Narasi Tanpa Batas dari Sudut Kelas
Karya: Ummu Zakkiyah
Guru muda itu baru saja menutup laptop hitam kesayangannya setelah bahan ajar untuk mengajar besok telah rampung dikerjakan. Kegiatan hari ini sepertinya cukup melelahkan baginya.
Banyaknya jumlah jam mengajar di sekolah membuat energi dan pikirannya bersinergi lebih intens dari biasanya. Dia menyandarkan tubuhnya ke kursi putih, memutar-mutarkan tubuhnya beberapa derajat sembari menatapku dengan tatapan serius. Entah apa yang sedang ia pikirkan, yang jelas, ada kerutan kecil di dahinya yang semakin membuatnya terlihat “menyedihkan.”
Lamunannya terhenti ketika getaran dari ponsel itu mengalihkan pandangannya dariku. Dagunya ditopangkan di atas tangan kirinya, sementara tangan kanannya asyik mengetikkan sesuatu disana dan terus berkutat tanpa memalingkan wajahnya sedikitpun dari layar ponsel itu.
Selang beberapa menit, ia kemudian pergi meninggalkan ruang guru itu ketika seseorang yang telah ia tunggu menatapnya dari balik pintu kaca yang transparan. Rupanya, ia sudah membuat janji dengan salah seorang muridnya, dan biasanya kalau itu terjadi, ada sesuatu hal yang harus segera
diselesaikannya.
Ini bukan kali pertama. Sejak ia bersedia merangkap sebagai seorang wali kelas, berinteraksi empat mata dengan setiap murid sudah menjadi makanannya sehari-hari. Setiap selesai mengajar, ia sering terlihat sibuk menuliskan hasil pengamatannya di kelas, “jurnal walas” katanya, sebagai pedoman baginya untuk menganalisis kejadian demi kejadian yang terjadi di sekolah. Karena baginya, seorang guru tidak hanya bertanggungjawab terhadap perkembangan belajar muridnya semata, tapi juga moral dan keadaan psikis anak didiknya.
“Kita ke ruangan kepala sekolah aja ya, kebetulan ibu sudah izin tadi ke kepala sekolah karena mau ngobrol sama kamu.”
“Oh baik, Bu.”
***
“Gimana kondisi kamu? Sudah membaik, kah?”
“Alhamdulillah, lumayan, Bu.“
“Alhamdulillah. Kamu sakit apa kalau ibu boleh tau? Sampai gak masuk tiga hari” tanya sang guru muda penasaran.
“Awalnya sakit perut, Bu. Tapi kata dokter itu karena saya stres. Soalnya pas di rontgen di perut saya gak ada apa-apa, Bu. Saya juga bingung makanya.”
“Oh ya? Hmm… ibu kira kamu ada maag, tapi apa yang dokter kamu bilang ada benernya sih. Stres emang bisa bikin kita sakit perut. Lagian masih muda udah stres aja, stres kenapa sih? Ibu pengen tau dong. Cerita bisa kaliiii,” tanya guru muda itu dengan nada menggoda.
Seketika, matanya memancarkan aura kesedihan. Ia berusaha membendung agar air matanya tidak jatuh. Suaranya bergetar, tapi setidaknya ia sudah berusaha untuk menjawab pertanyaan si guru muda semampunya.
“Saya ngerasa sedih aja, Bu, pas saya gak kepilih untuk ikut magang OSIS. Semua temen-teme deket saya pada kepilih. Tapi kenapa saya gak kepilih? Apa saya sebodoh itu, Bu?”
Mungkin bagi sebagian besar orang dewasa, pertanyaan murid seperti itu terkesan sepele. Tapi, coba lihat dari kacamata seorang murid. Kemungkinan pertama, mungkin saja ia merasa hal itu sebagai bentuk penghakiman atas kekurangan dirinya dibanding teman-temannya. Kemungkinan kedua, mungkin ia memang tidak menyadari apa yang harus diperbaiki dari dirinya. Kemungkinan ketiga, ia hanya butuh pengakuan dari lingkungannya bahwa ia mampu untuk setara dengan kualitas teman-temannya.
Guru muda itu mulai menatap serius ke arah Raina, murid kelas 11 IPA dengan kulit sawo matang, yang kini duduk di hadapannya. Tubuhnya tidak gemuk, namun juga tidak kurus. Postur tubuhnya hampir mirip-mirip dengan postur tubuh guru muda itu. Aku bersama cicak yang sejak tadi menyaksikan percakapan mereka berdua sama-sama sepakat, mereka persis seperti pinang dibelah dua. Mata sang guru muda berbinar, menanggapi pertanyaan dari sang murid yang membuat nalurinya tergelitik. Kata-katanya lugas, namun tetap lembut dan penuh arti.
“Raina, dengar ibu ya. Pertama, tidak ada manusia yang bodoh di dunia ini. Yang ada hanyalah orang-orang yang tidak mau mempergunakan kemampuannya dengan maksimal. Kedua, kalau kamu belum terpilih, artinya kamu sedang diberi kesempatan untuk berusaha lebih keras lagi, supaya nanti kalau kamu kepilih jadi pengurus OSIS yang sebenarnya, kamu sudah benar-benar matang dan ready. Ketiga, jadikan kekurangan kamu sebagai batu loncatan untuk kamu bisa memaksimalkan kekurangan kamu. Kamu harus buktikan ke mereka kalau kamu bisa memenuhi syarat untuk jadi pengurus OSIS kedepannya nanti. Nah, keputusannya sebenarnya ada di kamu sendiri. Kamu mau gak menggapai itu semua?“
“Mau, Bu,” jawabnya lirih.
“Good. Kalau begitu, berarti kamu harus siap menghadapi segala tantangan yang ada dan kamu harus bertahan apapun keadaannya. Jangan menyerah, karena kegagalan sejatinya adalah keberhasilan yang tertunda. Masih ada waktu untuk kamu mempersiapkan diri jadi calon pengurus OSIS meskipun kamu tidak ikut magang OSIS. Ketua OSIS nanti yang terpilih pasti akan menyeleksi ulang anggota-anggotanya sesuai kemampuan yang dimiliki masing-masing. Kamu siap untuk berusaha lebih keras lagi dari biasanya gak? Kamu siap gak untuk lebih capek dari sebelumnya?” kali ini nada guru muda itu sedikit membara, menggelorakan seisi ruangan yang sejak tadi menjadi saksi bisu pembicaraan antara wali kelas dan anak didiknya itu.
“Saya siap, Bu. Tapi, apa mungkin saya bisa kepilih jadi pengurus OSIS, Bu?” tatapannya nanar.
“Kalau ibu aja yakin sama kamu, kenapa kamu enggak, ya kan?”
Air mata itu tak berbendung. Deras. Tapi kali ini diiringi dengan semangat baru, penuh dengan energi positif dan secercah harapan yang digantungkan bersama puing-puing mimpi yang berusaha ia rajut kembali. Senyum kebahagiaan merekah dari wajahnya, dan pemandangan seperti itu sungguh tak terbayarkan oleh apapun. Ikatan batin yang semakin kuat antara sang guru dengan muridnya, melahirkan kepercayaan dan semangat yang luar biasa. Guru muda itu memeluk hangat tubuh Raina, sambil menepuk-nepuk halus pundaknya untuk memberikan dukungan dan keyakinan yang bisa ia berikan semampunya.
“Terima kasih banyak, Bu. Saya gak tau harus ngomong apa ke ibu. Yang jelas, saya akan buktikan bu kalau saya mampu jadi pengurus OSIS nanti.”
“Sama-sama , Raina. Tetap semangat,ya. Ibu tunggu cerita kesuksesan kamu suatu saat nanti. Ingat, kesuksesan bukan diukur dari cepat atau lambatnya. Yang terpenting adalah proses kamu bisa melewati ini semua dan mengambil pelajaran dari setiap kagagalan,oke?”
“Siap, Bu.”
Adzan ashar bergema dari masjid yang berada persis di belakang sekolah, seolah memberkahi pertemuan yang hangat kala itu, persis ketika sang guru muda sedang melambaikan tangan dan senyuman kepada Raina yang perlahan mulai terbenam dari pandangannya. Sang guru muda kemudian mematikan AC sambil merapihkan kembali tatanan bangku yang ada di ruang kepala sekolah yang disinggahinya itu. Kemudian, ia bergegas menuju ruang guru kembali untuk mengambil barang bawannya sekaligus meninggalkan ruangan itu dengan semangat dan harapan baru akan hari esok tentang murid-muridnya.
***
Hari ini hari jumat, tepat satu minggu berlalu setelah pertemuan guru muda itu dengan muridnya, Raina. Rupanya, pertemuan di ruang kepala sekolah kala itu masih sangat membekas bagi sang guru muda. Ia masih mereka ulang kejadian itu dalam lamunannya, sambil bertanya-tanya apakah anak didiknya itu baik-baik saja atau tidak setelahnya. Bekerja di hari jumat adalah hari yang sangat menyenangkan. Hari jumat adalah hari dimana ia bertugas menjadi guru piket tanpa ada jam ngajar sedikitpun. Karena itu, ia memiliki banyak waktu luang untuk menambah skill dan wawasannya melalui kegiatan membaca dan menulis. Selain itu, ia juga aktif mengikuti seminar atau pelatihan online yang berkaitan dengan pengembangan diri. Mungkin karena itulah, ia sangat menikmati perannya sebagai guru sekaligus motivator bagi anak didiknya saat ini.
Pagi itu, Raina sedang memimpin diskusi dengan teman-temannya, ketika sang guru muda tanpa sengaja melihatnya saat tengah berkeliling untuk mengecek murid yang tidak hadir di kelas.
Guru muda itu terkesima. Tatapannya tak kunjung beranjak dari sosok murid yang minggu lalu ia temui masih terlihat murung dan merasa rendah diri itu. Mata sang murid berapi-api. Semangatnya menggelora, suaranya lantang dan penuh percaya diri. Aura positif yang terpancar dari wajahnya, memberikan energi kebahagiaan bagi siapa pun yang melihatnya.
Guru muda itu tersenyum simpul. Matanya berkaca-kaca. Ia tak pernah membayangkan perubahan besar yang terjadi pada anak didiknya. Ia selalu percaya, kekuatan narasi seorang guru adalah senjata ampuh untuk memotivasi setiap murid yang memiliki masalah. Percaya atau tidak, suka tidak suka, amunisi terbesar seorang guru terletak dari kemampuannya dalam mengolah untaian kata untuk membentuk bulir motivasi dan alunan pesan yang dikemas dalam melodi kehidupan.
Dengan kemampuan public speaking yang terasah dengan baik, guru tidak hanya mampu menyampaikan konsep dalam materi pembelajarannya, namun juga bisa menjadi motivator ulung bagi anak didiknya, sehingga hal itu dapat memunculkan kenyamanan antara guru dan murid dengan sendirinya. Dan jika hal itu sudah terjadi, bersiaplah untuk mendapat gelar kehormatan dengan predikat “guru idola” yang diberikan oleh anak-anak. Dan ketika sudah berada di atas podium, banyak-banyaklah bersyukur, karena tidak semua guru bisa merasakannya.
Faktanya, guru hanyalah sebuah prasasti yang sarat akan intuisi dan pengabdian. Karena sejatinya, setiap guru akan tetap menjadi sebuah narasi tanpa batas, yang terkenang dari sudut-sudut kelas, yang akan ditinggalkan oleh murid-muridnya kelak, demi mengarungi lautan masa depan.