Di sebuah kota kecil di lereng Gunung Muria, berdirilah sebuah sekolah menengah atas yang sederhana namun penuh semangat. SMA Bina Cendekia namanya. Gedungnya mungkin tak megah, dindingnya sedikit mengelupas, tapi dari balik jendela-jendela tuanya, ada mimpi-mimpi besar yang diam-diam tumbuh.
Pak Rimatsum, guru mata pelajaran Seni budaya, dikenal sebagai sosok tenang dan penuh perhatian. Ia bukan tipe pengajar yang suka membentak atau menekan. Ia lebih suka menjadi pendengar dan pembimbing. Apalagi saat mendekati asesmen sumatif akhir tahun, ia mulai gelisah melihat nilai ulangan para siswa yang tidak memuaskan.
“Aku tidak ingin ada yang tinggal kelas hanya karena kurang persiapan,” ucapnya lirih di ruang guru.
Maka dibuatlah latihan soal dalam bentuk kuis Google Form, berisi soal-soal yang sangat mirip dengan materi yang akan keluar di asesmen nanti. Tidak hanya itu, Pak Rimatsum membuat pengaturannya agar soal bisa diulang-ulang sampai siswa mendapatkan nilai sempurna. Bagi yang bersungguh-sungguh, ini adalah kesempatan emas. Ia bahkan menambahkan umpan balik di tiap soal: jika salah, akan muncul penjelasan mengapa jawabannya begitu.
“Silakan kalian kerjakan berkali-kali sampai dapat nilai 100. Ini bukan untuk saya, tapi untuk kalian sendiri,” jelasnya di kelas sambil membagikan tautan di grup WhatsApp.
Awalnya, hanya segelintir siswa yang tampak antusias. Salsa dan Radit, misalnya, langsung mencoba malam itu. Mereka terkejut betapa kuis itu benar-benar membantu mereka memahami materi yang sebelumnya membingungkan.
Namun, di sisi lain, ada sebagian siswa yang lain bersikap sebaliknya. Beberapa hanya membuka tautan sekali, menjawab asal, lalu menutupnya. Yang lain bahkan sama sekali tak menyentuhnya.
“Ah, males. Soalnya banyak, mana harus ulang-ulang. Capek, Bu!” kata Yoga pada temannya, seolah lupa bahwa ia belum lulus kompetensi dasar sebelumnya.
Ada juga yang mengerjakan dengan wajah terpaksa. Misalnya Lila, yang hanya mengisi karena ibunya mewajibkan.
“Pak Rimatsum tuh terlalu idealis. Kita kan juga banyak tugas lain!” gerutunya.
Hingga akhirnya, hari ujian tiba. Hasilnya? Siswa yang rajin mengulang kuis di Google Form sebagian besar meraih nilai baik, bahkan sangat baik. Salsa menangis haru saat tahu nilainya sempurna. Radit yang biasanya cuek, kini tersenyum bangga.
Sebaliknya, mereka yang mengabaikan latihan mulai panik. Beberapa bahkan tak percaya melihat angka merah di kertas mereka.
Di ruang guru, Pak Rimatsum duduk menatap layar laptop. Ia menarik napas panjang.
“Aku hanya ingin membantu,” bisiknya pada diri sendiri.
Ia tak marah. Ia tahu bahwa niat baik tak selalu dipahami, apalagi jika belum semua siswa belajar untuk menghargai proses. Tapi ia percaya, suatu hari nanti, mereka akan mengerti bahwa kuis itu bukan sekadar tugas, melainkan jembatan kecil menuju keberhasilan mereka sendiri.
Dan di lereng Gunung Muria yang sejuk itu, kisah tentang seorang guru yang peduli terus bergaung di lorong-lorong sekolah kecil itu — meski kadang, gaung itu hanya terdengar oleh hati-hati yang siap mendengar.