“Aku mengajar anak yang tak bisa kupahamkan. Aku berada di ruang kelas yang tak pernah disiapkan untuknya.”
Pernyataan itu selalu bergema di kepala Nanda setiap kali membuka pintu kelas VII-E, ruangan dengan tembok yang mulai kusam. Ada satu hal yang berbeda di kelas itu, kehadiran Tata. Ia adalah seorang anak perempuan berkebutuhan khusus, termasuk dalam kategori tunagrahita sedang. Ia kesulitan membaca, memahami instruksi, dan sering kali terjebak dalam dunianya sendiri.
Tahun ini, atas keputusan dari dinas pendidikan, sekolah tempat Nanda mengajar diharuskan menjadi sekolah inklusi. Tanpa pelatihan memadai, tanpa fasilitas, dan tanpa guru pendamping khusus.
“Bu, Tata kok belum bisa menghitung pecahan?” tanya Rani, teman sebangku Tata, setengah berbisik.
“Tidak apa-apa, Rani. Ayo kita bantu pelan-pelan, ya!”
Nanda yang masuk di jam pertama pun mulai menuliskan pecahan setengah ditambah seperempat di papan tulis. Anak-anak mulai menghitung dan mencorat-coret buku. Sementara, Tata menatap angka-angka itu seperti simbol-simbol alien.
“Kita coba bersama, ya,” ajak Nanda menghampiri Tata dengan lembut.
Nanda kemudian menggambar sebuah lingkaran, membaginya menjadi dua, lalu menjadi empat.
“Kalau ini satu kue, Tata punya setengahnya, lalu Ibu beri seperempat lagi, berapa Tata punya sekarang?”
Tata mengangguk. Bukan karena paham, tapi karena Nanda berbicara dengan suara hangat. Nanda tahu itu.
“Bu, kenapa Tata sekolah di sini, sih?” tanya Guntur, murid laki-laki yang cenderung blak-blakan.
Nanda diam sejenak. Bukan karena tak punya jawaban, tapi karena jawabannya terlalu rumit untuk dijelaskan kepada anak SMP.
“Karena, sekolah ini ditunjuk sebagai sekolah inklusi,” jawab Nanda akhirnya.
“Terus, apakah Tata nanti bisa naik kelas, Bu?”
“Kalau itu, pastinya melalui rapat dewan guru. Tidak bisa hanya keputusan dari Ibu,” jawab Nanda diplomatis.
Saat jam istirahat, orang tua Tata datang ke sekolah. Mereka ingin tahu nilai Tata, bukan kemajuan belajarnya. Sebagai wali kelas, Nanda menerimanya dengan hangat.
“Bu Nanda, nilai Tata kok kecil terus ya? Katanya sekolah ini inklusi, berarti harusnya bisa bantu anak kami supaya pintar juga, dong.”
Nanda menarik napas panjang, lalu perlahan mulai menata ucapannya, “Kami berusaha semampunya, Bu. Tapi, kami belum punya guru pendamping khusus. Tata juga perlu program belajar yang berbeda. Kami tidak bisa menyamakan dia dengan anak-anak lain.”
“Kan, katanya semua anak bisa sekolah di sini?”
“Iya. Tapi, kami belum bisa memenuhi semua kebutuhan belajar anak di sini.”
Ibu Tata tampak bingung dan menunduk, lalu berkata, “Yang penting anak saya sekolah, Bu. Biar lulus SMP. Nilainya berapa, ya dikejar sajalah. Tolong, ya, Bu.”
Mendengar permintaan orang tua Tata, Nanda merasa seolah dipaksa memakan buah simalakama. Di satu sisi, ia ingin menolong Tata sebisanya. Namun di sisi lain, ia tahu bahwa sekolah reguler bukanlah tempat yang paling tepat untuk Tata. Di benaknya, inklusi bukan lagi jawaban, melainkan sebuah pertanyaan, inikah keadilan dan solusi?
Dulu, orang tua Tata sebenarnya sudah mendaftarkannya ke Sekolah Luar Biasa (SLB) yang hanya berjarak lebih kurang tiga kilometer dari rumah mereka. Tapi, karena kampanye pemerintah daerah tentang “hak setiap anak bersekolah di sekolah umum”, Tata pun dimasukkan ke SMP ini. Tanpa asesmen. Tanpa transisi. Tanpa pertimbangan matang.
Kini, sekolah jadi sekadar formalitas. Tata datang, duduk, dan sesekali menggambar di buku catatan. Ia jarang bertanya. Lebih sering minta diperhatikan dan menyampaikan keluhan. Tidak jarang disertai rengekan seorang bocah.
Sepulang orang tua Tata, Nanda duduk di ruang guru. Ia membuka laptop sambil melirik sesekali ke luar jendela, ke arah lapangan di mana Tata duduk sendiri di sudut, memainkan ujung seragamnya.
“Susah ya, Bu, ngajarin anak itu?” tanya Ruli, guru PJOK.
Nanda tak menjawab langsung.
“Yang susah bukan ngajarnya, Pak. Yang susah itu… berpura-pura bahwa ini semua masuk akal.”
Ruli tersenyum kecut. Ia paham maksudnya. Semua guru tahu, semua juga merasa sama, tapi tak ada yang bisa berbuat banyak.
Sekolah inklusi tak ubahnya cap administratif yang ditempel begitu saja. Tanpa ruang khusus, tanpa guru pendamping, dan tanpa pemahaman orang tua tentang apa itu pendidikan inklusif. Yang penting, sekolah inklusi ada dan berjalan.
Saat kelas usai, Tata masih duduk di bangkunya. Teman-temannya sudah pulang. Ia belum selesai menggambar sesuatu di buku tulisnya, rumah dengan atap miring dan matahari besar di sudut kertas.
“Tata, sudah jam tiga. Kamu enggak pulang?” tanya Nanda yang menghampiri.
“Bu… rumahku seperti ini,” kata Tata tersenyum sambil menunjukkan gambarnya.
Nanda terdiam. Ia membiarkan pertanyaannya tak berjawab dan rela mengikuti alur pembicaraan yang diciptakan Tata. Ia duduk di sampingnya.
“Iya, rumahmu bagus.”
“Bapakku bilang… kalau aku pintar, aku bisa jadi arsitek. Tapi aku… susah belajar.”
Lagi-lagi, dada Nanda sesak. Itu mungkin kalimat terpanjang yang pernah ia dengar dari Tata. Ia ingin berkata, “Itu bukan salahmu, Nak.” Tapi ia tahu, Tata belum tentu mengerti. Begitu pula sistem pun seolah tak peduli.
Betapa masih segar diingatan Nanda beberapa hari lalu ia memberanikan diri mengajak kepala sekolah bicara.
“Pak, saya tahu kita harus patuh pada aturan. Tapi, kalau kita terus begini, anak-anak seperti Tata hanya jadi objek pajangan. Tidak belajar, tidak berkembang. Bukankah kita juga bisa minta pengecualian atau setidaknya pendamping khusus?”
“Bu Nanda, Anda guru yang baik. Tapi Anda tahu, ini di atas kendali kita. Kadang, sebagai guru, kita hanya bisa menjaga agar anak-anak itu tetap merasa diterima.”
“Tapi, kalau kita tahu ini tidak efektif, mengapa tetap dijalankan?”
“Karena… ini perintah. Kita hanya pelaksana.”
Nanda masih menemani Tata meskipun pikirannya terbayang bahwa sebentar lagi semester berakhir. Ia masih belum tahu harus menuliskan laporan belajar apa tentang Tata. Tapi, ia mulai memikirkan kata-kata yang hinggap di kepalanya, “Tata sudah menunjukkan perkembangan dalam komunikasi sederhana dan menggambar. Ia mulai berani menyampaikan pendapat dengan kalimat sederhana.”
“Tata, kamu anak hebat. Jangan berhenti menggambar dan bermimpi, ya!”
Tata mengangguk dan terdiam lebih lama, lalu berkata, “Bu… aku suka sekolah. Karena, Bu Nanda baik.”
Air mata Nanda hampir tumpah. Ia mengajar Tata selama dua semester. Tapi mungkin, justru Tata-lah yang paling mengajarinya, tentang arti menerima, tentang keterbatasan sistem, dan tentang menjadi guru. Mungkin, ia tak berhasil dalam mengajar. Tapi, setidaknya keberadaannya bisa mengisi ruang di hati Tata. Menjadi guru berarti berjuang dalam sistem atau kebijakan yang terkadang tidak memihak. Tapi, menjadi pendidik adalah tetap percaya bahwa satu senyum, satu sapaan, atau satu perhatian akan mampu memberi makna untuk kehidupan.
Bionarasi
Sahari Nor Wakhid, Guru SMP Negeri 5 Sangatta Utara, Kutai Timur. Mulai menekuni dunia kepenulisan sejak tahun 2020. Telah menerbitkan 9 buku solo dan 43 antologi bersama. Buku paling mutakhirnya adalah Selebrasi (Kumpulan Cerpen, 2025). Bisa dikontak melalui IG @saharienwe