Hari itu bukan hanya tentang pelajaran, melainkan tentang luka yang tiba-tiba terbuka di ruang kelas.
Matahari menyambut deretan seragam putih biru yang belum benar-benar rapi. Anak-anak bergegas memasuki ruang kelas, sebagian masih sibuk merapikan dasi, sebagian lain tak peduli. Di halaman sekolah, bendera berkibar malas seperti selembar kain yang dipaksa melawan angin. Tiangnya berderit pelan, menambah suasana yang terasa lebih sebagai rutinitas daripada perayaan makna kemerdekaan. Langkah-langkah kaki beradu dengan suara bel, namun wajah murid-murid tampak biasa saja, seakan hari itu hanyalah hari sekolah biasa, tanpa sesuatu yang istimewa.
Ruang kelas IX-E sudah penuh ketika aku memasukinya. Cahaya matahari menerobos dari jendela yang berdebu, menyoroti papan tulis yang masih menyisakan coretan dari pelajaran kemarin, seperti jejak-jejak pikiran yang tak tuntas.
Aku adalah guru Bahasa Indonesia berusia tiga puluhan tahun yang memasuki kelas dengan membawa map penuh lembar refleksi kokurikuler. Tema hari ini adalah “Sudahkah Kita Merdeka?”, sebuah tema yang dipilih sekolah sebagai bagian dari program bulan kemerdekaan. Tugasku, bersama Bu Indira yang lebih senior, adalah memandu diskusi.
Di baris ketiga, seorang murid bernama Ravia duduk dengan mata yang jarang berkedip, seakan menahan sesuatu yang berat di dadanya.
“Baik, mari kita mulai,” suara Bu Indira yang berdiri di depan kelas terdengar. “Kalian bebas menyampaikan pendapat tentang arti merdeka hari ini.”
Seorang murid dengan rambut klimis, Darvas, langsung mengangkat tangan.
“Merdeka itu artinya kita sudah tidak dijajah. Kita sudah punya negara sendiri. Jadi, jelas, kita sudah merdeka.”
Beberapa murid mengangguk. Namun, Ravia hanya menunduk. Kata-kata Darvas terasa datar, seperti buku sejarah yang dihafalkan tanpa ruh.
Tiba-tiba, Ravia mengangkat tangan. Suaranya lirih, namun penuh ketegasan, “Kalau merdeka hanya soal lepas dari penjajahan, mengapa saya merasa masih ada yang terjajah di sekolah ini? Mengapa suara yang berbeda selalu dipaksa diam?”
Ruangan mendadak sunyi.
Darvas mendengus, “Itu hanya perasaanmu saja.”
Namun, Ravia tidak berhenti. Ia membuka buku catatan kecilnya, lalu membaca, “Membiarkan kesalahan adalah satu bentuk kejahatan (Soe Hok Gie).”
Ia menutup bukunya pelan, lalu menatap ke arah Bu Indira.
“Kalau ada yang salah di sini, dan kita diam, bukankah itu artinya kita tidak benar-benar merdeka?”
Bu Indira terdiam. Aku melihat wajahnya menegang, antara marah dan bingung. Kelas yang biasanya riuh kini seperti ruangan tanpa udara.
Jam istirahat, aku sengaja berjalan ke koridor. Benar saja, kudengar Darvas mendekati Ravia.
“Kau pikir, kau pahlawan? Berani-beraninya menantang guru di depan kelas. Itu cari masalah namanya.”
“Aku hanya bicara yang kupikir benar,” jawab Ravia singkat.
“Kalau begitu, siap-siap saja. Kau tahu siapa yang selalu dipihak Bu Indira? Aku. Lihat saja, aku bisa membuatmu tidak nyaman di sekolah ini,” ancam Darvas sambil tersenyum miring.
Aku menahan diri untuk tidak langsung campur tangan. Tetapi dalam hati, aku tahu ancaman itu nyata. Sekolah sering kali lebih memilih anak yang patuh ketimbang anak yang berani.
Menjelang siang, sesi refleksi dilanjutkan. Setiap murid diminta menuliskan arti merdeka di kertas kecil dan menempelkannya di papan.
Darvas menulis, “Merdeka adalah ketika kita patuh pada aturan sekolah.”
Tepuk tangan riuh terdengar, entah karena setuju atau sekadar ikut arus.
Ketika giliran Ravia tiba, ia menulis, “Merdeka adalah ketika kita berani berpikir. Karena seperti kata Pramoedya Ananta Toer, kita harus merdeka sejak dalam pikiran.”
Kelas hening.
Bu Indira mendekati papan, suaranya tajam, “Kata-katamu bagus, Ravia. Tapi, berhati-hatilah. Pikiran yang terlalu bebas bisa jadi bumerang. Sekolah ini punya tata tertib dan kita harus berjalan sesuai rel itu.”
Aku melihat Ravia menunduk. Matanya masih menyimpan api. Aku tahu, tugasku bukan sekadar guru yang mengajar tata bahasa, melainkan seseorang yang menjaga api kecil itu agar tidak padam.
Konflik membesar. Seusai kelas, aku dipanggil ke ruangan kepala sekolah. Bu Indira duduk di samping kepala sekolah, Pak Surya, seorang pria berusia lima puluh delapan tahun dengan wajah dingin dan sorot mata yang terbiasa menuntut kepatuhan.
“Pak,” kata kepala sekolah, “diskusi di kelas tadi kelewat batas. Anak-anak tidak boleh diarahkan untuk mempertanyakan aturan. Itu bisa memicu keresahan.”
Aku menahan napas. “Tapi bukankah tujuan pembelajaran kokurikuler adalah melatih berpikir kritis? Kalau kita menutup pintu pertanyaan, bagaimana anak-anak belajar memaknai kemerdekaan?”
Bu Indira menyela, “Pak, saya tidak keberatan dengan diskusi. Tapi, jangan biarkan murid seperti Ravia mengendalikan arah kelas. Ia sering melawan. Kita harus menjaga stabilitas.”
Stabilitas. Kata itu terasa seperti borgol.
Aku menjawab, “Stabilitas yang menutup mulut murid sama saja dengan penjara. Apa artinya bicara kemerdekaan kalau di ruang kelas mereka dipaksa tunduk?”
Wajah kepala sekolah mengeras. “Bapak hati-hati. Jangan sampai sekolah ini jadi ajang eksperimen pemikiran liar. Tugas kita menjaga ketertiban.”
Aku keluar dari ruangan itu dengan hati berat. Rasanya aku berjalan di atas tali yang bisa putus kapan saja.
Seusai istirahat kedua, sesi presentasi diadakan di aula besar. Seluruh murid kelas IX hadir. Ravia maju ke panggung dengan langkah ragu, tapi suaranya lantang, “Merdeka bukan berarti hanya bebas mengibarkan bendera. Merdeka adalah berani berpikir meski berbeda. Merdeka adalah berani menolak aturan yang salah meski dibuat oleh orang yang berkuasa. Kalau di sekolah ini kami dilarang bertanya, dilarang bersuara, apakah artinya kami sudah merdeka?”
Ruangan bergemuruh. Sebagian bertepuk tangan, sebagian mencibir. Bu Indira tampak gusar, kepala sekolah segera berdiri untuk menghentikan acara.
Namun aku berdiri, berkata keras, “Biarkan ia bicara! Bukankah kemerdekaan yang kita rayakan ini tentang hak menyampaikan suara?”
Sorot mata kepala sekolah menatapku tajam, tapi tepuk tangan murid semakin keras. Aula bergema.
Setelah acara, aku menerima surat teguran. Aku dianggap menyalahi aturan, menanamkan ide berbahaya. Surat itu bagai borgol tak kasat mata.
Namun di luar ruangan, Ravia menghampiriku. Wajahnya pucat, tapi matanya berkilat penuh keberanian. Ia menyampaikan kalimat yang mendobrak kesadaranku.
“Jika kita membiarkan kesalahan, kita ikut berbuat jahat. Jika kita tidak merdeka dalam pikiran, kita hanyalah budak dengan seragam,” kata Ravia.
Aku terdiam. Aku sadar, kemerdekaan sejati bukanlah hadiah dari negara, bukan pula warisan pahlawan. Ia harus diperjuangkan, bahkan di ruang sekecil kelas.
Bel pulang berbunyi. Tapi, gema yang lebih keras adalah pertanyaan, “Sudahkah kita merdeka?”
Jawabannya mungkin samar, tapi selama ada murid seperti Ravia, selama ada guru yang mau menanggung risiko, api kecil itu akan tetap hidup. Karena merdeka bukan sekadar bendera yang berkibar, melainkan keberanian menjaga pikiran agar tidak dijajah.