Menyalakan Lentera Ilmu di Setiap Sudut Negeri
Hari Pendidikan Nasional bukan hanya seremoni tahunan yang dirayakan dengan upacara dan pidato. Lebih dari itu, ia merupakan momentum reflektif yang mengingatkan kita akan pentingnya pendidikan sebagai sarana membentuk masa depan bangsa. Tema “Menyalakan Lentera Ilmu di Setiap Sudut Negeri” bukan sekadar metafora indah, melainkan ajakan nyata untuk memastikan bahwa cahaya pendidikan menyinari seluruh pelosok tanah air, tanpa memandang letak geografis, status sosial, atau kondisi ekonomi.
Makna dari Lentera Ilmu, Ilmu dianggap sebagai cahaya. Dalam kegelapan ketidaktahuan, ia menjadi penerang yang menuntun langkah seseorang menuju kehidupan yang lebih baik. Seperti lentera di malam hari, pendidikan membawa harapan bagi mereka yang hidup dalam keterbatasan. Namun, untuk menyalakan lentera tersebut, dibutuhkan perhatian, komitmen, dan keberpihakan dari semua elemen bangsa: pemerintah, guru, orang tua, dan masyarakat. Saat kita bicara tentang “setiap sudut negeri”, maka kita harus menyadari bahwa tantangan pendidikan di Indonesia sangat kompleks. Sebagai negara kepulauan dengan ribuan pulau dan latar belakang budaya yang beragam, pemerataan pendidikan masih menjadi PR besar yang belum tuntas. Masih banyak anak-anak yang harus menempuh perjalanan berjam-jam untuk ke sekolah, guru-guru yang mengajar di ruang kelas tanpa listrik, dan sekolah-sekolah yang berdiri di atas tanah yang belum tentu bersertifikat.
Realita di lapangan menunjukkan bahwa ketimpangan pendidikan masih sangat terasa. Anak-anak di kota besar memiliki akses ke fasilitas modern, buku digital, kelas interaktif, hingga bimbingan belajar online. Sementara itu, di desa-desa terpencil, anak-anak belajar menggunakan papan tulis lusuh, bangku reyot, dan buku pelajaran yang usianya lebih tua dari mereka. Ketimpangan ini tidak hanya merugikan secara akademik, tetapi juga menanamkan ketidakadilan struktural sejak usia dini. Anak-anak dari daerah terpencil memiliki kesempatan yang lebih kecil untuk bersaing, bukan karena kurang cerdas, tapi karena mereka tidak mendapatkan kesempatan yang sama. Masalah ini bukan hanya soal infrastruktur, tapi juga ketersediaan guru. Di daerah-daerah tertentu, guru-guru harus merangkap mengajar beberapa mata pelajaran, kadang bahkan satu guru menangani seluruh kelas. Minimnya pelatihan dan insentif membuat semangat pengabdian mereka diuji setiap hari.
Guru adalah ujung tombak pendidikan yang dianggap sebagai pelita yang tak boleh padam. Mereka adalah sosok yang secara langsung berhadapan dengan peserta didik, membimbing, dan membentuk karakter anak-anak. Namun, kesejahteraan guru, terutama di daerah terpencil, sering kali terabaikan. Banyak guru honorer yang dibayar jauh di bawah standar layak, tanpa jaminan masa depan yang jelas. Mereka tetap mengajar dengan semangat, bukan karena gaji, tapi karena panggilan hati. Mereka tahu bahwa setiap kata yang mereka ajarkan bisa mengubah nasib muridnya. Di tangan merekalah lentera ilmu itu tetap menyala, meskipun kadang harus mereka jaga dalam kondisi nyaris padam. Pemerintah sepatutnya menjadikan kesejahteraan dan pelatihan guru sebagai prioritas utama. Pendidikan tidak akan pernah maju jika guru tidak diberdayakan, tidak dihormati, dan tidak diposisikan secara strategis dalam pembangunan nasional.
Merdeka belajar sebagai konsep yang harus dimaknai lebih dalam. Pemerintah melalui program “Merdeka Belajar” telah menunjukkan niat baik dalam melakukan transformasi pendidikan. Konsep ini memberikan ruang bagi siswa untuk belajar sesuai minat dan kemampuan mereka, serta memberi kebebasan kepada guru dalam mengelola pembelajaran. Namun, implementasi konsep ini masih menemui banyak hambatan di lapangan, terutama di daerah yang belum siap dari segi sumber daya dan teknologi. Merdeka belajar bukan hanya soal kebebasan kurikulum, tetapi juga kebebasan dari keterbatasan—bebas dari kekurangan infrastruktur, bebas dari ketimpangan akses, dan bebas dari tekanan administratif berlebihan yang membebani guru. Untuk itu, perlu pendekatan yang lebih inklusif, dengan kebijakan yang fleksibel dan kontekstual. Apa yang berlaku di sekolah unggulan kota, belum tentu relevan di sekolah pedalaman. Pendidikan harus hadir sebagai solusi, bukan sekadar sistem.
Menyalakan lentera ilmu berarti menyalakan harapan. Pendidikan harus bisa menjadi alat mobilitas sosial, bukan sekadar formalitas administratif. Anak-anak dari keluarga sederhana berhak memiliki mimpi besar, dan tugas kita sebagai bangsa adalah memastikan bahwa mereka memiliki alat untuk meraihnya. Inovasi dalam pendidikan harus diarahkan untuk menjangkau mereka yang paling membutuhkan. Teknologi digital bisa menjadi jembatan untuk mengatasi batasan jarak dan sumber daya, asalkan digunakan dengan bijak dan tidak malah memperlebar jurang ketimpangan. Internet gratis di daerah 3T (terdepan, terpencil, tertinggal), perpustakaan keliling digital, dan pelatihan guru daring adalah beberapa langkah yang bisa terus dikembangkan. Selain itu, masyarakat juga harus dilibatkan. Kesadaran akan pentingnya pendidikan harus menjadi bagian dari budaya. Di banyak daerah, masih ada orang tua yang menganggap bahwa anak perempuan tidak perlu sekolah tinggi, atau bahwa lebih baik anak membantu di ladang daripada duduk di kelas. Ini adalah tantangan kultural yang harus dihadapi dengan pendekatan yang humanis dan edukatif.
Penutup dari kata menjadi aksi, Hari Pendidikan Nasional bukan hanya hari untuk mengenang jasa Ki Hadjar Dewantara, tetapi juga hari untuk memperbarui janji kita kepada anak-anak bangsa. Bahwa di manapun mereka lahir, sejauh apapun tempat tinggal mereka dari pusat kota, mereka tetap berhak atas pendidikan yang berkualitas. Menyalakan lentera ilmu di setiap sudut negeri adalah tugas bersama. Pemerintah, guru, orang tua, dan masyarakat harus bergerak dalam satu semangat. Karena pendidikan bukan hanya soal ruang kelas dan nilai rapor, tetapi tentang masa depan, tentang kehidupan yang lebih layak, dan tentang mimpi-mimpi anak-anak yang menunggu untuk diwujudkan. Mereka hanya butuh satu hal yaitu kesempatan.