Pendidikan Karakter – Tanggung Jawab Bersama, Bukan Hanya Tugas Guru di Sekolah

Di era perkembangan zaman yang semakin pesat dan teknologi yang semakin canggih, penulis melihat banyak perubahan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat, termasuk dalam dunia pendidikan. Teknologi yang semakin canggih dan kemudahan memperoleh informasi seharusnya menjadi peluang untuk memperbaiki mutu pendidikan bangsa ini. Namun pada kenyataan yang terlihat, kemajuan tersebut justru menimbulkan masalah baru yang semakin kompleks.

Di tengah derasnya kemajuan teknologi, penulis merasa bahwa pendidikan karakter menjadi semakin relevan dan penting untuk kita perjuangkan bersama. Periode komputerisasi memang menawarkan berbagai kemudahan, mulai dari akses informasi tanpa batas, konektivitas di seluruh dunia, hingga inovasi dalam pembelajaran. Namun, perlu diketahui bahwa kemajuan ini juga membawa tantangan baru, terutama dalam hal pembentukan karakter generasi muda, khususnya anak-anak yang ada di jenjang sekolah dasar ataupun madrasah.

Tidak sulit untuk menemukan anak-anak usia dini yang sudah akrab dengan berbagai gawai canggih. Gadget menjadi teman sehari-hari mereka, bahkan kadang lebih dekat dibandingkan dengan orang tua atau guru. Di satu sisi, hal ini menunjukkan bahwa anak-anak kita memiliki kemampuan adaptasi terhadap teknologi yang luar biasa. Namun di sisi lain, ketergantungan pada gadget dan tidak disertai dengan pengawasan serta pendampingan justru membawa dampak negatif yang memengaruhi karakter dan kebiasaan mereka.

Selama ini penulis bisa melihat minat membaca anak-anak menurun drastis, dan yang lebih memprihatinkan adalah muncul sikap kurang hormat terhadap guru mereka di sekolah. Selain itu, anak-anak sering lebih cepat bosan dalam pembelajaran, sulit berkonsentrasi, bahkan menunjukkan perilaku yang kurang sopan dalam proses belajar-mengajar. Bahkan tidak sedikit siswa yang enggan mendengarkan penjelasan guru, sulit diarahkan, dan menunjukkan perilaku agresif. Ketika hal ini terjadi, Guru seringkali menjadi pihak yang disalahkan. Mereka dianggap gagal mendidik, dianggap tidak becus membimbing, disalahkan ketika ada siswa yang belum bisa membaca atau menulis dengan baik, bahkan memperlihatkan perilaku kurang baik di sekolah.

Padahal, jika kita ingin bersikap adil, pendidikan karakter sejatinya tidak bisa hanya dibebankan kepada lembaga sekolah/madrasah saja. Tanggung jawab utama dalam mendidik anak tetap berada di tangan keluarga, terutama orang tua mereka. Rumah adalah madrasah pertama bagi anak, dan orang tua adalah guru pertamanya. Nilai-nilai seperti kejujuran, tanggung jawab, kesopanan, dan kerja keras seharusnya diperkenalkan sejak dini dalam lingkungan keluarga mereka. Ketika anak-anak tidak mendapatkan pondasi itu di rumah, maka madrasah akan kesulitan melanjutkan pembinaan.

Dalam sebuah kutipan, Ki Hajar Dewantara mengatakan bahwa, “Setiap orang menjadi guru, setiap rumah menjadi sekolah.” Maka dengan ini kita semua perlu menyadari bahwa pendidikan adalah tanggung jawab bersama, bukan hanya mengandalkan guru di sekolah semata. Tetapi juga lingkungan keluarga dan masyarakat harus turut serta dalam membentuk karakter anak.

Sayangnya, hingga saat ini penulis menemukan bahwa masih banyak orang tua yang kurang menyadari pentingnya keterlibatan mereka untuk berperan aktif dalam pendidikan anak. Beberapa bahkan tampak menyerahkan seluruh urusan pendidikan kepada sekolah, seolah-olah guru harus menjadi segalanya: pengajar, pembimbing, pengasuh, bahkan pendisiplin. Yang lebih ironis, banyak orang tua membebaskan anak-anaknya menggunakan gadget tanpa batasan waktu, tanpa arahan, tanpa kontrol isi dan tanpa pendampingan apa pun. Akibatnya, anak-anak terpapar berbagai konten yang belum tentu sesuai dengan usia mereka, hingga secara perlahan karakter mereka pun dibentuk oleh dunia digital yang sering kali tanpa nilai.

Sementara itu, para guru di lembaga pendidikan justru menghadapi beban yang semakin besar, bukan hanya mengajar, tetapi juga membentuk karakter siswa di tengah krisis perhatian dan kedisiplinan. Padahal jika dipikirkan lebih saksama, tanpa kerja sama yang baik antara pihak sekolah dan orang tua, upaya ini akan sulit membuahkan hasil. Guru bukanlah satu-satunya pihak yang bertanggung jawab atas pendidikan anak, karena pendidikan adalah tanggung jawab bersama. Guru harus menjadi teladan, tetapi begitu juga orang tua. Anak-anak belajar lebih banyak dari apa yang mereka lihat dan alami, daripada dari apa yang mereka dengar.

Di era serba cepat ini, kita juga perlu menyesuaikan cara mendidik karakter agar relevan dengan kehidupan anak-anak masa kini. Literasi digital, kecerdasan emosional, kemampuan berkomunikasi dan kepekaan sosial perlu dikembangkan sejak dini. Anak-anak perlu diajari untuk memilah informasi, membatasi penggunaan gadget, serta menghargai proses belajar sebagai bagian dari pembentukan diri mereka. Mereka juga harus diajak untuk kembali mengenal dan mencintai budaya membaca, bukan hanya menggulir layar.

Maka dari itu, penulis mengajak semuanya untuk menjadikan pendidikan karakter sebagai pondasi utama dalam mendidik anak-anak kita. Sekolah dan keluarga harus bersatu, saling mendukung, dan berjalan seiring dalam membangun generasi yang bukan hanya pandai berpikir, tetapi juga bisa bijak dalam bersikap. Seperti pesan Ki Hajar Dewantara, “Ing ngarsa sung tulodho, ing madya mangun karso, tut wuri handayani”—di depan memberi teladan, di tengah membangun semangat, di belakang memberi dorongan.

Pendidikan karakter bukan sekedar teori saja, tetapi juga sebuah panggilan hati yang harus dijalani bersama dengan penuh kesadaran dan komitmen. Hanya dengan kebersamaan antara keluarga, sekolah, dan masyarakat, kita bisa menumbuhkan generasi yang tidak hanya cerdas, tetapi juga berakhlak mulia. Inilah fondasi untuk membangun masa depan Negara Indonesia yang lebih beradab, bermoral, dan berdaya saing tinggi di tengah dunia yang terus berubah. Mari bersama-sama kita wujudkan pendidikan yang membentuk hati bukan hanya pikiran demi anak-anak kita, tetapi juga demi bangsa yang kita cintai.

Tagar:

Bagikan postingan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *