Menulis Tangan, Akar Karakter Tangguh dan Orisinal

Oleh: Nurul Aulia Alfiya, S.S.

“Cerpennya kalian tulis di kertas folio. Yang rapi, ya.” Ragu-ragu saya memberikan tugas kala itu. Sekilas saya dengar tarikan nafas anak-anak kelas 9 MTs ini. Membayangkan mereka harus menulis ulang tulisan yang mereka buat di kertas folio agar lebih rapi dan enak dibaca, capek pastinya. Namun, untuk dengan gembira mengajak mereka ke ruang TIK dan menyuruh mereka mengetik di sana: belum bisa.

Ya, di tahun 2022 itu, sekolah, lebih tepatnya pondok putri tempat saya mengajar belum punya fasilitas laboratorium komputer sendiri. Saya yang lulus SMK jurusan TKJ tahun 2010 tentu sedikit kecele: hari gini? Tetapi, ternyata dari pengalaman ini saya belajar banyak hal.

Seminggu setelah saya umumkan tugas itu, saya terkesan! Kertas-kertas datang pada saya dengan tulisan rapi dan berkarakter. Dalam arti ada yang tulisannya besar-besar, rapat-rapat, kecil-kecil. Hmm, butuh waktu bagi saya memahaminya. Tapi, saya sungguh kagum dengan usaha mereka.

Di zaman serba handphone, komputer, dan lembar-lembar ketikan, melihat tulisan tangan anak-anak remaja itu sesuatu yang menggugah jiwa. Ada rasa di situ. Dan, tentu saja ada pembentukan karakter. Hingga, sekarang saya yakin: menulis tangan adalah bagian dari pendidikan karakter. Tidak boleh ditinggalkan, semaju apapun zaman.

Menulis Tangan Warisan Asli Peradaban

Di zaman yang semakin serba cepat ini, menulis tangan terkadang dianggap kuno dan lambat. Menulis tangan memang membutuhkan lebih banyak waktu ketimbang mengetik. Namun, proses yang “lambat” ini justru memberikan lebih banyak keuntungan bagi otak dan proses berfikir kreatif.

Dengan menulis tangan, otak lebih punya banyak waktu untuk merenung, memilih kata yang tepat, dan mengembangkan ide. Jika dikaitkan kembali dengan proses murid-murid menulis cerpen tadi, hasilnya ide-ide cerita mereka lebih orisinal. Mereka punya kesempatan menulis kapan saja di kertas mereka dan tidak terdistraksi dengan sumber-sumber lain seperti ketika menulis di laptop.

Anak-anak dan remaja umumnya masih punya banyak ide-ide murni tentang berbagai hal. Maka, sebelum mereka dikenalkan dengan teknologi, sangat penting untuk memastikan mereka punya kemampuan menulis tangan yang baik. Kemampuan menulis tangan ini termasuk membuat huruf besar dan kecil yang sesuai, menyesuaikan besar tulisan dengan ukuran kertas yang digunakan, dan kemudian membuat catatan yang bermakna di atas kertas.

Sebab, pernah saya jumpai seorang anak kelas 7 yang catatannya sangat berantakan karena ia tidak bisa menempatkan besar-kecil huruf dan komposisi tulisan dengan benar. Hingga, ia sulit memahami catatannya sendiri ketika ingin mengulang pelajaran.

Pada murid lain, saya temukan bahkan ia bingung mau menulis apa akibat jarangnya ia dibiasakan menulis tangan, hanya dibiasakan mendengar dan menghafal. Maka, ia begitu kesulitan saat mengikuti pelajaran di kelas. Jari-jarinya begitu kaku dan pelan menulis di bukunya. Lebih jauh lagi, ia sulit menyimpulkan apa yang ia pelajari.

Kemampuan menulis tangan dan mencatat memang erat dengan kemampuan seorang murid mencerna pelajaran dan membangun pola pikirnya. Prof. Stella Christie pernah menyatakan bahwa menulis tangan melibatkan koordinasi kompleks antara otak, mata, dan tangan, yang membantu otak memproses informasi dengan lebih mendalam dan menciptakan koneksi memori serta pemahaman yang lebih kuat. Dan, itu harus dibiasakan.

Maka, bapak-ibu guru di level pendidikan manapun perlu terus memotivasi dan memberikan kesempatan pada murid untuk mengembangkan kebiasaan dan kemampuan menulis tangannya. Kita tidak menutup mata pada teknologi, tapi menulis tangan adalah warisan peradaban yang membuat anak-anak kita tetap orisinal, menemukan jati dirinya, dan berkarakter.

Menulis Tangan Tak Sekedar Lambang Ketekunan

Kesan pertama ketika melihat seorang anak asyik menulis tangan pastilah rajin dan tekun. Suatu anggapan yang baik dan benar. Namun, terkadang anggapan ini justru menjadikan menulis tangan sesuatu yang eksklusif.  Seperti murid yang sering bertanya dan menjawab pertanyaan guru dianggap caper dan pick-me. Saya pernah mengulik seorang anak pintar di kelas 7 yang tiba-tiba terlihat malas dan melamun di kelas hanya karena ada temannya yang mengatakan dia “rajin banget, nulis terus”.

Masa remaja memang masa pencarian jati diri dan pembentukan karakter. Pencarian jati diri itu seringkali termasuk: kenapa aku berbeda, aku harus seperti apa agar disukai teman, kenapa teman tidak suka kepadaku, dan bagaimana agar aku seperti teman-teman. Singkat cerita, anak itu saya bantu menggali dirinya dengan menuliskan perasaannya di buku harian. Lama-kelamaan, ia menyadari ia memang suka menulis dan mencatat, dan itulah yang menjadikan ia berbeda tapi berkarakter. Karakter tekun dan pembelajar harus dipupuk pada diri setiap murid, sebab itulah yang akan menjadikannya bisa melewati berbagai fase hidup.

Menulis tangan harus dipandang sebagai suatu kebutuhan belajar dan bertahan hidup. Ia melibatkan konsentrasi, kesabaran, dan keterlibatan mental yang kuat. Maka, murid-murid yang terbiasa menulis tangan tentu lebih dari sekedar tekun, tetapi konsentrasinya lebih bagus, kesabarannya teruji, dan mentalnya lebih sehat. Selain itu, pendidikan tanggung jawab dan kejujuran juga bisa dikembangkan dari kebiasan menulis tangan. Itulah yang saya lihat pada murid-murid kelas 11 dan 12 yang sudah sejak awal kelas 7 dibiasakan sering menulis tangan dan mencatat berbagai pelajaran di pesantren tempat saya mengajar.

Di balik mudahnya pelajar-pelajar sekarang menggunakan mesin pencari dan AI (Artificial Intelligence) untuk menyelesaikan tugas-tugas sekolahnya, menjauhkan mereka sejenak dari teknologi dan “memaksa” mereka menulis tangan mengeluarkan hanya apa yang ada di pikiran mereka bisa menjadi terapi penyembuhan. Jangan biarkan anak-anak kita sakit ketergantungan dengan ChatGPT dan copy paste.

Pendidikan kita seringkali tidak perlu melambung terlalu tinggi, hanya butuh menilik akar karakter yang asli. Seperti Finlandia dan Swedia yang mendorong kembali penggunaan pena dan kertas di kelas untuk mengurangi ketergantungan pada layar, kitapun layak berbenah. Sebagai guru dan orang tua, jangan pernah merasa aman jika anak lebih banyak memegang gawai ketimbang buku dan catatannya. Semoga kita bisa menjadi bagian dari pendidikan yang berkarakter tangguh dan orisinal.

 

Referensi:

Kompasiana.com: Kembali ke Buku Catatan, Mengapa Menulis Tangan Lebih Berdampak bagi Otak?

Nordictimes.com: Finnish High School Encourages Pen And Paper

Tagar:

Bagikan postingan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *