Merangkai Bunga Rampai Jiwa Muda – Cerpen Rhisqi Bagus Cahyono, S.Si

puisi guru

Merangkai Bunga Rampai Jiwa Muda
Karya: Rhisqi Bagus Cahyono, S.Si


Saat itu, usiaku baru saja menginjak dua puluh dua, masih belia dan belum dewasa. Aku baru saja menyelesaikan sidang akhir skripsi, pengumuman kelulusanku juga belum resmi dikeluarkan. Tapi karena prestasiku, banyak tawaran mengajar yang telah menarik atensiku. Memang saat itu ajaran baru akan segera dimulai. Banyak pengajar senior yang naik jabatan dan dipindah tugaskan.

Aku bukan berasal dari kalangan berada. Strata 1 ini bisa selesai karena beasiswa, juga karena aku menyempatkan bekerja paruh waktu misalnya menjadi pelatih pramuka dan pengajar privat disela-sela waktu perkuliahan. Karena itulah, banyak rekan yang memberikan informasi terkait kebutuhan guru fisika di beberapa sekolah.

Singkat cerita, aku mulai mengajar di SMA swasta di pusat kota. Hanya saja, kebanyakan yang bersekolah disana adalah mereka yang tidak diterima di SMA Negeri. Meskipun begitu, aku percaya setiap siswa memiliki talentanya sendiri-sendiri. Dan saat itu, sekolahku sedang bertransformasi menerapkan kurikulum merdeka. Aku pribadi cukup antusias dengan kebijakan tersebut karena lebih fleksibel dan memberikan ruang untuk siswa dan guru agar lebih kreatif selama proses belajar mengajar.

“Di kelas X ini, kalian diberikan materi seluruh mata pelajaran. Namun perlu kalian pahami, ini merupakan pengetahuan umum. Sehingga jangan diremehkan ya! Dengan pemahaman pengetahuan umum yang baik, kita bisa lebih mudah menentukan bidang apa yang akan kita dalami nantinya.” Pesanku kepada setiap kelas yang ku ajar yang kebetulan semuanya kelas X.
Aku melihat siswaku kurang antusias ketika pembelajaran fisika hanya mencatat dan mengerjakan latihan soal. Aku sempat bingung, karena saat itu informasi terkait media pembelajaran yang menarik dalam penerapan kurikulum merdeka belum seluas saat ini. Tapi aku terus berupaya memberikan yang terbaik.

“Untuk minggu depan kita akan membuat kincir air sederhana ya. Bahan dan prosedurnya dapat disesuaikan dengan lembar kerja yang saya bagikan. Silahkan diskusi dengan kelompok masing-masing. Kalau ada yang kurang jelas bisa didiskusikan dengan saya ya!”

Saat itu memang kelasku sedang membahas mengenai energi yang berkelanjutan.

“Pak, ini kok tidak bisa naik ya airnya? Jadi saat air di wadah besar habis kincir sudah tidak bisa berputar lagi. Jadi berhenti dong proses perubahan energinya?” Tanya Rio, siswa X-1 dengan penuh selidik ketika hari praktikum.
“Iya. Bahas dilaporan sesuai yang kalian pahami saja! Setelah ini mari kita diskusikan.” Laporan eksperimen akhirnya terkumpul semua dengan pemahaman kelompok yang berbeda-beda.

“Jika kalian pahami dengan teliti hukum kekekalan energi, pastinya akan tahu mengapa air yang ada di bawah tidak dapat kita naikkan lagi keatas hanya dengan sebuah selang. Ada yang tahu kenapa?” Aku coba memantik mereka untuk lebih kritis.

“Tapi kemarin bapak bilang kalau itu bakal bisa.” Jawab salah satu siswi paling aktif di kelas, Nadia.

“Ya, saya telah memberikan premis salah.” Hal itu sengaja aku lakukan karena ingin tahu seberapa kritis siswaku. Dan sesuai dugaanku, mereka banyak yang kecewa karena merasa tertipu. Bahkan siswa yang biasanya malas belajar juga mulai memperhatikan karena merasa aneh.

“Seperti yang saya katakan di awal, saya disini sebagai teman belajar kalian saja, bukan sumber kebenaran yang mutlak. Saya hanya sedikit memiliki perjalanan hidup lebih lama dari kalian. Bahkan usia kita hanya tertaut 4 sampai 5 tahun. Hehehe.” Aku mulai menjelaskan.

“Saya senang kalian memberikan perhatian terhadap pernyataan saya. Kita bebas berdiskusi tentang apapun. Dan terimakasih telah memberikan koreksi dari pernyataan yang sengaja saya sampaikan salah.” Lanjutku yang masih mendapatkan beragam tanggapan dari anak-anak.

“Energi tidak dapat diciptakan bukan? Karena itulah air tidak bisa kita pompa hanya dengan selang. Andai kata hal itu bisa dilakukan, tentunya pompa air dipasaran tidak diperlukan lagi bukan?” Akhir penjelasanku yang mulai dipahami para siswa.

Setelah kejadian itu, caraku mengajar mendapat perhatian dari banyak warga sekolah, termasuk pimpinan. Ada yang beranggapan itu kurang baik, namun banyak juga yang mengerti kalau tujuanku ingin mengajak siswa lebih memberikan perhatian terhadap materi pembelajaran.

Beberapa bulan mengajar, aku diberikan tugas tambahan menjadi coordinator pembina kegiatan kesiswaan. Setengah bulan setelah amanah tersebut diberikan, siswaku akan berlaga di kompetisi futsal Tingkat Kota. Mereka dan pelatih telah melakukan persiapan terbaik. Bahkan tim pendukung juga dipersiapkan secara khusus, mulai dari pakaian yang seragam, yel-yel, juga akomodasi untuk memeberikan yang terbaik di kompetisi tersebut.

Kompetisi pun berlangsung. Tim sekolahku berhasil lolos ke babak final dan berhasil menjadi juara kedua. Namun ada kejadian yang tak pernah terbayangkan olehku. Sehari setelah tim dari sekolah yang kami kalahkan di semifinal meberikan ancaman ke siswaku. Mereka akan menyerang siswaku karena merasa tidak terima atas kekalahannya dan karena pendukung tim sekolahku juga sempat meneriaki kekalahan mereka.

“Anak kelas XI dan XII malam ini telah bersiap menunggu serangan dari anak sekolah itu pak. Saya takut. Tolong lakukan sesuatu pak!” Pinta seorang siswi yang mendengar rencana tawuran itu dari temannya. Saat dia menyampaikan hal tersebut, hari sudah beranjak malam. Aku yang belum ada pengalaman dengan hal seperti itu awalnya bingung untuk mengambil tindakan yang bagaimana.

“Tolong pulang sekarang! Mereka bisa melukai kalian.” Ucapku kepada para siswa di lapangan yang letaknya di pinggiran kota, lokasi tawuran. Tempat itu memang sepi dan jarang ada aktifitas warga dikala malam hari.

“Bapak saja yang pulang. Ini urusan kami. Mereka nantang ya kita lawan pak.” Jawab Rendy yang memimpin anak sekolahku. Sependek yang aku tahu, Rendy ini telah terlatih bela diri. Dia juga memiliki catatan kenakalan siswa di sekolah yang cukup banyak. Tak heran dia bisa seberani itu. Tiba-tiba …

Bugh!

Bogem mentah mengenai bahuku. Ya, siswa sekolah lain itu sudah dating dan mulai menyerang. Aku coba mempertahan diri sebisaku.

“Tolong berhenti. Saya guru. Mari kita bicara baik-baik dulu!” Ucapku ketika kondisiku mulai stabil.

Namun mereka tidak memperdulikan. Bahkan mereka mulai mengeluarkan beberapa senjata tajam. Beberapa anak ada yang sudah terluka, namun perkelahian masih terus berlanjut. Sampai beberapa saat setelah itu, tembakan gas air mata dan semprotan water canon memaksa mereka berhenti. Untung saja sebelum ke lokasi tawuran tadi, aku minta tolong ke rekan guru untuk menghubungi aparat kepolisian, warga setempat, dan wali murid. Syukurlah tawuran itu dapat dilerai dan diproses oleh kepolisian secara damai bersama pimpinan kedua sekolah.

Setelah kejadian tersebut, kemampuanku mendampingi anak-anak sedikit dipertanyakan oleh pimpinan. Aku dianggap lalai karena tidak bisa menghindari kejadian tersebut. Meskipun akhirnya mereka damai, namun tentu saja hal tersebut telah memberikan cacatan buruk sekolahku di masyarakat. Aku sedikit berdebat dan berupaya mengajak para pimpinan memberikan pandangan yang objektif dan lebih fokus mencari solusi. Belum terlambat untuk memperbaiki.

“Jika memang dalam hal ini saya dianggap bersalah, beri saya waktu untuk coba melanjutkan amanah ini. Manakala akhir tahun ajaran nanti tidak menunjukkan perubahan yang kita inginkan, saya akan mengundurkan diri.” Ucapku kepada pimpinan sebelum diskusi diakhiri.

“Saya yakin anda bisa pak. Dari awal, saya cukup tertarik dengan problem solving anda. Berikan yang terbaik ya pak!” Pesan singkat kepala sekolah kepadaku beberapa jam setelah diskusi itu.

Aku coba membuka komunikasi yang lebih disukai siswaku. Aku bergabung di tempat mereka berkumpul. Pernah di taman kota, di kedai kopi, juga ke rumah beberapa siswa. Banyak hal yang kami diskusikan.

“Kita tersinggung. Apalagi mereka yang memulai.”

“Kita bosan sama kegiatan sekolah. Kita yang suka kegiatan di ruang terbuka tidak difasilitasi sekolah.”

“Sekolah sering tidak adil dalam pendanaan kegiatan kesiswaan. Beberapa kegiatan tidak mendapatkan subsidi dari sekolah padahal kita juga ingin berprestasi.”

Beberapa keluhan tersebut disampaikan mereka ketika aku coba berbincang lebih dekat dengan mereka. Setelah beberapa hari aku merenung, juga melakukan riset dari berbagai sumber, aku mengusulkan beberapa alternatif program yang bisa dilakukan sekolah agar siswa minat dan bakatnya lebih terfasilitasi dengan bijaksana.

Aku mengusulkan agar dibentuk beberapa kelompok yang berisi gabungan beberapa ekstrakulikuler yang serumpun, yaitu kelompok olahraga, kelompok kajian ilmiah, dan kelompok seni, serta satu kelompok bebas untuk para siswa yang masih belum tahu bakat minatnya. Kelompok-kelompok tersebut dipersilahkan untuk melakukan kegiatannya sendiri-sendiri. Karena kelompok ini gabungan beberapa ekstrakulirkuler, mereka bisa melakukan latihan bersama dan saling mendukung.

Terkait pertikaian dengan sekolah lain, aku sebisa mungkin menjaga komunikasi dengan siswaku agar mereka tidak lagi gegabah. Selain itu, aku coba mengundang sekolah lain untuk berkegiatan bersama paling tidak satu bulan sekali, sehingga hubungan diantara mereka berangsur baik.

Dan mengenai pendanaan dari sekolah aku coba sampaikan langsung ke pimpinan. Memang hal tersebut sangat mungkin terjadi ketimpangan antar kegiatan siswa tergantung kebutuhan branding sekolah dan raihan prestasi siswa. Aku sampaikan seadanya kepada siswaku. Aku terus memberikan semangat kepada mereka agar terus berjuang.

“Sekolah akan memberikan yang terbaik jika kita jugu melakukan yang terbaik. Mari saling mendukung!” Pesanku kepada mereka yang dijawab dengan anggukan sebagai tanda sepakat. Semoga dengan ini, aku dan seluruh warga sekolah bisa terus menjaga komitmen untuk kemajuan bersama.

Tagar:

Bagikan postingan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *