Keningku berdenyut, mata berkunang-kunang sesaat setelah membaca jawaban yang ditulis Fahri. Tiba-tiba aku merasa menjadi guru yang gagal, seolah-olah sebuah batu besar mengganjal di hati ketika menghadapi siswa seperti Fahri. Bagaimana tidak? Hampir sejam aku berdiri di depan kelas menerangkan pelajaran dengan detail, hasilnya justru tidak nyambung.
Fahri adalah siswa pindahan di awal semester lalu. Guru kelas VIA dan VIB menolak Fahri setelah melihat buku rapornya. Aku pun mengalah. Maka jadilah dia sebagai siswa ke-27 di kelas VIC yang kuampu. Padahal jika dibanding kelas IVA dan kelas VIB jumlah siswaku yang paling banyak.
Sejak itu, di sekolah menjadi sedikit lebih melelahkan. Kupikir bukan hanya aku yang merasakannya, tetapi Fahri juga. Dia kesulitan mengikuti pelajaran, cara membacanya masih terbata-bata. Bisa dibilang dia belum cukup layak menjadi siswa kelas VI. Ketika menulis pun banyak huruf yang tertinggal. Berhitung lambat dan terkesan asal-asalan. Mulai saat itu, aku menyebutnya murid istimewa.
Di luar itu, hal yang membuatku harus selalu istigfar adalah hobi Fahri suka terlambat dan alpa. Geram rasanya. Setiap hari aku datang ke sekolah dengan semangat untuk memberinya paling tidak secuil ilmu, justru dia tidak hadir.
“Minggu ini, sudah tiga hari kamu tidak sekolah. Kenapa, Nak? Kamu sakit?” tegurku saat berpapasan dengan Fahri di lorong sekolah.
Murid istimewaku bergeming seraya menunduk. Tanpa kata, dia berlalu.
Hari lain, pertanyaan yang menjadi langganan untuknya adalah kenapa terlambat?, terlambat lagi?, kemarin kenapa tidak masuk sekolah?
Begitulah Fahri. Apa pun pertanyaannya, reaksinya tetap sama: berlalu begitu saja seakan-akan aku angin lalu. Terkadang aku gemas. Ingin rasanya menghukumnya, yang kupikir, layak untuk murid istimewaku itu seperti yang sering kulakukan kepada murid-murid lain di zaman dahulu. Metode pendisiplinan siswa yang dahulu kupakai adalah jika ada anak datang terlambat atau tidak mengerjakan tugas maka aku memintanya mengutip sampah, berlari keliling lapangan sekian kali, hormat bendera, atau bahkan membersihkan toilet. Namun, ternyata itu kurang relevan dengan keadaan. Pendisiplinan akan lebih efektif jika motivasi dari dalam diri siswa lebih dimunculkan dibanding memberi hukuman fisik.
Siang itu, saat jam istirahat kedua, kutunggu Fahri di kantor guru. Aku sengaja memanggilnya untuk bicara empat mata. Aku benar-benar ingin tahu perihal yang terjadi dengannya.
Waktu berlalu, Fahri tidak kunjung datang. Bahkan kelebatan bayangannya pun tidak terlihat. Aku tetap bersabar seraya mengalihkan perhatian pada lembar jawaban milik murid-muridku yang lain. Ketika jam istirahat tinggal lima menit, akhirnya Fahri datang juga. Dengan kepala menunduk, dia menghampiri mejaku. Segera kusambut dia dengan senyuman lalu memintanya duduk di depanku.
“Fahri sehat?” tanyaku untuk mencairkan suasana yang terasa sangat kaku.
Seperti yang kuduga, Fahri bergeming.
Aku berdeham. “Kemarin Ibu menelepon nomor HP orang tua Fahri, tetapi nomornya sudah tidak aktif. Apa nomornya sudah ganti?”
Fahri masih diam.
“Fahri tahu nomor barunya berapa?”
“Sudah tidak punya HP,” sahutnya pelan.
Oh, pantas saja saat kutanya tentang nomor HP orang tua Fahri ke teman-teman sekelasnya tidak ada yang tahu. Ditambah lagi Fahri suka menyendiri sehingga dia tidak punya teman dekat di kelas.
Dengan perasaan campur aduk, aku mengambil selembar amplop putih panjang lalu memberikannya ke Fahri. “Ibu titip surat ini untuk orang tuamu, ya. Katakan juga bahwa Ibu menunggu kedatangan mereka besok pagi di sekolah.”
Fahri menerima surat itu tanpa berkata lalu pergi begitu saja. Entahlah, apa yang dia rasakan sekarang. Kupandangi punggung bocah lelaki 13 tahun itu dengan hati sedih. Kurasa Fahri bukan anak yang tidak pandai, dia hanya kurang perhatian.
***
Keesokan harinya Fahri tidak sekolah lagi. Padahal aku sudah menyiapkan bahan konsultasi antara guru dan orang tua dengan begitu baik karena pendekatan segitiga restitusiku selalu gagal ketika berhadapan dengan Fahri.
Sepulang sekolah, aku mendatangi rumah Fahri. Setelah beberapa menit berkendara menggunakan motor matikku, sampailah aku di rumah kontrakan yang berderet tiga pintu. Berdasar informasi dari tetangganya, kontrakan yang ditinggali Fahri adalah petak pintu ketiga paling ujung. Kuhela napas dalam-dalam lalu membuangnya kasar ketika melihat rumah kontrakan yang begitu tidak terurus. Sampah-sampah berserakan di sana-sini, tiang jemuran yang sudah meleyot baju-baju dan celana yang disampirkan secara sembarangan, lalat-lalat berkerumun di atas sampah basah.
Kuketuk pintu kontrakan Fahri. Namun, tidak ada sahutan, pun tidak terdengar suara apa-apa dari dalam rumah. Akhirnya, tetangga sebelah kontrakan mendatangiku. Dia seorang ibu muda berdaster panjang dengan rambut digelung ke atas.
“Orangnya tidak ada, Bu, pergi kerja,” ucap si tetangga sambil tersenyum ramah kepadaku.
“Saya gurunya Fahri ingin jumpa dengan orang tuanya, kira-kira mereka pulang jam berapa, ya, Bu?”
“Biasanya malam, Fahri cuma tinggal berdua dengan ayahnya, maknya sudah lama pergi.”
Aku melongo lalu segera mengerjap untuk menyamarkan keterkejutanku. “Pergi? Maksudnya?”
“Iya, kabur. Tidak ada yang tahu perginya ke mana. Sebelumnya, hampir setiap hari mereka ribut. Kasihan si Fahri.”
Aku mengerti sekarang, rupanya ini salah satu sumber masalah yang dimiliki Fahri. Aku lantas pamit pulang. Di sepanjang jalan kususun beberapa rancangan strategi pengajaran khusus untuk murid istimewaku itu. Aku ingin memberikan pendidikan yang terbaik untuknya.
***
Hari-hari berlalu, siang dan malam silih berganti dengan cepat. Hingga jelang ujian kelulusan sekolah, bangku tempat duduk Fahri masih kosong. Sudah berbulan-bulan dia tidak masuk sekolah tanpa keterangan. Sulit sekali rasanya untuk menemui ayah Fahri. Rumah kontrakannya selalu kosong setiap aku datang berkunjung. Ke mana mereka? Rasa khawatir lebih besar daripada amarah di hatiku. Aku benar-benar merasa kehilangan anak itu. Pada akhirnya aku harus menelan kenyataan bahwa bangku Fahri tetap kosong sampai hari kelulusan tiba.
***
Beberapa tahun kemudian saat aku singgah di sebuah bengkel karena ban motorku bocor, seorang remaja laki-laki dengan cepat menyambut kemudian mendorong motorku ke dalam. Dengan cekatan dia memeriksa ban motorku lalu memperbaiki kebocorannya. Kuperhatikan lekat-lekat penampilan remaja itu. Tubuhnya kurus, rambut ikal sebahunya dia tutupi menggunakan topi dengan pinggiran yang lebar. Dia terus menunduk sehingga bagian bibir dan dagu saja yang bisa kulihat. Sekilas tampak segaris kumis tipis di atas bibirnya. Hatiku merasakan perasaan yang tidak biasa, rasanya seperti familier dengan remaja itu.
Setelah ban motor selesai diperbaiki, dia menghampiriku dengan senyum canggung di wajahnya. “Tidak usah bayar, Bu, bawa saja motornya.”
Tanpa pikir panjang kupeluk remaja itu, remaja yang lama kurindukan. Dialah murid istimewaku yang telah lama hilang. Maafkan, Ibu, Nak. Sebagai guru, Ibu tidak berhasil memahami kerasnya kehidupanmu.
Selesai
5 Responses
Cerita yang luar biasa Bu Mega.
Bahkan penggunaan segitiga restitusipun di terapkan setelah memperoleh pendidikan dari guru penggerak. Memang guru yang layak di contoh. Namun begitulah Bu. Kita hanya bisa berusaha memberikan yang terbaik, sisanya Tuhan yang atur serta kembali ke kondisi siswanya. Tetap semangat untuk menjadi Pendidik yang berdampak, Bu Mega.
Cerpen yang sangat bagus teman
Terkesima dengan cerita yang bu mega tuliskan, siswa yang ibu gambarkan dengan sebutan fahri, telah merubah cara pandang seorang guru untuk memberikan yang terbaik untuk siswa nya. Jika saja bu mega berjumpa dengan orang tua dan fahri pada saat ibu berkunjung ke rumah kontrakan, mungkin akan lain ceritanya, endingnya bukan berjumpa saat ban roda dua ibu bocor, mungkin bisa jadi dipertemukan dalam kondisi dan suasana yang membuat bu mega berbangga hati
Wah, keren! 😍
Cerpennya bagus, kisahnya menyentuh ..🥲