Perjalanan Putih Biruku Bersama Mentari Pagi di Indonesia Timur

 

Matahari terbit dan tenggelam di pulauku sangatlah menawan. Wisatawan mancanegara biasa datang untuk melihatnya. Berlembar-lembar uang dolar pasti mereka keluarkan untuk menjelajah sampai sini. Sudah dipastikan mereka akan pesiar ke Piarakuku menikmati sabana dan jalan iconicnya, selain itu juga ke Air Terjun Waimarang menikmati keindahan ciptaan Tuhan yang tiada duanya. Sumba, itulah nama yang ditujukan pada pulau yang kutinggali ini. Di antara dua tempat wisata kelas dunia itu, ada cerita perjuanganku sebagai siswa. Inilah ceritaku, cerita perjalanan ke sekolahku ditemani mentari idaman wisatawan itu.

“Kukuruyuk”, suara ayam berkokok yang biasanya menjadi alarmku. Tidak ada alarm smartphone, ponsel bertombol huruf bergandengpun keluargaku tidak punya. Tapi kali ini sinar mentari yang menembus lubang kamarlah yang membangunkanku. Aku kesiangan, semalam habis mete di rumah kerabat yang berduka. Selimut segera kusibakkan, duduk sejenak, aku bersyukur atas anugerah-Nya sepanjang malam yang telah berlalu. Kuambil ember di dekat tumpukan alang-alang bakal pengganti atap. Atap alang-alang di rumahku ini memang harus diganti periodik 5 tahun sekali, enaknya atap alang-alang itu kalau siang terasa sejuk, tapi kalau malam dingginnya bukan main. Lanjut kumasukkan beberapa jagung dan daun pisang yang sudah dicacah ke dalam ember. Inilah tugasku selepas bangun tidur harus memberi makan ternak. Bapakku memelihara 2 babi dan 3 kuda harus diberi makan tiap pagi. Kata orang peliharaan bapakku seharga motor matic 150 cc yang tanpa kunci itu. Tetapi ini bukanlah milik bapakku sepenuhnya. Di pulau kami babi dan kuda merupakan hewan berharga. Hewan yang senantiasa harus disiapkan dan diserahkan ketika ada kerabat mengundang hadir di acara adatnya. Seberharga itulah babi dan kuda, jadi bangun kesianganpun aku harus tetap memberinya sarapan.

Seragam putih biru sudah melekat rapi di badanku, tas berisi satu buku tulis dan pena sudah kusiapkan. Tidak ada nasi hangat yang matang dari periuk berplester dan kompor minyak pagi ini. Hanya ada segelas air putih yang menjadi sarapanku, beginilah pagiku yang tidak jauh beda dengan hari-hari biasanya. Aku tutup pintu dan tanpa berpamitan karena Bapak dan Ibu sudah pergi ke ladang dari jam 5 pagi. Saat ini bulan Januari, masih musim hujan dan saat yang pas untuk tanam jagung. Bapak Ibu menanam jagung sudah 2 minggu yang lalu, hari ini jadwal membersihkan gulmanya. Kusiapkan satu botol air minum untuk perbekalan. Kupastikan terisi penuh karena akan menjadi teman berjalanku ke sekolah.

Lima kilometer, itulah jarak yang harus kutempuh untuk sampai ke sekolah. Jalanan rusak, penuh debu saat musim kemarau, dan akan menjadi becek saat musim hujan. Semalam aku pulang mete hujan gerimis. Alhasil pagi ini jalanan masih becek. Lebih baik bagiku melewati jalan di tengah sabana Sumba dengan kaki kosong. Sandalku satu-satunya masih tersita di ruang guru akibat kenakalanku kemarin. Sepatu langsung kuamankan dalam tas agar tidak makin koyak terkena genangan air. Aku mulai melangkahkan kaki menapaki jalanan becek. Inilah kami anak-anak Sumba yang terbiasa berjalan kaki menuju ke sekolah. 1 km 2 km itu mudah, ada dari kami yang harus berjalan kaki 6 km 7 km 8 km bahkan lebih. Motor adalah barang mewah bagi kami, tidak semua keluarga mampu membelinya. Kalau tidak ada motor maka berjalan kakilah kami, ke manapun. Jangan tanya sepeda kayuh, topografi di tempat kami naik turun, nanti yang ada lebih lelah dari jalan kaki karena sedikit mengayuh banyak mendorongnya.

Aku berhasil menyusul teman. Kami berjalan bersama dipayungi awan-awan cumulus yang bergerak lebih cepat dari pada langkah kaki. Beberapa puluh meter dari jalan terlihat pohon lontar yang tumbuh liar di tengah sabana. Kupandangi pucuknya. Masih ada daun kuncup dan beberapa buah lontar. Kutandai pohon itu untuk sore nanti. ‘Naik pucuk’, itulah istilah khusus sebuah kegiatan yang biasa kami lakukan saat pulang sekolah. Kami akan naik pohon lontar, tidak peduli 5 meter 10 meter atau 15 meter, kami akan panjat dan potong pucuknya lalu kami jual ke pengepul. Begitulah cara kami mendapatkan uang jajan mandiri. Dimarahi bapak, dikejar pemilik pohon, jatuh dari pohon, sudah menjadi risiko kami. Tapi bagaimana lagi, jika tidak begitu kami tidak bisa makan ciki-ciki yang renyah itu. Hari ini kupastikan mulutku hanya basah oleh air putih, kemarin sore hujan cukup deras, jadilah aku tidak bisa naik pucuk dan tidak ada selembar orange di sakuku.

Kami lelah dan istirahat sebentar di bawah pohon kehi. Pohon khas Sumba yang ditancap mudah sekali untuk tumbuh. Kami hirup oksigen sejenak sembari memulihkan energi. 45 menit berjalan, awan cumulus yang sedari tadi membayangi nampak membuyar, mentari pagi berganti shift menemani kami. Setetes throughfall dari daun kehi mengenai pelipisku, mengganggu lamunanku melihat kuda Sumba yang sedang menyeberang jalan. Gagah sekali itu kuda, lebih gagah dari Bapak pung kuda di rumah. Di jalanan Sumba, hewan adalah lampu lalu lintasnya, entah itu kuda, sapi, kambing ataupun domba ketika mereka menyeberang, oto truk sebesar rumahpun harus mengalah untuk berhenti. Salah-salah malah pengendara yang akan merugi. Begitulah peraturan mengendarai di pulau kami. Ku tengguk botol minumku dan kulanjutkan seperempat jalan lagi. Belok kiri, sedikit naik turun bukit, akhirnya sampai juga di gang sekolahku.

Pak Guru yang berseragam rapi dengan sorotnya yang tajam sudah menunggu kami di depan gerbang. Kami langsung dapat nada satu oktaf lebih tinggi dari Pak Guru. “Umbu, sisipkan itu baju! Pakai kalian pung sepatu!” Dengan sekejap kami segera sisipkan baju dan memakai sepatu. “Kenapa terlambat?!” Sekarang nada Pak Guru naik dua oktaf. Memberi makan ternak, jalan jauh, tidak dapat tumpangan oto, itulah alasan keterlambatanku. Temanku tidak jauh berbeda. Banyak alasan, tapi itu hanya pembelaan dari lambat bangun karena semalam mete. “Baris di sini!” Dijemurlah kami di depan gerbang. “Ambil nafas sebentar, siap-siap cabut rumput dan ambil sampah plastik!” Pagi-pagi sudah dapat nada tinggi dari Pak Guru. Sial sekali hari ini. Maafkan kami Pak Guru, kami memang salah.

Kami menyusul masuk jam pertama. Debu halus masih beterbangan, sisa petugas piket pagi ini. Kursi plastik yang sedikit keropos ku mundurkan dari meja plywood. Sembari menghela nafas kupandangi sorot mentari dari balik jendela. Kaca dan teralis sudah lama hilang jadilah sehangat itu panasnya menembus punggungku. Tidak apa, Pak Guru bilang ini vitamin D. Terima kasih mentari telah menemaniku ke sekolah, maafkan aku sudah terlambat, gumamku pagi itu.

Tagar:

Bagikan postingan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *