Papan Tulis Bu Iin

Hari itu Senin pagi. Udara masih terasa panas usai seluruh murid di SMP Generasi Bangsa selesai melaksanakan upacara. Di kelas IX-C, suara gaduh jadi musik latar rutin. Di pojok kanan belakang, Rian dan Nauval main suit kertas. Sementara Naomi terlihat sibuk mencorat-coret halaman belakang buku tulis.

Pintu terbuka. Bu Iin masuk dengan senyum kecil sambil membawa selembar kertas dan spidol. Kelas langsung tenang.

“Beri salam!” Teriak Rian mengomando teman-teman sekelasnya.

“Selamat pagi, Buuuuu…!” Jawab murid kelas IX-C kompak.

“Selamat pagi, anak-anak,” balas Bu Iin.

“Pagi ini kita akan langsung berkreasi ya. Saya ingin kalian menulis satu paragraf teks argumentasi dengan tema, “Mengapa saya harus mengejar cita-cita?”

“Baru masuk udah disuruh nulis aja, Bu…” Rizky memonyongkan bibir.

“Nggak boleh ada penolakan ‘karena disuruh guru’, ya,” sambung Bu Iin dengan nada bercanda.

Beberapa murid langsung nyengir. Tapi sebagian langsung membuka buku tulisnya dan mulai menulis. Natali menunduk serius, menulis cepat. Hilal tampak berpikir keras. Rian? Ia hanya memutar bolpen di jarinya.

“Sepuluh menit lagi, ya,” ucap Bu Iin setelah dua puluh lima menit berlalu.

 

Setelah semua tulisan dikumpulkan, Bu Iin tak langsung membacanya. Ia menulis sesuatu di papan tulis, “Cita-cita tidak datang kepada mereka yang diam. Ia datang pada mereka yang bergerak.”

“Generasi kalian sering disebut generasi rebahan. Tapi Ibu tidak percaya itu. Kalian generasi yang bisa melompat lebih jauh dari siapa pun—asal kalian tahu apa yang sedang kalian kejar.”

Kelas mulai hening.

“Cita-cita bukan cuma angan. Cita-cita itu tujuan. Kalau kalian belum tahu, mulai cari dari sekarang. Kalau kalian sudah tahu, mulai perjuangkan. Sekarang. Bukan nanti.” Bu Iin melanjutkan kalimatnya sambil mulai mengecek struktur kebahasaan tulisan murid-muridnya.

 

Keesokan harinya, suasana kelas berbeda. Saat pelajaran Bahasa Indonesia berlangsung, murid-murid terlihat lebih antusias. Bahkan Rian, yang biasanya sibuk menguap, kali ini membuka buku.

Di akhir pelajaran, Bu Iin mendekati bangkunya, “Rian, nanti temui Ibu di ruang guru, ya.”

 

Selesai jam, Rian datang dengan langkah ragu menuju meja Bu Iin.

“Ibu cuma ingin ngobrol, bukan marah,” kata Bu Iin menenangkan.

“Silakan kamu ambil kursi di sebrang meja Ibu itu untuk kamu duduk.” Tunjuk Bu Iin pada sebuah kursi yang berada di belakang Rian berdiri.

“Saya… kenapa ya Bu?” Rian ragu-ragu menunjuk dirinya sebelum menjatuhkan pantatnya ke sebuah kursi yang usai dia angkat dan letakkan di depan meja gurunya tersebut.

“Kamu tampak tidak seperti biasanya akhir-akhir ini. Ibu sedikit khawatir melihat perubahanmu.”

Rian menunduk. “Ayah saya baru di-PHK, Bu. Sekarang saya bantu ibu jualan penyetan kalau malam hari. Kadang ngantuk pas pagi. Belajar jadi susah.”

Ada jeda.

Lalu ia berkata lirih, “Tapi saya pengen banget jadi teknisi komputer. Dulu pernah benerin laptop tetangga, seneng banget rasanya.”

Mata Bu Iin melembut. “Rian, itu mimpi yang bagus dan alasan kamu cukup kuat untuk kamu kejar. Jangan biarkan keadaan menahan kamu.”

Rian mengangkat kepala.

“Kamu punya cerita. Cerita itu bisa jadi kekuatan. Tulis. Suarakan. Jangan simpan sendiri. Dunia perlu tahu perjuanganmu.”

 

Beberapa hari kemudian, tugas menulis teks argumentasi murid dikembalikan oleh Bu Iin. Di sana, ada catatan pribadi Bu Iin di tiap lembar.

Untuk Natali, “Kamu menulis karena kamu ingin jadi dokter dan membantu orang. Itulah argumen paling kuat: empati.”

Untuk Bara, “Kalau kamu ingin jadi pengusaha, tunjukkan bahwa kamu bisa membangun gagasan sebaik kamu ingin membangun usaha.”

Untuk Rian, “Kamu menulis dengan jujur, dari hati. Itu yang membuat tulisanmu hidup. Kamu bukan hanya belajar menulis, kamu sedang menulis masa depanmu.”

Rian membaca catatan gurunya itu tiga kali. Ia menggigit bibir, lalu tersenyum kecil. Pertama kalinya setelah berminggu-minggu memendam perasaan akhirnya ia semangat lagi.

 

 

Dua minggu kemudian, kelas IX-C mengadakan pameran mini yang diberi judul “Mimpi Kami, Logika Kami”. Semua tulisan ditampilkan bersama gambar cita-cita dan langkah mencapainya dalam bentuk mind mapping.

“Aku jadi pengen beneran daftar kursus desain grafis,” celetuk Abiyu sambil menatap tulisannya sendiri.

“Kalau aku sih baru nyadar ternyata mimpiku bisa ditulis sedetail ini,” sahut Panji.

 

Sementara itu, para guru dan murid dari kelas lain mengelilingi ruangan kelas IX-C. Kepala Sekolah bahkan berkomentar, “Ini bukan pameran biasa. Ini ruang di mana anak-anak mulai menulis masa depannya sendiri.”

 

Rian berdiri di depan tulisannya. Ia menjelaskan kepada beberapa murid yang bertanya.

“Aku nulis ini karena aku percaya, walaupun aku bantuin jualan penyetan di malam hari, aku nggak akan berhenti belajar. Aku pengen bantu banyak orang suatu hari nanti lewat teknologi.”

Beberapa murid yang mendengarkan terdiam, terinspirasi. Salah satu murid kelas VIII bahkan bertanya, “Kak, kalo aku belum tahu cita-citaku, boleh nggak nulis juga kayak gini?”

“Boleh banget. Justru itu cara terbaik untuk mulai mengenal diri sendiri,” jawab Rian mantap.

Di pojok ruangan, Bu Iin mengamati semuanya. Senyum tak lepas dari wajahnya.

 

Hari Senin berikutnya, di papan tulis tertulis kalimat baru, “Kalian bukan generasi yang hilang. Kalian adalah generasi yang sedang mencari arah — dan saya percaya, kalian akan menemukannya.”

Di bawahnya, tambahan tulisan kecil, “Dan ketika kalian menemukannya, jangan takut untuk berlari ke arahnya.”

Hari itu, tak ada yang merasa hari Senin membosankan. Murid-murid tak hanya belajar Bahasa Indonesia. Mereka sedang belajar memahami hidup, membangun tekad, dan menata arah.

Karena sesungguhnya, tugas seorang guru bukan hanya mengajar. Tapi menyalakan obor kecil di hati murid-muridnya. Dan hari itu, obor itu mulai menyala—satu per satu.

 

Untuk murid-murid di seluruh negeri,

teruslah menulis dan membaca,

Karena dari sana, kalian belajar mengenal dunia

dan mengenal diri kalian sendiri.

Tagar:

Bagikan postingan

satu Respon

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *