Pak Agus dan Metode Mengajarnya

Di sebuah sekolah swasta elit dan mahal, suasana pagi diwarnai oleh deru kendaraan

yang berlalu-lalang di jalan utama. Sekolah ini terkenal karena fasilitas lengkap dan

standar seragam yang necis. Di balik gerbang tinggi dan pagar yang bersih, terdapat

sebuah kelas IPA yang menuntut kedisiplinan serta kreativitas anak-anak. Di sanalah

Pak Guru Agus mengajar, sosok yang selalu tampil rapi dengan setelan jas berwarna

netral dan dasi yang sempurna, mencerminkan dirinya yang cerdas dan

berpengalaman. Ia lulusan universitas negeri terkenal di Jakarta, seorang yang sangat

dihormati dan dikenal karena dedikasinya dalam mengajar serta mengemban tugas

sebagai pendidik sekaligus pembentuk karakter.

Hari itu, Pak Guru Agus sedang mempersiapkan proyek pembelajaran IPA yang telah

direncanakan jauh-jauh hari. Ia ingin anak-anak tidak hanya belajar teori di dalam buku,

tetapi juga menerapkannya secara langsung melalui praktek. Ia telah menginformasikan

kepada orang tua siswa bahwa setiap anak harus membawa peralatan praktikum dari

rumah, seperti botol bekas, sedotan, kertas gambar, dan alat-alat kecil lainnya.

Pengumuman ini sudah disampaikan di grup WhatsApp kelas, melalui surat tertulis, dan

juga diulang di kelas. Ia berharap semua orang tua memahami pentingnya kegiatan ini

sebagai bagian dari proses belajar yang menyenangkan dan mendorong kreativitas

anak.Namun, kenyataannya tidak selalu sesuai harapan. Saat hari pelaksanaan tiba, banyak

anak datang tanpa perlengkapan yang dibutuhkan. Ada yang terlihat terburu-buru dan

membawa sedikit barang, namun lebih banyak lagi yang tidak membawa apapun. Saat

Pak Guru Agus menjelaskan bahwa mereka harus menyiapkan alat praktikum sendiri,

ia melihat ekspresi kecewa dan bingung di wajah anak-anak. “Pak, ini alat yang saya

bawa. Maaf, saya lupa memberi tahu mama dan papa sebelumnya.” Beberapa anak-

anak mendakati pa kagus. Ia tahu, banyak orang tua yang lupa, tidak sempat, atau

tidak membaca grup, dan ada pula yang tetap beralasan tidak ada uang untuk membeli

alat baru. “Tak apa, nak. Yang penting kamu sudah membawa alatnya. Tapi ingat, ke

depannya harus lebih disiplin ya, supaya tidak lupa lagi. Kita semua belajar dari

kejadian ini.” Ujar pa kagus kemudian. “Iya, Pak. Saya janji akan lebih ingat lagi dan

lebih bertanggung jawab dengan tugas-tugas yang diberikan.

” Ujar salahsatu siswa

Melihat keadaan itu, hati Pak Guru Agus mulai tergerak. Sebagai pendidik, ia merasa

bertanggung jawab tidak hanya mengajar ilmu pengetahuan, tetapi juga mendidik

karakter dan memperlihatkan sikap berbagi. Sambil tersenyum, ia memutuskan untuk

bertindak. Ia meminta maaf kepada anak-anak dan mulai membuka tasnya. Dari sana,

ia mengeluarkan beberapa alat dan bahan yang ia miliki, seperti botol bekas dan

sedotan yang sudah ia siapkan sejak seminggu lalu. Ia pun meminta bantuan kepada

teman-teman sekelas untuk berbagi perlengkapan, agar semua anak tetap dapat

mengikuti kegiatan walau tidak semuanya membawa perlengkapan sendiri.

Tak hanya itu, dengan uang pribadinya, Pak Guru Agus membeli beberapa alat yang

masih kurang dari toko perlengkapan sekolah yang berdekatan. Ia merasa tindakan ini

penting agar pelajaran tidak terhenti, dan anak-anak tetap dapat belajar sambil

menikmati prosesnya. Sambil membantu anak-anak menyiapkan praktek, ia

menyisipkan pesan moral tentang pentingnya tanggung jawab, berbagi, dan saling

membantu. Ia mengingatkan mereka bahwa sekolah bukan hanya tempat untuk

mendapatkan nilai, tetapi juga tempat membangun karakter dan kepribadian. “Bu,

terima kasih sebelumnya atas kepercayaannya. Hari ini, ada beberapa anak yang lupa

membawa perlengkapan. Tapi saya dan teman-teman berusaha membantu mereka

agar tetap bisa mengikuti kegiatan. Kami ingin menanamkan nilai tanggung jawab dan

saling sharing pada anak-anak.” Ujar pak agus didepan kelas saat beberapa orang tua

ada yang datang saat menjemput anaknya pulang

Beberapa orang tua yang melihat tindakan Pak Guru Agus pun mulai tersentuh. Ada

yang mengaku lupa, ada yang berjanji akan lebih disiplin ke depannya. “Oh, maaf, Pak.

Saya memang sering lupa memberi tahu dari rumah ataupun lupa membaca grup. Saya

akan coba lebih perhatian lagi, supaya anak-anak tidak selalu bergantung sama guru.”

Ujar beberapa orang tua. “Saya paham, Bu. Memang tantangan kita bersama. Yang

penting, kita selalu berkomunikasi agar anak-anak bisa belajar bertanggung jawab dan

memiliki karakter yang baik. Sekolah di sini bukan hanya untuk pintar, tapi juga untuk

menanamkan moral dan kepribadian mereka.” Ucap pak agus. “Terima kasih, Pak Guru.

Saya sangat menghargai semua usaha Bapak. Semoga anak-anak kita bisa menjadi

pribadi yang baik dan bertanggung jawab.” Ujar oaring tua yang menyadari

kesalahannya. Tapi tidak sedikit juga yang tetap melontarkan kritik atau menyalahkan

guru karena dianggap terlalu repot dan tidak cukup mengandalkan mereka. Ada yangberpendapat bahwa guru harusnya tidak repot-repot dan hanya fokus mengajar materi

saja, tanpa harus campur tangan soal perlengkapan.

Namun, Pak Guru Agus tetap tenang. Ia sadar bahwa tugas guru tidak hanya sebatas

menyampaikan ilmu. Mereka yang memilih profesi ini harus ikhlas menjalani tantangan,

mengemban amanah mendidik anak-anak menjadi pribadi yang berbudi pekerti luhur

dan siap menghadapi kehidupan nyata. Ia percaya bahwa tindakan kecil seperti

menyiapkan alat praktikum bersama anak-anak adalah bagian dari proses

menanamkan nilai-nilai kebaikan dan kejujuran.

Hari itu, suasana kelas berubah menjadi penuh semangat dan kebersamaan. Anak-

anak belajar bahwa kegagalan dan kekurangan bukanlah hal yang mematikan,

melainkan pelajaran berharga. Mereka melihat bahwa guru mereka tidak hanya

mengajarkan teori, tetapi juga memberikan contoh nyata tentang caring dan sharing.

Anak-anak mulai mengerti, bahwa dalam proses belajar, keberhasilan bukan semata-

mata tergantung alat penunjang, tetapi juga sikap dan hati mereka.

Seiring waktu, pandangan orang tua terhadap guru semakin positif. Mereka mulai

menyadari bahwa seorang guru sejati tidak hanya berperan sebagai pengajar, tetapi

juga pembimbing dan panutan moral. Tugas mulia itu memang hanya mampu diemban

oleh orang-orang pilihan—mereka yang ikhlas, peduli, dan selalu berusaha memberikan

yang terbaik untuk anak-anak didiknya

Tagar:

Bagikan postingan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *