“Mister Sam dan Grammar Ajaib”

Di ujung barat daya Jawa Timur, terhampar sebuah kota kecil yang menyimpan keajaiban alam bak lukisan surga. Pacitan begitulah kota ini disebut. Kota ini dikelilingi perbukitan kapur yang menjulang dan hijau, seakan menjadi benteng alami yang memeluknya dengan hangat. Julukan “Kota Seribu Satu Goa” bukanlah sekadar kiasan; dari Goa Gong yang megah dengan stalaktit kristal, hingga Goa Tabuhan yang bergema musik alam, setiap ceruk menyimpan cerita masa lalu dan juga mengukir cerita masa depan.

Disalah satu plosok kecamatan di kota ini terdapat madrasah. Madrasah adalah lembaga pendidikan formal yang berbasis agama Islam, yang kurikulumnya mencakup pelajaran umum dan mata pelajaran keagamaan. Ada seorang guru yang begitu antusias mendidik demi anak bangsa. Namanya Pak Samsuri Wijoyo. Sejak dia lulus kuliah jurusan Bahasa Inggris dan kembali ke kampungnya di Pacitan, Jawa Timur. Warga memanggilnya “Mister Sam.” Entah siapa yang memulai. Sejak saat itu, bahkan tukang sayur pun manggilnya “Mister,” meskipun beliau cuma beli tomat dua biji.

Mister Sam diangkat jadi guru Bahasa Inggris di Madrasah Ibtidaiyah Sekar, sebuah sekolah kecil dengan dua belas murid per kelas dan ayam yang bebas berkeliaran hingga ke ruang guru. Ia semangat mengajar, walau papan tulisnya bolong di tengah dan kapur warnanya tinggal biru.

Hari pertama mengajar, Mister Sam membuka kelas dengan semangat membara.

“Good morning, class!” katanya sambil tersenyum lebar.

Murid-murid hanya melongo. Lalu suara kompak menjawab, “Guuud moooorniiing… glass!”

Mister Sam terdiam sejenak. Ia menatap ke depan. Di depan kelas memang ada sebuah gelas pecah yang dijadikan pot tanaman. “Ah, ini bakal panjang,” batinnya. Minggu demi minggu berlalu. Ia mencoba berbagai metode: bernyanyi, bermain peran, bahkan membuat drama singkat. Namun selalu saja ada hal-hal tak terduga. Saat ia berkata, “Repeat after me: I am happy,”. Murid bernama Razaq berdiri tegak, menepuk dada dan berkata lantang, “Ayeeem hapi!” seperti bajak laut.

Suatu hari, Mister Sam punya ide: membuat kuis berhadiah. Hadiahnya? Dua bungkus ciki dan satu penghapus baru — barang langka di sekolah itu. Ia menulis soal di papan.

“Translate this: My mother is cooking in the kitchen.”

Semua murid tampak bingung. Namun tiba-tiba, tangan Maimunah, murid paling pendiam, terangkat. Dengan suara lirih ia menjawab, “Ibuku sedang memasak… di kutchen?”

Mister Sam menahan tawa. “Kitchen, Mai. Bukan kutchen.”

Maimunah hanya mengangguk polos, “Kirain kayak kucing, Mister.”

Hari-hari lucu terus berlanjut. Namun yang paling tak terlupakan adalah ketika mereka kedatangan tim penilai lomba “Sekolah Rujukan Bahasa.” Mister Sam kaget, karena sekolah mereka bahkan tidak punya kamus.

“Tenang,” kata Pak Kepala Sekolah. “Pokoknya tampilkan kelas terbaikmu.”

Mister Sam panik. Ia mengumpulkan murid-muridnya sore itu dan memberikan pelatihan intensif. Ia mengajarkan frasa-frasa sederhana seperti “How are you?”, “What is your name?”, dan “I live in the village.” Tapi karena pengucapan anak-anak masih kental logat Jawa, semua kalimat terdengar seperti mantra kuno.

Hari penilaian tiba. Tiga orang juri berdasi datang. Murid-murid telah bersiap di kelas, dengan meja bersih dan rambut disisir minyak kelapa. Mister Sam berdiri di depan, memimpin salam.

“Good morning, judges!” katanya bangga.

“Guuuud mooornnning, jajaas!” seru murid serempak.

Senyum juri langsung beku. Tapi Mister Sam terus lanjut.

“Now, we will do a conversation. Maul and Kamto, please come forward.”

Kamto melangkah ke depan dan mulai, “What… is your… neme?”

Maul menjawab, “May neme is Maul. Ay em.. a boi.”

Semua berjalan lancar hingga Maul tiba-tiba berkata spontan, “Ay laik… ketoprak!” (Aku suka ketoprak)

Mister Sam kaget. Para juri terlihat tertawa kecil.

Namun yang paling mengejutkan datang setelahnya.

Salah satu juri, pria berkacamata, menghampiri Mister Sam setelah penilaian.

“Pak Sam, boleh saya tanya?” katanya.

“Silakan, Pak.”

“Apakah Bapak pernah mengajar di Boston?”

“Boston mana ya, Pak? Yang deket Bekasi?”

Sang juri tertawa. “Boston di Amerika, Pak.”

Mister Sam geleng kepala, “Waduh, saya paling jauh ya cuma sampai Yogya. Itu juga naik bus.”

Juri itu pun menjelaskan. “Logat Bapak waktu mengucapkan certain phrases… sangat mirip native. Kami pikir Bapak lulusan luar negeri.” Mister Sam bingung. Lulusan luar negeri? Ia bahkan belajar dari video YouTube dan kaset tua BBC English.

Tak lama, hasil penilaian keluar. Tak disangka, Madrasah Ibtidaiyah Sekar jadi juara favorit karena keaslian dan “kehangatan dalam praktik bahasa.” Sekolah mereka jadi viral. Wartawan datang, bahkan sebuah TV swasta menayangkan kisah mereka. Dan twist terbesar terjadi saat siaran itu ditonton oleh seorang wanita paruh baya di Surabaya. Ia langsung menelpon stasiun TV dan berkata, “Itu Samsuri! Itu anakku!”

Ternyata, sejak kecil Mister Sam pernah tinggal di Inggris selama lima tahun karena ibunya kerja sebagai TKW. Saat itu, Samsuri kecil fasih berbahasa Inggris. Namun setelah pulang ke Indonesia, semua itu terlupakan — hingga ia kuliah dan mengajar lagi. Kemampuan “native accent” yang muncul secara alam bawah sadar itulah yang membuat juri terkesima. Sejak saat itu, Mister Sam dijuluki “Guru Grammar Ajaib dari Kota Seribu Satu Goa.” Sekolahnya sering mendapat bantuan. Dan ia pun menulis buku: “Mengajar Inggris dengan Ciki dan Ayam.”

Namun, meski kini dikenal sekarang, ia tetap sama. Tiap pagi naik sepeda ke sekolah, menyapa warga, dan mengajar murid-murid dengan logat campur: Jawa, Inggris, dan sedikit kenangan masa kecil yang sempat hilang tapi kini menjadi berkah. Modal keyakinan dan tekad yang dimiliki oleh Mister Sam adalah sebuah fondasi pijakan. Keyakinan pada Allah dan Rencana_Nya adalah fondasi utama dalam meraih prestasi. Setiap usaha yang dilakukan dengan niat tulus dan penuh keikhlasan akan mendapatkan berkah dari Allah.

Tagar:

Bagikan postingan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *