Pendidikan Karakter: Retorika Manis Tanpa Aksi Nyata?

Pendidikan karakter merupakan bagian penting dalam berlangsungnya sistem pendidikan di Indonesia. Seringkali kita di suguhkan dengan kopi manis pendidikan yang menghangatkan tubuh. Tidak hanya sekali dua kali, namun berkelanjutan. Kopi tersebut memberikan rasa manis, namun sesekali memberikan pahit yang mendalam. Coba kita bayangkan dalam 10 tahun terakhir pendidikan di Indonesia, sudahkah siap dan matang dalam mengemas kurikulumnya? atau sering berganti konsep yang menjadikan pelaku pendidikan tidak siap mengimplementasikannya. Sesuai dengan Peraturan Menteri Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi Nomor 12 Tahun 2024 diberlakukan adanya Kurikulum Merdeka yang didalamnya menekankan pada proses dan ketercapaian karakter siswa. Karakter yang dimaksud adalah Profil Pelajar Pancasila (P3) yang saat ini diteruskan dan dikembangkan melalui pembelajaran dengan konsep Deep Learning. Pembelajaran Deep Learning memiliki arti sebagai proses belajar yang menghubungkan pengetahuan kognitif dengan pemahaman bermakna sehingga mampu di terapkan dalam kehidupan nyata. Jika kita berkunjung ke sekolah-sekolah baik negeri maupun swasta kerap kita jumpai spanduk atau poster yang berisikan anjuran dan ajakan untuk menanamkan pendidikan karakter. Spanduk bertuliskan “jujur”, “tanggung jawab”, “disiplin”, serta afirmasi positif lain untuk setiap orang yang melihatnya. Namun, apakah hal tersebut benar-benar telah terintegrasi dengan perilaku warga sekolah yang ada, terutama siswa? atau hanya tulisan belaka.

Karakter Bukan Rumus Matematika
Thomas Lickona yang merupakan pakar karakter menjelaskan bahwa karakter merupakan proses belajar seseorang dan kemampuan tersebut akan menjadi penentu tingkat keberhasilannya. Mengacu dari pendapat tersebut dapat kita lihat bahwa karakter antara satu orang dengan yang lain memiliki kapasitas dan kualitas masing-masing serta menentukan berjalannya kehidupan. Karakter bersifat kualitatif, yang artinya tidak selalu dibuktikan dengan angka. Tidak pula seperti matematika yang memiliki rumus pasti dalam menyelesaikan jawabannya. Karakter tidak bisa tumbuh melalui uraian atau soal pilihan ganda. Sebagai contoh guru mengajarkan dua ditambah dua sama dengan empat atau enam belas dibagi dua sama dengan delapan. Lebih dari itu, karakter harus dibentuk melalui internalisasi kebiasaan, keteladanan, dan lingkungan. Namun sayangnya, masih ditemukan dalam dunia pendidikan bahwa karakter di transfer seperti matematika yakni diajarkan dihafalkan dan diujikan. Penilaian karakter masih dilaksanakan dengan data-data yang bisa direkayasa. Saat ini pendidikan di Indonesia memberlakukan adanya survei karakter di setiap tahun ajaran guna mengetahui kualitas pendidikan di suatu instansi. Penilaian tersebut tidak menutup kemungkinan dapat memberi kesempatan siswa untuk mempersiapkan jawaban agar nilai bagus. Pendidikan karakter bukan sesuatu yang mekanis. Pembentukannya butuh proses yang konsisten dan berkelanjutan dari adanya pengalaman, refleksi ataupun lingkungan yang mendukung. Jika lingkungan hanya menekankan pada pemberian kognisi saja tanpa memperhatikan afektif maupun psikomotorik, maka karakter akan sulit terbentuk.

Pendidikan Karakter Bukan Hanya Membentuk Moral, Tapi Juga Mental
Moral dan mental sangat berkaitan erat dalam pendidikan karakter. Moral merujuk pada nilai suatu sikap baik dan buruk, sementara mental merujuk pada kekuatan jiwa untuk menghadapi situasi atau kenyataan. Seseorang yang bermoral tahu apa yang harus dilakukan, namun belum tentu tahu apa yang harus dihadap. Kaitannya dengan seorang siswa adalah jika mereka di sekolah diajarkan bagaimana sikap jujur, integritas, bernalar kritis, bergotong royong, mandiri dari segi konsepnya, maka siswa akan paham mana yang harus dilakukan dan di hindari. Siswa yang jujur akan mendapat perlakuan baik dari temannya, siswa yang pandai akan disenangi teman dan gurunya. Namun pernahkah kita menilik pendidikan karakter kita, apakah sudah menanamkan belajar mental jika dihadapkan situasi yang tidak diharapkan. Banyak pendidikan karakter di sekitar kita, tidak hanya disekolah namun di lingkungan rumah dan masyarakat yang terlalu lembut dan steril dari kerasnya realita. Siswa diajarkan untuk bersikap sopan dan santun, namun tidak dibekali kebijaksanaan sikap jika ia dihadapkan oleh bentakan dan ketidaksopanan orang lain. Siswa diajarkan menghormati orang lain, namun tidak dengan kesiapan mental untuk menghormati diri sendiri. Siswa juga diajarkan untuk berprestasi dan berbudi pekerti, namun sering lupa diajarkan langkah menghadapi kegagalan. Oleh karena itu, penting sekali menanamkan pendidikan karakter yang diimbangi dengan pemahaman bahwa karakter yang baik harus terintegrasi antara moral dan mental.

Ubah Sekolah Menjadi “Kampung Mini”
Acapkali seorang guru tidak bisa bertarung melawan globalisasi zaman, tidak bisa lepas dari derasnya arus pendidikan yang mencekam. Sekolah harus siap bertransformasi menciptakan suasana lingkungan belajar yang tidak sekedar bertukar ilmu. Lebih dari itu, sekolah sudah seyogyanya mengintegrasikan konsep “Kampung Mini“ sebagai aksi nyata penanaman pendidikan karakter. Sekolah diharapkan menanggalkan wajah lamanya yang kaku dan konvensional dengan mempertemukan nilai-nilai kehidupan nyata. Melalui praktik dan kebiasaan sederhana untuk menghidupkan kembali nilai gotong royong yang nyaris hilang, memperkenalkan musyawarah sebagai budaya harian serta menumbuhkan empati dari proyek-proyek kecil. Konsep kampung mini ini tidak hanya menjadikan guru sebagai sentral pelaksana pembiasaan, namun juga melibatkan siswa sebagai bagian aktif untuk saling menguatkan karakter satu sama lain. Sekolah harus memiliki visi misi yang terarah agar terbangun komitmen bahwa karakter bukan sekedar tanggung jawab guru, melainkan perjalanan dan pondasi siswa yang harus mereka kuatkan. Hasil yang didapatkan nantinya mungkin tidak langsung sempurna, namun paling tidak akan tumbuh benih yang bergerak. Cepat ataupun lambat, jika aksi nyata tersebut dilaksanakan secara konsisten dan komitmen yang maksimal, maka pendidikan karakter bukan lagi sebagai slogan melainkan hasil tujuan dan harapan.

Pendidikan Karakter Bukan Hanya Tugas Sekolah Melainkan Kolaborasi
Pendidikan karakter bukan hanya proyek sesaat, ia tumbuh dan berkembang dengan baik melalui proses yang panjang. Tentunya diperlukan kolaborasi antara lingkungan sekolah, lingkungan keluarga, maupun lingkungan masyarakat. Jika kita ibaratkan, pendidikan karakter sama halnya membangun sebuah rumah. Diperlukan adanya pemilik rumah, arsitek, tukang bangunan, pondasi, maupun tetangga sekitar rumah. Orang tua adalah pemilik rumah yang membutuhkan bantuan arsitek, tukang bangunan, sebuah pondasi, atap dan pernak-pernik lainnya. Arsitek inilah yang mewakili seorang guru atau lingkungan sekolah. Jika pondasi dan desain yang dibuat kokoh dan indah, maka pemilik rumah juga akan puas. Namun sebaliknya, jika pondasi maupun desain rumah kurang bagus maka pemilik rumah juga tidak nyaman menempatinya. Pemilik rumah ini pula harus siap memperindah seisi rumah untuk menciptakan ketenangan yang diharapkan. Lantas bagaimana peran selanjutnya dari tetangga. Tetangga bertanggungjawab untuk memberikan keamanan dan kenyamanan dari gangguan luar dan hal-hal yang merusak rumah tersebut. Melalui kolaborasi yang nyata, pendidikan karakter tidak hanya sebagai slogan semata, namun menjadi nilai yang terkandung dalam setiap langkah kehidupan. Dimulai dari hal sederhana menjadi sesuatu yang berdampak pada semua linimasa.

Tagar:

Bagikan postingan

5 Responses

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *