersebut adalah Pak Sobri, kepala sekolah yang menggantikan abah setelah abah pensiun karena sakit-sakitan.
Walaupun kerut di wajahnya menggambarkan usia yang tak prima lagi, tapi semburat semangat masih terpancar jelas di matanya. Pancaran gairah yang membuatku miris, sebab beliau dan guru-guru lain di sini hanya menerima upah tak lebih dari 500 ribu perbulan, bahkan kadang kurang dari itu. Aku sempat protes pada abah soal tidak manusiawinya gaji para guru di sekolah ini, tapi abah tak punya pilihan lain. Sekolah ini hanya disokong yayasan kecil dan dana BOS yang tak seberapa karena muridnya yang semakin sedikit. Jika bersikeras ingin menaikkan gaji guru, maka jalan paling masuk akal adalah dengan menaikkan bayaran siswa, dan abah tak pernah tega melakukan itu.
Tak berselang lama, bel berbunyi, dan aku dipersilakan masuk ke kelas untuk mulai mengajar. Tentu aku sadar bahwa yang akan kuhadapi hanyalah bocah-bocah kelas 4 SD yang tidak ada apa-apanya dibandingkan orang-orang penting yang biasa kutemui saat meliput berita, tapi entah mengapa aku merasa sangat gugup. Aku mengucap salam begitu memasuki kelas berisi 12 orang anak itu, dan aku terkesima saat mereka menatapku dengan sorot mata yang lugu, jernih dan terang. Mereka segera duduk di bangku masing-masing begitu melihat kehadiranku, kecuali seorang anak laki-laki yang masih asyik berlari kesana-kemari seakan tak peduli dengan keberadaanku.
Aku mengepalkan tangan untuk meyakinkan diri, mencoba mengumpulkan kembali benih-benih kesabaran dan kelemahlembutan yang agaknya sudah lama tidak kumiliki karena tergerus kultur pekerjaan seorang jurnalis yang menuntutku serba cepat, efisien, dan tegas.
“Selamat pagi, anak-anak pintar. Perkenalkan, nama Ibu adalah Bu Alya. Mulai sekarang, Ibu akan menjadi wali kelas kalian. Sebelum menjadi guru, ibu adalah seorang penulis berita. Siapa di sini yang suka menonton atau membaca berita?”
Beberapa anak mulai terpancing menanggapi pertanyaanku. Ternyata menarik perhatian mereka tidak sesulit yang kubayangkan, bahkan pertanyaan-pertanyaan spontan dari mereka yang akhirnya justru membuatku terpancing untuk terus bercerita. Mereka melonjak antusias saat kubilang bahwa aku adalah anak Pak Hilman. Ternyata, abah merupakan guru yang disayangi murid-muridnya. Anak-anak itu menceritakan betapa mereka sangat merindukan sosok abah yang senang bercerita. Salah satu anugerah berharga yang kerap abai kusyukuri, bahwa aku tumbuh bersama kasih sayang dari seorang ayah yang gemar mengajarkan nilai kehidupan melalui kisah-kisah bernas yang beliau sampaikan.
Dulu, saat teman-temanku tidur ditemani suara televisi, pengantar tidur Alya kecil adalah suara merdu abah yang menceritakan berbagai kisah nabi dan rasul, cerita rakyat, legenda, dongeng, hingga hikayat-hikayat yang bahkan masih kuingat hingga saat ini. Cerita-cerita yang abah sampaikan bagaikan benih-benih kebaikan yang kini tumbuh menjadi sikap empati, kedalaman nalar, keteguhan prinsip dan ketertarikan pada dunia bahasa. Kini, aku jadi merasa bertanggungjawab untuk mengobati kerinduan mereka pada abah.
“Baiklah Anak-anak, untuk pertemuan kali ini kita tidak akan membahas materi pelajaran terlebih dahulu. Ibu akan bercerita tentang sebuah desa yang tenggelam dan menjadi danau sebagai hukuman untuk orang pelit dan sombong. Siapa yang mau mendengarkan cerita Ibu?”
Semua anak kompak mengacungkan tangan. Ah, tidak semua ternyata, satu anak laki-laki yang sejak tadi tak mau diam itu terus berlari kesana-kemari sambil mengusili teman-temannya. Awalnya aku berusaha menghiraukan, tapi jika terus dibiarkan, dia akan mengganggu anak-anak yang lain, maka kucoba untuk mengingatkannya baik-baik.
“Panji, bisakah kau duduk dan menyimak cerita Ibu bersama teman-temanmu yang lain, Sayang?” Pintaku setelah salah satu siswa memberitahuku bahwa anak itu bernama Panji.
Ia tak bergeming. Tingkahnya malah makin menjadi-jadi. Kini ia menendang meja-meja siswa yang ia lewati, sambil tertawa mengejek. Seperti sengaja betul menantang ucapanku. Aku mulai dongkol, tapi kali ini aku mencoba apatis. Tipe siswa seperti ini agaknya memang sengaja menantang guru. Semakin dilarang semakin ia merasa diperhatikan. Aku tak akan terpancing.
Dengan ekspresi dan intonasi terbaik yang bisa kutampilkan, aku mulai menceritakan kisah Situ Bagendit. Cerita rakyat yang dulu pernah kujadikan objek penelitian dalam mata kuliah Sastra Lisan. Anak-anak antusias menyimak. Meski sesekali Panji memecah konsentrasi dengan tingkah-tingkah nyelenehnya, aku berusaha melanjutkan cerita dan memastikan perhatian siswa yang lain tetap tertuju padaku. Namun, aku tak bisa menahan diri lagi, saat seorang anak menangis karena ulahnya. Panji secara tiba-tiba menarik jilbab seorang siswi sampai terlepas, hingga membuat dagu siswi tersebut baret terkena jarum pentul. Yang lebih menyebalkan, anak itu malah cengengesan melihat temannya kesakitan.
“Panji, kamu sudah melukai temanmu. Lihat, dagunya sampai berdarah. Itu perbuatan tidak baik, Nak. Kamu mau tidak temanmu melakukan hal yang sama kepadamu? Ayo minta maaf, dan jangan diulangi lagi.”
Bukannya meminta maaf, anak itu malah menoyor kepala korbannya, lalu menjulurkan lidah kepadaku. Menantang, mengejek. Kuremas penghapus di tanganku kuat-kuat, berusaha menahan diri untuk tidak melemparkannya ke jidat bocah keparat itu. Kali ini, dengan intonasi yang lebih emosional, aku tegas menyuruhnya keluar.
“Kalau kamu tidak suka pelajaran ibu dan terus mengganggu teman-temanmu, lebih baik kamu keluar! Keluar sekarang, Panji!” Telunjukku mengarah lurus ke arah pintu. Balik menantangnya.
Namun, respons anak ini sungguh membuatku kehabisan akal untuk menghadapinya, dia berbalik membelakangiku, lalu menungging tepat di hadapanku.
“Huu.. Dasar guru jelek, Mak Lampir tukang marah-marah.” Ucapnya sambil menunjuk-nunjuk wajahku.
Cukup sudah. Kemarahanku sudah mendidih hingga ke ubun-ubun. Hari itu juga, seusai mengajar, aku meminta izin kepada Pak Sobri untuk memanggil orang tua Panji ke sekolah, melaporkan kenakalan anak mereka yang di luar batas kelaziman sebagai seorang anak berusia 9 tahun. Kuceritakan apa yang terjadi antara aku dengan anak itu di kelas, tapi tak dinyana tanggapan Pak Sobri justru membuatku kecewa.
“Lebih baik jangan, Bu Alya. Saya mengerti perasaan Ibu, anak itu memang sangat menjengkelkan, bahkan saya pernah dikuncinya di kamar mandi, tapi memanggil orang tua Panji ke sekolah tidak akan menyelesaikan masalah, malah justru akan membuat permasalahan semakin panjang.” Pak Sobri tampak hati-hati menjelaskan.
Aku tak mau kalah, bersikeras kutentang pendapat kepala sekolah berusia kepala enam itu.
“Kenapa tidak, Pak? Sekolah harus punya keberanian menangani hal semacam ini. Jangan mentang-mentang sekolah kita sedang butuh murid, lantas tidak berani menindak murid yang yang ulahnya sudah di luar batas. Kita jadi seperti tidak ada harga dirinya. “
Pak Sobri mengembuskan napas panjang, terlihat tengah menimbang-nimbang, lalu dengan tenang beliau menjelaskan kondisi Panji dan keluarganya yang jauh dari kata ideal.
Panji tinggal serumah bersama seorang bapak yang temperamental. Bapak Panji dikenal warga kampung sebagai tukang maling, penjudi, pemabuk, bahkan pernah kecanduan narkoba. Ia sempat keluar-masuk penjara beberapa kali. Riwayat aksi pencuriannya pun sungguh lengkap, mulai dari mencuri perabotan rumah, uang, perhiasan, hewan ternak hingga sepeda motor. Ia bahkan pernah nyaris tak sadarkan diri saat dikeroyok warga karena ketahuan mencuri sepeda motor. Namun itu semua belum juga membuatnya jera. Ibu Panji, karena tak tahan dengan sikap sang suami, memilih kerja jadi TKW di luar negeri. Kabarnya ia diberangkatkan oleh sebuah lembaga ilegal, dan sampai sekarang tak ada yang tahu bagaimana nasibnya. Jadilah Panji kecil hidup dalam dunia yang serba gelap dan kasar.
Bapak Panji ternyata juga pernah menjadi siswa di sekolah ini, tapi tidak sampai lulus, ia dikeluarkan oleh abah yang kala itu masih menjadi kepala sekolah. Penyebabnya tentu saja karena kenakalan yang sudah tidak bisa ditoleransi lagi. Masih dari kesaksian Pak Sobri, dulu sebenarnya sudah ada guru yang mencoba memanggil bapak Panji ke sekolah untuk memberikan teguran atas kenakalan anaknya, tapi bapak Panji tidak terima. Ia menggebrak meja dan mengancam akan mengobrak-abrik sekolah. Mendengar cerita Pak Sobri, sikap ngototku mulai mengendur. Kalau memang seperti itu kondisinya, ini memang menjadi masalah yang rumit dan membingungkan.
“Lalu bagaimana upaya sekolah ini untuk mengatasinya, Pak? Masalahnya Panji bukan hanya mengganggu, tapi juga membahayakan murid-murid yang lain. Jika memanggil bapak Panji memang penuh risiko seperti apa yang Bapak sampaikan tadi, setidaknya kita bisa melayangkan surat peringatan terlebih dahulu. Supaya dia bisa tahu kelakuan anaknya di sekolah, Pak. Barangkali kalau sama bapaknya Panji takut.” Aku mencoba mencari jalan tengah.
Pak Sobri kembali terdiam beberapa saat, lalu mengangguk.
“Kalau menurut Ibu itu akan membuat Panji berubah menjadi lebih baik, sepertinya boleh dicoba. Sejujurnya, saya juga sudah kebingungan menghadapi anak itu.”
Setelah mendapat izin dari Kepala Sekolah, aku segera membuat sendiri surat teguran itu. Isinya kurang lebih peringatan agar Panji bisa lebih menghormati guru dan tidak mengganggu teman, dan jika Panji tidak berubah oleh surat peringatan pertama, kedua hingga ketiga, maka dia akan dikeluarkan dari sekolah.
Aku menitipkan surat itu pada Panji saat jam pulang sekolah. Sebenarnya melihat muka anak itu saja sudah membuatku sebal, tapi jika ingat cerita Pak Sobri tentang latar belakang Panji, aku jadi menaruh kasihan juga padanya.
“Panji, ini ada hadiah untuk bapakmu. Pulang sekolah, langsung berikan ke Bapak ya. Salam dari Ibu untuk Bapak.” Ucapku sambil memberikan amplop berisi surat itu kepada Panji. Ia menerimanya, lalu langsung berlari tanpa mengucapkan apa-apa. Dasar bocah tidak tahu sopan-santun! Lagi-lagi aku dibuat dongkol.
**
Di hari kedua mengajar, aku memulai pagi dengan perasaan yang aneh. Jika kemarin langkah kakiku digayuti malas, dongkol dan tak bergairah saat harus berangkat mengajar, hari ini entah kenapa aku merasa antusias. Aku tiba-tiba tak sabar ingin menceritakan kisah-kisah lain kepada siswa-siswaku di sela menyampaikan materi belajar. Aku rindu tatapan-tatapan mereka yang tulus. Aku menanti celoteh mereka yang suka bertanya banyak hal, dan yang paling membuatku penasaran, aku ingin melihat apakah ada perubahan positif pada diri Panji setelah aku melayangkan surat peringatan padanya. Ah, perasaan manusia kadang memang seunik itu. Begitu abstrak dan fluktuatif. Benarlah nasihat abah dulu, jangan terlalu berlebihan mencintai sesuatu, pun dalam hal membenci, karena kadang batas antara cinta dan benci hanya setipis kulit bawang.
Hari ini aku bangun lebih pagi dari biasanya. Setelah salat dan menyiapkan materi ajar, aku memasak menu sarapan dan berbincang hangat dengan abah sambil menikmati nasi goreng buatanku. Begitu melihat jam yang telah menunjukkan pukul tujuh pagi, aku segera menyudahi sarapanku dan berpamitan pada abah.
“Abah, Alya berangkat dulu ya. Abah baik-baik di rumah, jangan lupa diminum obatnya. Doakan Alya ya, Bah, supaya bisa jadi guru yang ilmunya mudah diterima anak-anak.” Aku mencium punggung tangan abah yang mulai keriput, lalu bergegas berangkat ke sekolah.
Aku tersenyum lebar saat memasuki gerbang sekolah dan menyaksikan anak-anak berlari menghampiriku untuk bersalaman.
“Bu Alyaa, Ibu bakalan lanjutin cerita kemarin kan, Bu? Aku penasaran sekali sama akhir cerita Nyi Gendit yang pelit itu.” Seorang anak melayangkan permintaan yang sulit kutolak, teman-temannya yang lain kompak mendukung.
“Lho, nanti belajarnya kapan dong kalau cerita terus? Hari ini kita belajar dulu yaa. Ibu tidak akan bercerita”
“Yaaah, Ibuu..” Mereka berseru kecewa.
Aku tertawa melihat bibir mungil mereka manyun dua centi.
“Iya, hari ini kalian tidak bisa mendengarkan cerita dari ibu, karena kita akan menggantinya dengan menonton film.”
“Film?” Pupil mata mereka seketika membesar.
Aku mengangguk. “Betul, kita akan menonton film Situ Bagendit. Nih, ibu sudah bawa laptop dan infocus. Tapi, sebelum itu, kita belajar dulu yaa.”
“Yeeeey..! ” Mereka melonjak gembira.
Ah, ternyata istilah bahagia itu sederhana memang benar adanya.
**
Ada yang berbeda dari suasana kelas begitu aku masuk untuk mulai mengajar hari ini. Suasana terasa tertib dan kondusif. Tak ada yang berlari kesana-kemari, tak ada juga teriakan-teriakan seperti di kebun binatang. Aku segera tahu apa penyebabnya. Kursi Panji kosong. Anak itu tak masuk sekolah hari ini. Di satu sisi aku senang karena pasti kelas menjadi damai tanpanya, tapi di sisi lain aku juga merasa khawatir, menebak-nebak apakab ketidakhadiran Panji ada hubungannya dengan surat yang kutitipkan padanya kemarin, dan apa yang dilakukan bapak Panji yang terkenal temperamental itu saat menerima surat teguran untuk anaknya. Ah, aku jadi berpikiran yang macam-macam. Namun kutepis dulu semua kekhawatiran itu. Untuk apa memikirkan hal yang belum pasti sementara anak-anak di hadapanku sudah mempersilakan pikiran mereka untuk menerima pembelajaran dariku.
Baru saja aku menarik napas untuk mengucapkan salam, tiba-tiba seseorang menyerobot mendahului salamku dengan raut wajah penuh kepanikan.
“Assalamualaikum, Bu Alya. Anu, itu, Bu. Abah..” Tetanggaku, Pak Surya berusaha menyusun kalimat dengan terbata-bata.
“Ada apa, Pak? Abah kenapa? Penyakit jantungnya kumat?” Aku bertanya tak kalah panik.
“Abah.. Abah diculik, Bu.”
Buku yang kupegang sontak terjatuh ke lantai. Detak jantungku secara tiba-tiba terasa berdetak berkali lipat lebih cepat. Lemas, cemas, panik, bingung berbaur jadi satu.
“Diculik? Oleh siapa?”
“Sama Kang Bakri, bapaknya si Panji murid Ibu. Ayo cepat ikut saya, Bu. Abah diiket, ditodong pake pisau. Kita gak berani deket-deket, Bu, takut si Bakri nekat. Tahu sendiri kan dia orangnya kayak gimana.”
Ya Allah, kakiku langsung terasa tidak menapak ke bumi. Tubuhku nyaris limbung, namun aku segera mengumpulkan kembali kesadaran demi sesegera mungkin menyelamatkan abah dari lelaki berperangai setan itu. Aku menaiki motor Pak Surya dengan sekujur tubuh gemetaran, dan Pak Surya langsung mencap gas membawaku menuju lokasi kejadian. Ternyata Bakri menyekap abah di gudang masjid, ia melancarkan aksinya saat abah hendak pulang setelah membetulkan beberapa sound system masjid yang rusak.
Setibanya di lokasi kejadian, aku berlari menyibak kerumunan orang, dan aku tersentak melihat pemandangan yang tepat seperti apa yang diceritakan Pak Surya. Abah diikat di sebuah kursi tua di gudang masjid. Dan sebilah golok melintang di depan lehernya. Aku berteriak histeris hingga membuat Bakri kini beralih menatapku. Matanya merah menyeramkan.
“Nah, ini dia anaknya baru muncul.” Bakri berbicara dengan tangan yang masih setia menggenggam sebilah golok beberapa senti dari leher abah.
“Heh, jangan mentang-mentang kalian pinter, sekolah tinggi dan punya pangkat jadi semena-mena sama orang lain, ya.”
“Apa salah abah, Kang? Tolong lepaskan. Jika ini semua karena surat yang kukirimkan kemarin, seharusnya kau culik aku, bukan abah.”
Lelaki itu menyeringai. Gigi-giginya tampak kuning kehitaman. “Kau dan bapakmu sama saja. Sok berkuasa, suka menghancurkan masa depan orang lain!”
“Apa maksudmu?”
“Asal kau tahu, hidupku hancur karena ulah si tua bangka ini!” Ucapnya sambil mendorong kepala abah. “Dulu dia mengeluarkanku dari sekolah. Orang tuaku tak mampu menyekolahkanku ke kota, mereka terus menyebutku anak memalukan dan tak berguna. Aku putus sekolah, dan seperti yang kau lihat sekarang, aku jadi sampah masyarakat. Hahaha..” Ia tertawa lagi, kali ini lebih keras.
“Tapi kau dikeluarkan gara-gara kenakalanmu sendiri.” Aku berusaha mengelak.
“Lihatlah, bahkan saat kau tahu kesalahan yang sudah diperbuat bapakmu, kau tidak meminta maaf dan malah balik menyalahkanku? Sekarang bahkan kau ingin membuat anakku bernasib sama sepertiku? Cih!” Tiba-tiba ia meludahi abah yang sudah tak berdaya.
“Kalau begitu tolong maafkan kami. Apa yang kau inginkan? Apapun akan kulakukan asal kau mau melepaskan abah.” Aku menangis, memohon-mohon.
“Sayangnya aku tidak mau menerima permohonanmu. Seperti halnya lelaki tua ini dulu menolak permohonan orang tuaku yang memohon agar aku tidak jadi dikeluarkan dari sekolah.”
“Tapi abah tidak sampai menculik orang tuamu, apalagi membunuh. Berpikir panjanglah, Kang. Jika kau melakukan ini, kau akan dipenjara, hidupmu akan lebih sengsara.”
“Dihukum mati pun aku bersedia. Untuk apa berlama-lama menempati dunia yang tidak adil ini.”
“Setidaknya takutlah pada Tuhan, Kang.”
“Ah, banyak omong kau!”
Sepertinya aku telah salah langkah, Bakri semakin murka, tangannya mulai berayun mengangkat golok untuk menghujamkannya ke leher abah. Aku menjerit, berlari, berusaha mencegah aksi Bakri. Tak peduli jika golok itu akhirnya mendarat di tubuhku. Namun, saat tubuhku belum sempat merebut golok itu, tiba-tiba Bakri terjatuh. Golok itu terlepas dari genggamannya. Kalian tahu siapa yang membuatnya terjatuh? Anak berusia delapan tahun! Ya, anak itu adalah Panji, darah dagingnya sendiri. Ia menendang bagian belakang lutut Bakri hingga membuat bapaknya itu terjatuh.
Bakri bangkit, menatap putranya dengan tatapan merah padam penuh murka.
“Plak!” Ia menampar pipi kanan Panji.
“Bukk!” Ia menonjok pipi kiri Panji hingga bibir anak itu berdarah.
Aku segera melempar golok yang tergeletak di lantai sejauh mungkin. Orang-orang yang sejak tadi mati langkah kini ramai-ramai maju untuk melumpuhkan Bakri. Sebagian yang lain melepaskan tali yang mengikat tubuh abah. Setelah memastikan abah baik-baik saja dan diboyong warga ke rumah, perhatianku segera beralih pada Panji. Kulihat tubuh mungilnya tergeletak di lantai. Pipinya memar, darah segar mengalir dari pelipis dan sudut bibirnya. Aku segera memeluknya, menciumnya, mengucapkan maaf dan terima kasih berkali-kali. Lalu membiarkan tubuh Panji diambil sekelompok warga untuk dibawa ke Puskesmas.
Aku sendiri menjadi seperti orang linglung yang baru bangun tidur di sore hari setelah mengalami mimpi buruk. Aku masih mengira-ngira apakah kejadian mengerikan yang kulihat tadi benar-benar nyata atau hanya mimpi. Selama ini aku telah meliput berbagai kasus kejahatan, tapi tak pernah terpikir sedikit pun jika kejahatan semacam ini bisa menimpaku.
Aku dibopong menuju rumah. Alhamdulillah, setelah diperiksa, kondisi abah baik-baik saja. Tensinya saja yang agak naik, tapi dokter bilang tidak perlu dikhawatirkan. Setelah merasa cukup tenang, aku diminta abah untuk menjenguk Panji di Puskesmas. Aku berangkat ke Puskesmas diantar Pak Surya sambil membawa makanan dan baju ganti untuk Panji. Sepanjang jalan aku berdoa semoga anak itu baik-baik saja, hingga semua kekhawatiranku luruh berganti haru saat kulihat anak itu tersenyum di atas ranjang Puskesmas.
“Aku nggak apa-apa, Bu.”
“Ah, anak Ibu..” Aku menangis sambil memeluknya. Menyuapinya dengan bekal dengan makanan yang kubawa, dan membuka bajunya yang sudah kotor oleh debu dan bercak darah. Begitu terkejut aku saat melihat punggung dan perutnya yang dipenuhi luka memar. Perbincanganku dengan Panji siang itu benar-benar telah merubah cara pandangku pada anak ini hingga 180 derajat. Panji bercerita jika luka di sekujur tubuhnya dikarenakan ulah bapaknya sendiri. Ia sering menjadi pelampiasan kemarahan Bakri yang tak segan-segan mencambuk menggunakan sabuk, menendang, meninju, menampar hingga menyiram anaknya sendiri dengan air panas. Itulah yang menyebabkan Panji menjadi sosok nakal dan pembangkang di sekolah.
“Aku hanya bingung, Bu. Kalau bapak melampiaskan kemarahan dan rasa sakitnya kepadaku, lalu kemana aku melampiaskan kemarahan dan rasa sakitku?” Ujarnya bercucuran air mata.
Aku menatapnya penuh prihatin. Anak sekecil itu telah memiliki begitu banyak trauma, ia menyimpan luka fisik maupun batin yang tidak sedikit. Dalam hati, aku bertekad tak akan meninggalkannya dalam bayang-bayang trauma masa lalu. Selama Bakri mendekam di penjara, aku yang akan menjadi orang tua Panji. Kupastikan dia mendapatkan kasih sayang dan bimbingan konselor hingga luka luar-dalamnya sembuh. Kini aku bersyukur pada keputusan abah yang memaksaku menjadi guru. Jika dulu aku garang menebas parasit di pohon-pohon tinggi nan besar, kini tugasku berganti menjadi merawat bibit-bibit mungil yang terserang virus-virus jahat hingga pertumbuhannya terganggu, agar kelak bibit-bibit itu berhasil tumbuh menjadi pohon besar yang lebih gagah dan kuat.
**
Kini tujuh bulan sudah aku menjadi ibu nangkat Panji. Anak itu sudah berusaha memperbaiki banyak hal. Setelah menjalani beberapa terapi, di awal tahun 2024 ini, ia menjelma menjadi sesosok anak yang manis, penurut, dan lebih ceria. Biasanya ia berangkat sekolah bersamaku, tapi pagi ini tumben sekali dia ingin berangkat duluan. Dia berpesan agar aku membuka lemari bukunya terlebih dahulu sebelum berangkat. Saat kuturuti perintahnya, aku menemukan sebuah cokelat yang menempel pada selembar kertas berbentuk hati. Kubaca bait-bait puisi yang tertulis di sana. Perasaan haru, senang dan bangga bercampur jadi satu. Menjadi seorang guru telah membuat hatiku meriah.