Hidup itu sebenarnya indah jika kita memandangnya dari sudut yang indah. Namun, terkadang hidup terasa begitu berat dan tak adil jika kita memandangnya dari sudut yang tak kita inginkan. Bukan indah atau tidak yang kita rasakan, melainkan bagaimana kita menilai hidup itu sendiri. Mulailah dengan menilai positif dari setiap perjalanan hidup yang kita lalui. Mulailah menyadari bahwa rencana Allah selalu lebih baik untuk kita.
Tanpa kita sadari, kita selalu mengeluh dan mencela setiap hal yang tidak kita suka dalam kehidupan ini. Padahal hidup ini adalah pilihan. Dan selalu ada konsekuensi dari setiap pilihan tersebut. Tangis, tawa, suka dan duka selalu menghiasi pilihan hidup yang telah kita putuskan.
“Tapi, aku ingin kebahagiaan selalu mengiringi setiap langkahku.” Lirih hati Tyas menjawab kegagalan yang berhasil meluluhlantakkan hatinya menjadi kepingan tak berbentuk. Kehancuran hati seorang dara manis yang hampir saja menikmati indahnya maghligai pernikahan. Namun semuanya kandas tak bertepi karena sang kekasih lebih memilih wanita
lain dan meninggalkan Tyas pada persimpangan jalan yang tak tentu arah.
Ntah apa yang harus Tyas lakukan. Sedih, malu dan sakit yang begitu mendalam. Kepahitan hidup yang telah merebut seluruh kebahagiaannya.
Kepahitan itu membuat Tyas galau dalam hidup, dan merasa bahwa cinta hanyalah genangan penderitaan yang takkan pernah surut. Bahkan ia akan kembali menenggelamkan pelakunya kala badai asmara bergejolak di putaran hati manusia. Hingga segala kebaikan dan curahan kasih sayang kaum adam bagai angin lalu, seakan tak menyentuh hati Tyas. Kegagalan cintanya bersama sang kekasih menghancurkan kepercayannya pada cinta.
Hari demi hari ia lalui dalam bayang – bayang Dino, sang kekasih yang telah mengkhianatinya. Waktu seakan berjalan begitu lambat untuk bangkit dari keterpurukannya. Hari yang berlanjut menjadi minggu dan beranjak menjadi bulan seakan menanti harapan bertahun – tahun lamanya.
Kerja, kerja dan kerja menjadi prioritasnya untuk menghapus jejak Dino dalam kehidupannya. Jejak yang terus menghantui di setiap sudut hati dan hidupnya. Jejak yang ntah sampai kapan akan musnah dalam ingatannya.
Pagi itu, Pak Ardi memanggil Tyas ke ruang kerjanya. Dan Tyas pun bergegas menuju ke lantai dua, tempat singgasana sang Raja Superior Supermarket berada.
“Tyas, kita akan membuka cabang di Medan. Saya yakin, kamu mampu
mengembangkan perusahaan kita di sana. Bahkan dari hasil kerja kamu selama ini, saya optimis kamu dapat menjadikannya pusat perbelanjaan terfavorit di Medan.”
“Tapi, Pak…”
“Tidak pakai tapi – tapi. Saya yakin ada potensi besar dalam dirimu. Segera berkemas, karena tiket untuk keberangkatanmu ke Medan telah disiapkan. Silahkan jumpai sekretaris saya, ia telah menyiapkan semuanya untuk keberangkatanmu.”
Tyas pun mengikuti arahan dari sang Pimpinan. Ia menjumpai Gita sahabatnya, yang tak lain adalah sekretaris Pak Ardi. Semua telah diatur, tiket pesawat dengan keberangkatan besok siang pukul 14.00 WIB dan jadwal cek in pukul 13.00 WIB.
Tyas merupakan salah satu staff marketing yang ulet dan mempunyai beragam ide cemerlang dalam pengembangan perusahaan. Tampilan-tampilan yang ia sajikan pada konsumen selalu fresh dan menarik. Oleh karena itu, Pak Ardi mempercayakan posisi manager marketing cabang Medan pada Tyas.
Entah apa yang seharusnya dirasakan Tyas. Bahagia karena ia mendapat posisi sebagai manager, atau justru rasa khawatir memegang jabatan yang belum pernah ia bayangkan sebelumnya. Apalagi, Medan termasuk kota besar dengan persaingan bisnis yang cukup ketat. Bahkan aneka pusat perbelanjaan telah berdiri bak jamur di musim hujan di kota Bika Ambon tersebut.
Barang-barang telah selesai dikemas dalam koper yang tidak terlalu besar. Bahkan mentalpun mulai disiapkan untuk memastikan dirinya mampu menjalankan amanah yang diembankan kepadanya. Bermodal tekad dan restu dari sang mama, Tyas berangkat menuju Bandara Soekarno Hatta sekitar pukul 11.30 siang. Ia pun tiba di Bandara sekitar pukul 12.45.
Perjalanan dijadwalkan pukul 14.00 WIB. Oleh karenanya, Tyas harus melakukan cek in sebelum keberangkatan. Tanpa membuang waktu, Tyaspun segera cek in dan memasukkan barang – barangnya kedalam protektor. Tidak butuh waktu terlalu lama untuk hal itu. Tapi, sepertinya Tyas harus bersabar, karena pesawat berangkat pukul 2 siang.
Jarum jam yang terus berputar, menggiring Tyas untuk segera memasuki pesawat yang akan menerbangkannya ke kota yang akan menantang kreativitasnya. Dalam hatinya lirih mengatakan, “Kota indah tanpa kenangan Dino di setiap sudutnya. Kenangan pahit yang akan ia tinggalkan di kota Jakarta yang selalu macet dan sumpek karena bayangan Dino yang memuakkan.”
Dua jam telah berlalu, pesawatpun mendarat di Bandara Kualanamu. Tyas merasa asing saat berhasil menginjakkan kaki di Kota Medan. Keramaian yang terlihat dari aktivitas bandara seakan menambah kebingungannya mencari sosok manusia yang akan menjemputnya, sebagaimana pesan Pak Ardi.
“Bu Tyas ya? Saya Andi, salah satu karyawan Superior Supermarket.” Sapa seseorang mendekati Tyas.
Perasaan lega pun menghampiri Tyas setelah tahu bahwa orang yang dijanjikan akan menjemputnya telah berada di hadapannya. Dengan bantuan Andi, Tyas keluar dari bandara menuju parkiran tempat mobil sang penjemput diparkirkan. Mobilpun segera melaju meninggalkan Bandara Kualanamu. Laju mobil tidak terlalu kencang, melewati jalan raya menuju jalan Jamin Ginting. Tiba di simpang tiga kampus USU, Andi mengambil jalur lurus menuju jalan Iskandar Muda, setelah sampai di simpang empat, Andi membelokkan stir ke arah kiri tanpa menambah laju mobilnya. Empat puluh kilometer per jam, kecepatan mobil yang dikendarai Andi. Mobil tiba di simpang empat dan Andi membelokkan stir ke kanan menuju jalan Sei Wampu dan akhirnya mobil berhenti di sebuah rumah bernomor 110. Tyaspun turun dari mobil mengikuti langkah Andi.
Sebuah rumah berpagar besi dengan taman dan lampu taman yang terlihat asri itu, ternyata rumah dinas yang disiapkan perusahaan untuk Tyas selama bertugas di Medan. Kunci rumahpun berpindah dari tangan Andi ke Tyas setelah pintu pagar yang terkunci dibuka oleh Andi.
“Silahkan masuk, bu. Saya yakin, ibu pasti merasa lelah setelah menempuh perjalanan seharian ini. Jangan khawatir, karena rumah sudah rapi dan siap huni. Oh iya, kalau ada perlu sesuatu, jangan sungkan – sungkan hubungi saya ya. Saya siap membantu, jika ibu butuh sesuatu.” Andi memberi penjelasan sambil menyodorkan kartu nama.
“Kantor Superior Supermarket diamana, Pak?” tanya Tyas sambil menerima kartu nama yang disodorkan Andi.
“Kantor kita tidak jauh dari sini. Besok pagi, saya akan menjemput dan mengantar ibu ke kantor. Masih ada yang bisa saya bantu?”
“Tidak, terima kasih , Pak.” jawab Tyas.
“Kalau begitu, saya pamit, ya bu. Selamat malam.” Ucap Andi sambil meninggalkan rumah bernomor 110 itu.
Tyas pun langsung bergegas masuk ke dalam rumah yang dianggapnya terlalu besar untuk dihuni seorang Tyas. Rumah yang apik dengan ruangan yang besar dan dipenuhi dengan perabot mewah. TV, kulkas, kursi dan perabotan rumah yang dibutuhkan telah lengkap terisi.
Pagi yang cerah. Pagi pertama bagi Tyas di kota Medan. Ia pun segera bersiap – siap sebelum Andi menjemputnya. Seperti yang ia katakan pada Andi bahwa ia belum tahu dimana kantor tempatnya bertugas. Tepat pukul 06.45, Tyas telah siap untuk memulai aktivitas barunya sebagai manager Marketing Superior Supermarket. Andi datang menjemput tepat pukul 07.00 WIB.
Mobil melaju meninggalkan jalan Sei Wampu menuju Gatot Subroto. Jalan utama itu memiliki beberapa lubang pada aspalnya dan menambah keindahan kota Medan.
“Ya, inilah Medan, Tyas. Mungkin jauh berbeda dengan kota Jakarta dengan jalan raya yang apik dan mulus. Hmmm… bolehkan saya panggil nama saja, tampa embel – embel ibu supaya lebih nyaman ngobrolnya.”
“Boleh, Pak.” Jawab Tyas singkat.
Mobil terus melaju, sampai di perempatan, kemudi diarahkan ke kanan menuju areal parkiran Superior Supermarket. Maklum, jalan di kota ini banyak yang satu arah, jadi harus ada memutar. Padahal, jarak antara Superior Supermarket dengan jalan Sei Wampu sangat dekat.
Sekitar pukul 07.20 WIB, mobil telah terparkir di tempatnya. Tyas dan Andi melangkah menuju lantai 2 yang menjadi singgasana Tyas berada, yaitu kantor Superior Supermarket. Karyawan terlihat telah ramai menunggu kehadiran Manager Marketing yang baru, yang tidak lain adalah Tyas. Andi yang sedari tadi bersama Tyas, memperkenalkan Tyas pada Staff dan Karyawan di kantor ini. Tyaspun menyapa dan memperkenalkan dirinya pada seluruh Staff dan Karyawan yang hadir saat itu.
“Suasana kantor yang nyaman dan karyawan yang menyenangkan.” Bisik Tyas dalam hati menilai pertemuan pertamanya dengan Superior Supermarket medan.
“Ternyata orang Medan itu ramah – ramah ya. Selama ini, orang banyak yang beranggapan bahwa Medan itu dipenuhi dengan orang – orang yang keras dan kasar. Tapi, setelah aku terjun di kota ini, suasananya asyik dan nyaman.”
“Nah, anggapan seperti itulah yang harus dihilangkan dari dunia ini. Padahal kalau saja orang – orang tahu, bagaimana keramahan orang-orang Medan ini, mungkin mereka akan segera menghilangkan penilaian negatif mereka selama ini. ” Celoteh Andi membenarkan pendapat Tyas.
“Oh iya, ini ruangan Anda.” Andi membuka pintu dan mempersilahkan Tyas masuk ke ruangannya.
Tyas pun masuk ke dalam ruangannya dengan sedikit rasa kagum pada sikap Andi yang mampu menempatkan diri. Padahal, saat di jalan tadi, dia begitu lumer memanggil nama Tyas. Tapi, tidak untuk saat ini. Ini adalah kantor, dimana setiap orang harus bersikap profesional.
Genap lima bulan Tyas berada di Medan. Aneka ide pun dituangkan untuk memajukan Superior Supermarket. Terbukti angka penjualan cukup tinggi, bahkan mampu melebihi target.
Perjalanan waktu yang terus merangkul hari menjadi minggu, dan bulan, ternyata berhasil mendekatkan Andi dan Tyas. Tanpa sadar kedekatan itu menjadikan hati Andi semakin gundah gulana mengingat Tyas. Ketertarikannya pada gadis ini, tidak lagi menilai kemampuan dan kepintaran Tyas, melainkan ketertarikan layaknya kumbang terhadap mawar. Tapi, mawar indah itu membentengi dirinya dengan duri tajam sebagai pelindungnya. Tapi bagaikan kumbang, Andi tak gentar mendekati sang mawar. Perhatian demi perhatian dicurahkan untuk menjelaskan isi hatinya pada Tyas.
Namun Tyas hanya menganggap perhatian itu bagian dari tugas baru yang harus secepatnya ia susun dalam file relung hatinya, kemudian menutup file itu setelah tersusun pada tempatnya. Kekhawatiran akan jatuh pada kubangan kehancuran akibat cinta, membuat Tyas kehilangan kepercayaan akan cinta.
“Tyas, ngga semua laki-laki itu buaya. Tidak sedikit wanita yang berperan sebagai biawak. Tinggal kitanya aja yang harus selektif dan hati – hati dalam memilih pasangan.” Gita berusaha meluruskan pandangan buruk Tyas akan cinta. Gita adalah nona manis yang sudah 6 tahun menjadi sahabat Tyas. Gita tidak ingin melihat sahabatnya itu terus terpuruk dalam kegagalan cintanya di masa lalu.
“Luka itu sangat menyakitkan, Git. Aku takut jika harus terperosok pada kubangan cinta yang justru akan menenggelamkanku pada kesedihan yang lebih dalam.”
“Tyas…Tyas… Siapapun ngga akan pernah merencanakan kegagalan dalam hidupnya, apalagi masalah cinta. Cinta adalah bagian dari karunia Allah yang dititpkan di hati hambanya. Jadi tak seorangpun berhak mencela ataupun menyalahkan cinta. Karena cinta tak pernah salah. Namun, manusianya aja yang selalu menyalahgunakan keberadaan cinta. Aku yakin, suatu hari nanti kamu akan menemukan cinta sejatimu. Bahkan kamu akan mengakui bahwa cinta tak pernah salah.
“Cinta sejati, mungkin hanya ada dalam dongeng.” jawab Tyas.
Sesaat kemudian perbincangan kedua sahabat ini berakhir. Entah sudah berapa banyak rupiah yang Tyas keluarkan untuk pulsa ponselnya. Jarak yang jauh antara Medan – Jakarta, memaksanya untuk melakukan hal itu jika ia kangen pada Gita.
Hari yang mulai gelap, menandakan malam akan segera hadir menggantikan siang yang ingin kembali ke peraduannya. Tyaspun bergerak meninggalkan ruang kerjanya menuju parkiran, dimana ratusan mobil berdiam diri. Tak terlalu sulit bagi Tyas untuk menemukan
mobilnya yang terparkir tidak jauh dari pintu kantornya. Belum sempat ia masuk ke dalam mobil, tiba – tiba terdengar suara yang memanggilnya.
“Tyas…. Tyas…. ntar malam, aku jemput kamu jam 7 malam ya. Aku ingin ajak kamu ke suatu tempat. Boleh kan ?”
“Ma’af, Ndi. Rasanya, hari ini aku lelah banget. Aku pengen istirahat. Mungkin lain kali aja.”
“kalau besok, gimana?” Tanya Andi.
“Sekali lagi, maaf Ndi.” Tyaspun bergegas masuk dan menyalakan mobil yang disediakan perusahaan untuknya. Mobilpun berlalu dari hadapan Andi dengan meninggalkan kekecewaan di hati Andi.
Bagi Andi, Tyas adalah sosok wanita sempurna dengan segala kecakapan yang dimilikinya.
Suara adzan shubuh membangunkan dara manis itu dari buaian malam yang membawanya ke alam mimpi. Tyas segera bangkit dan bergegas bersiap – siap untuk menunaikan sholat subuh. Dan tak lupa membersihkan tubuhnya untuk melengkapi kesegaran pagi.
Satu set pakaian olah raga berwarna biru muda menjadi pilihan Tyas pagi itu setelah selesai sholat subuh. Seperti biasa, di minggu pagi Tyas jogging di sekitar pemukiman rumahnya. Hal itu dilakukan Tyas sebagai upaya untuk mengembalikan kebugaran tubuhnya. Hal yang tidak dapat ia lakukan setiap hari. Hari – harinya selalu disibukkan dengan pekerjaan yang membutuhkan pemikiran yang ekstra dari Tyas dan timnya. Makanya, di hari libur seperti inilah ia berusaha memenuhi kebutuhan jasmaninya untuk olah raga.
Sudah satu jam Tyas membakar lemak dalam tubuhnya. Putaran kali ini, ia arahkan langsung ke rumahnya yang bernomor 110 . Ia rebahkan tubuhnya di sebuah kursi santai sambil meneguk segelas juice wortel kesukaannya yang telah ia siapkan sebelum ia pergi jogging. Setelah juice, kini giliran sepotong roti ia siapkan dengan margarine dan cokelat di dalamnya sebagai sarapan Tyas pagi ini.
Remote TV ia sambar untuk melihat program berita di salah satu stasiun televisi swasta. Setelah raganya ia bugarkan, kini Tyas ingin memenuhi pengetahuannya dengan wawasan baru yang ingin ia peroleh dari berita di televisi. Tak butuh waktu terlalu lama bagi Tyas berada di depan televisi. Kemudian, iapun segera mandi untuk membersihkan tubuhnya yang sudah kering dari keringat yang membasahinya setelah berjogging pagi ini.
Hari libur yang cerah dengan cahaya matahari yang memandang tajam pada makhluk bumi, membuat penghuni bumi enggan keluar rumah menunjukkan wajahnya pada sang surya.
Tyaspun menghabiskan waktunya di depan laptop dan menyusun berbagai rencana kerja yang dibutuhkan untuk memajukan perusahaan. Ia ingin sekali menjadikan pusat perbelanjaan itu, sebagai pusat perbelanjaan terbaik di Medan. Hal itu membutuhkan pemikiran yang dapat menghasilkan strategi yang baik untuk bersaing sehat dengan perusahaan lain di bidang yang sama.
Suara mobil terdengar berhenti di depan rumah Tyas yang sedang asyik berkomunikasi dengan laptopnya. Suara yang tidak asing lagi baginya, terdengar memanggil namanya. Ya, suara pria yang bernama Andi memanggil namanya.
“Hei, Ndi. Ada apa?” Tanya Tyas sambil membukakan pintu untuk Andi.
“Kangen aja sama kamu. Makanya aku ke sini.”
“Oh iya, Ndi, kira-kira persiapan untuk promosi Superior Supermarket dapat kita tingkatkan di bulan ini. Apalagi penyambutan tahun baru, terkadang menjadi momen yang baik untuk menarik pengunjung.” Celoteh Tyas mengalihkan pembicaraan Andi.
“Nah, untuk itulah aku ke sini. Aku yakin, kamu sudah menyiapkan berbagai rencana brilliant untuk itu. Sebelum meeting besok, aku rasa ngga ada salahnya kita membahasnya sekarang. Paling tidak, aku bisa mempelajarinya dahulu. Maklumlah, otakku ini agak kecil, jadi sulit nangkap.” Andi berusaha mencairkan suasana, karena ia tak ingin kehadirannya menimbulkan ketidaknyamanan bagi Tyas. Ia yakin jika kehadirannya karena alasan pekerjaan, Tyas akan menyambutnya dengan baik. Karena dia orang yang profesional dalam pekerjannya. Karena itulah perusahaan memberi kepercayaan pada Tyas.
Senin pagi yang cerah, disambut dengan riang oleh Tyas, karena ia telah siap menyambut rapat kerja yang dijadwalkan untuk hari ini dengan segala persiapan yang matang. Tak lupa laptop yang berisi rangkaian program kerja itu, ia tenteng bagaikan sahabat baiknya yang selalu mengikuti setiap langkah kerjanya.
Kondisi jalan yang masih lengang itu membawa Tyas tiba di kantor lebih awal. Ya, pagi ini ia berangkat dari rumah pukul setengah tujuh pagi. Ia tak ingin dilelahkan dengan kondisi jalan raya yang padat jika ia berangkat pukul 7 pagi. Tyas tak ingin lelah itu membuyarkan kesiapannya dalam meeting nanti. Sesampainya di kantor, ia hanya bertemu dengan para cleaning service yang sudah tiba di kantor sejak pukul 6 pagi, karena harus membersihkan dan merapikan seluruh ruangan.
“Pagi, Bu” Sapa salah seorang cleaning service yang bernama Pak Darma.
“Pagi juga, Pak.” jawab Tyas pada karyawan hampir setengah abad itu.
Tyas dikenal sebagai manager yang ramah dan bersahaja dengan para karyawannya. Jabatan, tidak menjadikannya manusia sombong dan arogan.
Tyas memasuki ruang kerjanya yang telah rapi dipoles oleh Pak Darma yang bertugas membersihkan dan merapikan ruang kerjanya.
Saat ia duduk di kursinya dan meletakkan laptop di atas meja, ia melihat sebuah amplop tergeletak di meja kerjanya. Perlahan, ia membuka amplop tanpa nama itu, dan membaca tulisan yang tertulis di selembar kertas di dalamnya.
Putih tak bernoda
Kilap tak tersentuh
Indah tak bertuan
Semua mata memandang takjub
Semua bibir berdecak kagum
Kala kau duduk tersenyum
Tersembunyi di sudut kalbu
Namun tak mampu aku sentuh
Terbayang di sudut mata
Namun tak mampu aku gapai
Bagai mutiara indah
Tergambar manis pribadimu
Bagai dasar palung
Bersemayam tak terjamah
Adakah kau lihat pancaran hatiku
kala aku memandangmu
Adakah kau mengerti isi hatiku
Kala kudendangkan irama cinta
Adakah kau terima
Bila aku nyatakan cinta
Adakah kau setia
Bila aku mendampingimu
Tertegun Tyas memperhatikan kata demi kata yang tertulis. Tak terasa air mata mengalir di pipinya, karena ia telah menilai begitu buruk pada cinta.
“Di hatiku tersimpan cinta yang jauh lebih tulus dan suci untukmu, Tyas.”
“Tyas tak tahu sudah berapa lama Andi memperhatikannya. Yang pasti hati nya kali ini begitu siap menerima kehadiran Andi untuk mengisi kekosongan hatinya. Perasaan yang sebenarnya juga bersemayam dalam hati Tyas, namun selalu ia tepis karena ketakutan yang tak pantas ia takuti. Kebekuan hati yang lama tenggelam dalam arus dingin kekecewaan, akhirnya mencair dalam kehangatan perhatian dan kasih sayang yang dicurahkan Andi.
Akhir tahun ini, saatnya Tyas harus mengakhiri nilai buruk akan cinta. Tiba waktunya untuk mengawali tahun dengan kehidupan baru bersama iringan cinta sejati.