Tingginya Martabat Bahasa Meninggikan Nilai Jual Produk Lokal – Naura Nurtifali U

Dalam laporan yang bertajuk “Digital 2021” yang dirilis oleh layanan manajemen konten HootSuite dan agensi pemasaran media sosial We Are Social, menyebutkan bahwa pengguna internet di Indonesia pada awal 2021 mencapai 202,6 juta jiwa. Peningkatan ini diindikasikan oleh transformasi digital yang semakin masif setelah banyak kegiatan masyarakat yang harus dilaksanakan melalui jaringan akibat pandemi Covid-19. Hal ini menegaskan bahwa saat ini internet telah berkamuflase dari gaya hidup menjadi kebutuhan bagi manusia, tidak terkecuali bagi para pelaku industri kreatif di Indonesia.

Bagi para pelaku industri kreatif, internet merupakan tempat terluas untuk memasarkan hasil produksinya. Maka dari itu, para pelaku industri kreatif dituntut untuk lebih kreatif, inovatif, serta mengimbangi modernisasi agar dapat bertahan dalam persaingan global yang semakin ketat di era digitalisasi ini.

Selain meningkatkan ekonomi masyarakat suatu negara, industri kreatif juga ikut serta dalam meningkatkan eksistensi suatu bangsa, pun dalam pemartabatan bahasa, apalagi di era digitalisasi seperti saat ini. Korea telah membuktikan hal tersebut, melalui KPOP dan KDrama, Korea berhasil mendongkrak perekonomian masyarakat sekaligus meningkatkan eksistensi bangsanya. Hal ini dikarenakan para pelaku industri kreatif Korea berdikari pada bahasa dan budayanya dalam menciptakan sebuah produk.

Indonesia sebenarnya memiliki genre musik tradisionalnya tersendiri, yakni Dangdut. Jika Dangdut diolah dengan kreatif dan inovatif bukan hal yang tidak mungkin untuk bisa mendunia, mengingat genre musik ini sempat berjaya khususnya di Indonesia pada tahun 90-an. Sayangnya, Dangdut saat ini mengalami degradasi, bahkan di Tanah Air. Hal ini dipicu dengan banyaknya industri musik Indonesia yang lebih sering menggunakan genre kebarat-baratan serta bahasa asing dalam membuat lagu.

Begitu pula pada industri perfilman Indonesia, yang bak kalah oleh budaya luar, hal ini dapat dilihat dengan banyaknya judul film lokal yang menggunakan bahasa asing. Menurut Kepala Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Indonesia Dadang Sunendar (Wahyudin, 2017) terdapat 41% film Indonesia di tahun 2017 yang menggunakan judul berbahasa asing, padahal dialognya menggunakan bahasa Indonesia.

Hal ini mengonfirmasi bahwa pelaku industri perfilman di Indonesia lebih menganggap bahwa dengan menggunakan bahasa asing akan meningkatkan daya tarik sebuah film di pasaran.

Penggunaan bahasa asing dalam produk industri kreatif jelas diperbolehkan, bahkan akan menjadi nilai tambah tersendiri guna mengenalkan produk lokal ke kancah internasional. Sayangnya, hal tersebut jika tidak diiringi dengan edukasi mengenai padanan kata kepada masyarakat, justru akan membuat martabat bahasa Indonesia mengalami reduksi, bahkan bagi pemiliknya itu sendiri. Hal ini selaras dengan pernyataan Dokhin dkk (2016) yang menyebutkan bahwa arus globalisasi yang deras menawarkan gaya hidup yang cenderung pragmatis serta bergaya hidup konsumtif.

Misalnya di era pandemi saat ini, banyak orang Indonesia tidak memahami padanan kata baru di Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) yang berkenaan dengan pandemi Covid-19. Misalnya istilah tes usap, saya meyakini kebanyakan masyarakat Indonesia akan lebih memahami istilah swab test yang merupakan bahasa asing ketimbang tes usap yang merupakan bahasa Indonesia. Kenapa bisa demikian?

Merujuk pada pernyataan Hariyanto (2010: 296) yang menjelaskan bahwa istilah atau kosakata merupakan seluruh kata yang sudah didengar yang dimiliki oleh seorang pembicara yang telah disusun seperti kamus dan disertai dengan penjelasan yang singkat dan lengkap agar mudah dimengerti oleh pembaca, maka dapat disimpulkan bahwa rendahnya pengetahuan masyarakat Indonesia terkait padanan kata bahasa Indonesia yang dalam hal ini berkenaan dengan Covid-19 karena lebih sering mendengar kata asing.

Pemaparan ini sepatutnya menyadarkan para pelaku industri kreatif di Indonesia, khususnya anak muda yang mendominasi pekerjaan ini, bahwa produk atau karya yang diciptakan bijaknya selalu mengandung nilai kearifan lokal. Apalagi, Indonesia memiliki modal kekayaan budaya yang unik dan melimpah, tidak terkecuali dalam bahasa. Konsistensi untuk berdikari pada bahasa dan budaya sendiri dalam menciptakan produk, yang dikolaborasikan dengan kecanggihan digital, akan membuat produk lokal memiliki kekhasan tersendiri yang dapat menambah nilai jual serta meningkatkan martabat bangsa.

Tagar:

Bagikan postingan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *