Pendahuluan
Seorang intelektual Yahudi dari Israel pernah menyampaikan sindiran tajam yang viral di media Arab: “Umat Islam adalah umat yang diawali perintah ‘Iqra’, tetapi mereka tidak suka membaca.” (Schleifer, 2015). Komentar ini mungkin terdengar provokatif, tetapi ia menyentuh sebuah ironi yang sulit dibantah: banyak Muslim sangat aktif bersuara, terutama di media sosial, namun minim dalam membaca dan mendalami ilmu.
Di Indonesia, fenomena ini terlihat jelas. Media sosial ramai dengan perdebatan keagamaan, mulai dari polemik hijab hingga fatwa ulama, dari isu politik hingga tafsir ayat. Tren seperti #SavePalestina atau #AksiBelaIslam menjadi viral dengan cepat, diikuti ribuan komentar panas. Komentarnya tak jarang bernada keras, menghakimi, dan penuh klaim absolut kebenaran.
Namun, apakah semua kelantangan itu didasarkan pada bacaan mendalam dan pemahaman komprehensif? Atau hanya sekadar meniru potongan ceramah, kutipan status dai selebgram, atau potongan video TikTok berdurasi 30 detik?
Data dari World Bank (2023) menunjukkan bahwa rata-rata orang Indonesia hanya membaca 4-5 buku per tahun, jauh di bawah negara-negara dengan populasi Muslim signifikan seperti Turki (12 buku/tahun) atau Iran (7 buku/tahun). Bahkan, menurut data UNESCO (2024), minat baca masyarakat Indonesia masih berada di level mengkhawatirkan—hanya 0,001%, artinya dari seribu orang, hanya satu yang benar-benar gemar membaca secara aktif. Sementara itu, laporan We Are Social dan Hootsuite (2024) menunjukkan bahwa 77% pengguna internet Indonesia menghabiskan rata-rata 3 jam per hari di media sosial, dengan YouTube, TikTok, dan Instagram sebagai platform dominan.
Kontradiksi ini menjadi pertanyaan mendasar: Mengapa umat Muslim Indonesia begitu lantang bersuara di dunia digital, namun tampak enggan menyelami sumber-sumber ilmu secara mendalam lewat membaca? Opini ini akan mengulas akar persoalan tersebut, serta menyajikan analisis dan refleksi atas dampaknya bagi perkembangan pemikiran Islam dan kualitas interaksi sosial kita hari ini.
Pembahasan
- Potret Keaktifan Muslim Indonesia di Media Sosial
Dalam dua dekade terakhir, media sosial telah menjadi “mimbar baru” bagi umat Muslim Indonesia untuk menyampaikan opini, dakwah, bahkan fatwa. Facebook, TikTok, hingga YouTube tak hanya menjadi tempat konsumsi hiburan, tapi juga arena diskusi keagamaan. Misalnya, perdebatan soal hukum penggunaan AI dalam khotbah, polemik fashion syar’i modern, hingga isu pemboikotan produk yang dianggap tidak Islami, kerap memicu respons masif.
Namun sayangnya, gaya komunikasi yang dominan sering kali bersifat reaktif dan emosional. Banyak yang cepat membagikan informasi tanpa verifikasi, atau menyampaikan kritik dengan bahasa sarkas dan penuh prasangka. Analisis ilmiah, kutipan kitab klasik, atau pendekatan maqashid syariah nyaris tak terdengar—yang dominan justru potongan dalil tanpa konteks dan “quote war” antara kelompok.
Fenomena ini menandakan bahwa semangat berpendapat tidak selalu diiringi dengan fondasi ilmu yang memadai. Ruang digital yang seharusnya menjadi ladang dakwah dan dialog justru kerap menjadi arena konflik simbolik dan ujaran kebencian.
- Indikasi Rendahnya Minat Baca
Minat baca yang rendah di kalangan Muslim Indonesia bukan sekadar asumsi. Menurut World Bank (2023) menunjukkan bahwa rata-rata orang Indonesia hanya membaca 4-5 buku per tahun. Bahkan menurut hasil riset Perpustakaan Nasional (2023) menunjukkan angka yang lebih rendah, bahwa minat baca masyarakat Indonesia berada di peringkat 62 dari 70 negara. Di mana rata-rata orang Indonesia hanya membaca 1–2 buku per tahun. Bandingkan dengan Muslim di Turki dan Iran.
Beberapa faktor yang memengaruhi rendahnya minat baca antara lain dominasi budaya visual (video, gambar, meme), kurangnya akses terhadap buku-buku Islam berkualitas dalam bahasa Indonesia, serta lemahnya budaya literasi dalam keluarga dan institusi pendidikan. Di banyak pesantren atau majelis taklim, kegiatan membaca kitab sering tergantikan dengan hanya mendengarkan ceramah.
Padahal, tradisi Islam klasik sarat dengan budaya membaca dan menulis. Ulama seperti Imam al-Ghazali, Ibn Taimiyah, hingga Ibnu Khaldun menghabiskan sebagian besar hidup mereka dalam kajian, riset, dan penulisan. Ironis jika warisan literasi Islam yang begitu kaya justru diabaikan oleh generasi Muslim hari ini.
- Dampak Rendahnya Literasi terhadap Diskursus Digital
Minimnya minat baca tentu berdampak serius pada kualitas diskusi di ruang digital. Tanpa fondasi literasi yang kuat, perdebatan keagamaan mudah terjebak pada simplifikasi dan polarisasi. Isu-isu yang kompleks seperti pluralisme, moderasi Islam, fikih kontemporer, atau politik identitas seringkali dibahas dengan sudut pandang sempit dan dangkal.
Akibatnya, berkembanglah fenomena cherry picking dalil, misinformasi keagamaan, serta maraknya hoaks berbalut agama. Sebagai contoh, polemik tentang hukum vaksin halal haram di awal pandemi 2020 hingga kini masih menyisakan jejak kebingungan akibat opini viral tanpa rujukan ilmiah dan fiqhiyah yang utuh. Meski ulama seperti Quraish Shihab telah menjelaskan hukumnya (NU Online, 2021).
Bahkan, tidak sedikit ustaz dadakan muncul hanya bermodal retorika tanpa sanad keilmuan yang sahih. Ini memperparah krisis otoritas keagamaan yang akhirnya memecah umat ke dalam kelompok-kelompok dengan klaim kebenaran masing-masing.
- Literasi dalam Perspektif Islam
Ironisnya, rendahnya minat baca justru bertolak belakang dengan semangat Islam itu sendiri. Wahyu pertama yang diturunkan kepada Nabi Muhammad adalah “Iqra’ bismi rabbikalladzi khalaq” (Bacalah dengan nama Tuhanmu yang menciptakan!) (QS Al-‘Alaq: 1). Ayat ini menandai bahwa Islam menempatkan membaca dan ilmu sebagai fondasi utama peradaban.
Dalam hadis, Nabi bersabda: “Menuntut ilmu adalah kewajiban bagi setiap Muslim” (HR. Ibnu Majah). Bahkan, para sahabat dan ulama salaf terdorong oleh semangat keilmuan ini untuk mendirikan perpustakaan, menerjemahkan karya filsafat Yunani, hingga membangun institusi seperti Baitul Hikmah di Baghdad. Sayangnya, semangat ini kini sering kalah oleh kebiasaan “copy-paste” pendapat tanpa tafakkur.
Maka, membaca bukan sekadar kegiatan intelektual, tapi ibadah yang mendekatkan manusia kepada pemahaman yang benar tentang Tuhan dan kehidupan. Gawai seharusnya menjadi perantara untuk memperkaya ilmu, bukan sekadar alat berbantahan tanpa isi.
- Akar Masalah: Sosial, Ekonomi, dan Digitalisasi
Untuk memahami persoalan secara utuh, kita juga perlu mencermati faktor sosio-kultural dan ekonomi. Banyak keluarga Muslim yang belum membangun kebiasaan membaca sejak dini. Perpustakaan di sekolah dan masjid masih kurang atraktif dan aksesibel. Sementara itu, dominasi media digital dan algoritma media sosial cenderung memanjakan perhatian jangka pendek (short attention span), sehingga konten mendalam kalah bersaing dengan video viral dan tren instan.
Di sisi lain, harga buku-buku keislaman berkualitas kadang tidak terjangkau oleh masyarakat menengah bawah. Kurangnya inisiatif dari lembaga keagamaan untuk membuat bahan bacaan murah, digital, dan mudah dipahami memperparah jarak antara umat dan literasi.
Kesimpulan
Fenomena umat Muslim Indonesia yang lantang bersuara namun minim membaca adalah realitas yang paradoksal dan patut menjadi keprihatinan bersama. Media sosial telah menjadi panggung ekspresi keagamaan, namun tanpa disertai tradisi baca yang kuat, diskursusnya cenderung dangkal, emosional, bahkan membahayakan kohesi sosial dan keilmuan Islam itu sendiri.
Jika dibiarkan, kondisi ini berpotensi merusak arah perkembangan pemikiran Islam di Indonesia—menjadikannya terpecah, reaksioner, dan jauh dari semangat keilmuan Islam yang bersifat kritis, inklusif, dan mendalam.
Maka, solusi bukan sekadar mengimbau untuk membaca lebih banyak, tetapi menciptakan ekosistem literasi Islami yang ramah, inklusif, dan terintegrasi. Keluarga bisa mulai dengan membacakan buku-buku Islam sejak dini. Sekolah dan pesantren harus membangun perpustakaan yang hidup dan relevan. Tokoh agama perlu mendorong budaya membaca melalui konten digital yang mencerahkan, bukan sekadar viral. Pemerintah dan penerbit bisa bekerja sama menyediakan buku murah dan akses digital gratis yang berkualitas.
Penutup
Gawai memang membuka peluang dakwah yang luas, tapi kitab tetaplah kompas yang menuntun arah. Jangan sampai kita menjadi umat yang hanya lantang di ruang maya, tapi kosong di dalam kepala. Ingatlah, membaca bukan sekadar menambah informasi, tapi membentuk peradaban. Kini saatnya kita bertanya pada diri sendiri: Apakah gawai sudah menggantikan kitab? Atau justru kita yang telah menjauh dari warisan ilmu yang agung?
Daftar Pustaka
Al-Ghazali, Abu Hamid. (n.d.). Ihya Ulumuddin.
Al-Qur’an. Surah Al-‘Alaq: 1.
Ibnu Majah. Sunan Ibnu Majah, Hadis tentang kewajiban menuntut ilmu.
NU Online. (2021). Penjelasan Quraish Shihab Soal Kehalalan Vaksin.
Perpustakaan Nasional Republik Indonesia. (2023). Statistik Perpustakaan Indonesia.
Schleifer, A. (2015). The Muslim 500: The World’s Most Influential Muslims. Royal Islamic Strategic Studies Centre.
UNESCO Institute for Statistics. (2024). Global Literacy Data and Statistics. Diakses dari uis.unesco.org
We Are Social & Hootsuite. (2024). Digital 2024: Indonesia. Diakses dari datareportal.com
Slice.id (2024). Jumah Pengguna Media Sosial Indonesia di Berbagai Platform 2024. Diakses dari https://www.slice.id/blog/tren-pengguna-media-sosial-dan-digital-marketing-indonesia-2024