Petualangan Anak Indonesia Hebat di Hutan Ajaib

Di sebuah desa kecil bernama Sukamaju, hiduplah Aji, anak kelas 5 SD berusia 11 tahun. Aji punya rambut ikal cokelat, mata bulat cemerlang, dan selalu memakai topi merah kesayangannya. Dia dikenal ceria, tapi kadang suka bingung kalau disuruh berpikir cepat. Hobinya? Lari-lari di sawah sambil nyanyi! Tapi, Aji punya kelemahan: dia takut banget sama kegagalan. “Kalau gagal, nanti temen-temen ketawa,” katanya dalam hati.

Hari itu, di sekolah, Bu Guru Siti memberikan tugas kelompok: membuat poster tentang cita-cita. Aji bingung. “Aku mau jadi apa, ya?” gumamnya. Malamnya, sambil menatap bintang dari jendela kamar, Aji berdoa, “Tuhan, tolong kasih aku petunjuk biar aku tahu apa yang harus kulakukan.” Tanpa disadari, matanya terpejam, dan… Cahaya terang menyelinap ke kamarnya.

Ketika membuka mata, Aji sudah berdiri di tengah hutan yang aneh. Pohon-pohonnya berkilau seperti kristal, dan burung-burung bernyanyi dengan suara seperti lonceng. “Ini di mana, sih?” Aji memegang topinya erat-erat. Tiba-tiba, seekor kelinci putih dengan rompi hijau muncul. “Halo, Aji! Aku Kiko, penutunmu di Hutan Ajaib. Kau dipilih untuk belajar delapan rahasia hebat sebelum pulang!” kata Kiko sambil meloncat-loncat.

“Delapan rahasia? Apa itu?” tanya Aji, matanya membelalak.

“Tenang, ikut aku! Kita mulai petualangan!” Kiko menarik tangan Aji.

Langkah pertama membawa mereka ke sebuah telaga bening. Di tengahnya, ada batu besar bercahaya. “Aji, kadang hidup bikin bingung, kan? Coba berdoa, minta petunjuk,” saran Kiko. Aji ragu. “Emang Tuhan denger doaku?” tanyanya. Kiko tersenyum, “Coba aja.” Aji menutup mata, berdoa dengan sungguh-sungguh, “Tuhan, tolong bantu aku jadi anak yang berguna.” Tiba-tiba, batu itu bergerak, membuka jalan ke gua berikutnya. Aji tersenyum lebar, “Keren! Doa beneran didenger!”

Di gua kedua, Aji melihat desa kecil dari kristal. Tapi, desa itu kacau! Jalanan kotor, anak-anak bertengkar. “Aji, desa ini butuh bantuanmu,” kata Kiko. Aji ingat pelajaran PPKn. “Kita harus kerja sama bikin desa ini rapi!” Aji mengajak anak-anak desa untuk bersih-bersih. “Ayo, kita buang sampah ke tempatnya!” serunya. Dengan semangat, mereka menyapu jalan dan menanam bunga. Desa itu kembali cantik, dan Aji mendapat kunci emas sebagai hadiah. “Jadi warga yang baik itu keren, ya!” katanya sambil tertawa.

Petualangan berikutnya membawa Aji ke jembatan tua yang patah. Di seberang, ada pintu menuju rahasia berikutnya. “Gimana caranya nyeberang?” Aji menggaruk kepala. Kiko memberi petunjuk, “Pikir baik-baik, Aji. Apa yang bisa kamu lakukan?” Aji menatap kayu-kayu di sekitar. “Aha! Kalau aku ikat kayu-kayu ini, bisa jadi jembatan baru!” Dengan hati-hati, dia mencoba dan gagal sekali. “Aduh, kenapa nggak berhasil?” keluhnya. Tapi, dia coba lagi, kali ini lebih kuat mengikatnya. Akhirnya, jembatan jadi! “Yes! Berpikir keras itu asyik!” sorak Aji.

Di ruangan berikutnya, Aji menemukan dinding kosong raksasa. Kiko berkata, “Bikin sesuatu yang menunjukkan mimpimu!” Aji bingung. “Aku nggak pinter gambar.” Tapi, dia ingat cita-citanya yang samar-samar: membangun rumah untuk orang miskin. Dengan kuas ajaib dari Kiko, Aji melukis rumah-rumah warna-warni dengan taman bunga. “Wah, ini bagus banget!” katanya sendiri, kagum. Dinding itu bercahaya, dan pintu baru terbuka. “Keren, aku bisa bikin sesuatu dari imajinasiku!” Aji meloncat kegirangan.

Di ruangan kelima, Aji bertemu tiga makhluk lucu: Bilo si beruang, Miu si kucing, dan Tiro si burung. Mereka harus membangun menara dari balok, tapi selalu bertengkar. “Aku duluan!” kata Bilo. “Enggak, aku!” balas Miu. Aji menghela napas. “Kalau kalian rebutan, mana bisa selesai? Ayo kerja sama!” Aji membagi tugas: Bilo angkat balok, Miu susun, Tiro cek keseimbangan. Dalam sekejap, menara berdiri kokoh. “Lihat, kita hebat kalau bareng-bareng!” kata Aji. Mereka semua tertawa dan tos bersama.

Tiba di ruangan gelap, Kiko tiba-tiba menghilang. “Kiko? Kamu di mana?” panggil Aji, jantungan. Hanya ada labirin besar di depannya. “Aku harus masuk sendiri?” Aji gemetar, tapi dia ingat doanya tadi. “Aku bisa! Aku harus coba.” Dengan hati-hati, dia melangkah, memilih jalur, dan beberapa kali nyasar. “Aduh, salah lagi!” keluhnya. Tapi, dia terus maju. Akhirnya, dia keluar dari labirin dan menemukan Kiko. “Aji, kamu hebat! Kamu bisa sendiri!” puji Kiko. Aji tersenyum bangga, “Iya, aku nggak takut lagi!”

Di ruangan berikutnya, ada taman penuh buah dan sayur. Tapi, Aji merasa lemas. “Aku laper banget,” keluhnya. Kiko menunjuk taman, “Makan yang sehat, Aji!” Aji biasanya suka makan gorengan, tapi kali ini dia coba apel dan wortel. “Wah, enak juga!” katanya sambil mengunyah. Setelah makan, dia merasa kuat lagi. Kiko menambahkan, “Jangan lupa olahraga!” Aji dan Kiko lari-lari keliling taman, tertawa. “Badanku ringan banget sekarang!” seru Aji, melompat-lompat.

Di ruangan terakhir, ada panggung besar. Kiko berkata, “Ceritakan petualanganmu, Aji!” Aji grogi. “Aku takut ngomong depan orang banyak,” bisiknya. Tapi, dia ingat semua yang sudah dilaluinya. Dengan suara gemetar, dia mulai, “Halo, temen-temen! Aku belajar banyak di Hutan Ajaib. Aku belajar berdoa, kerja sama, berpikir, sampe makan sehat!” Semakin lama, suaranya semakin lantang. Makhluk-makhluk di hutan bertepuk tangan. “Aji, kamu hebat!” sorak mereka. Aji tersenyum lebar, “Ngomong itu nggak seseram yang kukira!”

Tiba-tiba, cahaya terang muncul lagi. Aji membuka mata… dan dia sudah di kelas! Bu Guru Siti tersenyum di depannya. “Aji, kamu ketiduran tadi. Tapi, kok tiba-tiba bilang ‘aku belajar banyak di Hutan Ajaib’? Ceritain dong!” Aji kaget. “Apa itu cuma mimpi?” gumamnya. Tapi, ketika membuka tasnya, dia menemukan kunci emas dari desa kristal tadi! Aji tersenyum kecil. “Mungkin itu bukan cuma mimpi,” bisiknya. Dengan semangat baru, dia mengangkat tangan, “Bu Guru, aku tahu cita-citaku sekarang! Aku mau jadi anak Indonesia hebat!” Teman-temannya bertepuk tangan, dan Aji merasa hatinya penuh harapan.

***

 

Tagar:

Bagikan postingan

satu Respon

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *