Dalam era media sosial yang semakin berkembang pesat, muncul berbagai istilah dan fenomena budaya yang mencerminkan dinamika interaksi sosial masa kini. Salah satu istilah yang belakangan ini viral dan banyak diperbincangkan adalah “pick me” atau “pick me girl/boy”. Fenomena ini telah menjadi topik hangat di berbagai platform digital, dari Instagram, TikTok hingga X, memicu perdebatan tentang perilaku sosial, validasi eksternal, dan konstruksi identitas di era modern.
Istilah “pick me” merujuk pada seseorang yang secara konsisten berusaha membedakan dirinya dari kelompok gendernya sendiri dengan cara merendahkan kelompok tersebut, dengan tujuan mendapatkan perhatian atau validasi dari lawan jenis. Fenomena ini bukan sekadar perilaku mencari perhatian biasa, melainkan pola yang lebih rumit yang melibatkan internalisasi stereotip gender, kompetisi sosial, dan pencarian identitas diri.
Perilaku “pick me” memiliki beberapa ciri khas yang mudah dikenali. Seseorang dengan perilaku ini cenderung sering menyatakan bahwa mereka “berbeda” dari orang lain yang memiliki gender sama. Misalnya, seorang perempuan yang selalu menekankan bahwa dirinya “tidak seperti gadis-gadis lain” karena tidak suka drama, lebih menyukai aktivitas yang dianggap maskulin, atau tidak peduli dengan penampilan seperti perempuan pada umumnya. Ciri lainnya adalah kecenderungan untuk merendahkan atau mengkritik kelompok gendernya sendiri di hadapan lawan jenis. Ini bisa berupa pernyataan generalisasi negatif seperti “perempuan lain dandan menor, sedangkan aku sukanya natural” atau “laki-laki lain terlalu emosional, tapi aku tidak”. Perilaku ini dilakukan dengan harapan bahwa dengan menunjukkan “keunggulan” dibanding yang lain, mereka akan lebih dipilih atau dihargai.
Individu dengan perilaku “pick me” juga sering menampilkan kepribadian yang berubah-ubah tergantung audiensnya. Mereka mungkin menyesuaikan minat, pendapat, atau bahkan kepribadian mereka agar sesuai dengan preferensi orang yang ingin mereka tarik perhatiannya. Fleksibilitas identitas ini sebenarnya menunjukkan kurangnya fondasi diri yang kuat dan ketergantungan berlebihan pada validasi eksternal. Untuk memahami fenomena ini secara mendalam, kita perlu menelusuri akar psikologisnya. Perilaku “pick me” sering kali berakar dari rasa tidak aman atau insekuritas yang mendalam. Individu yang merasa kurang percaya diri tentang nilai diri mereka mungkin mencari validasi eksternal sebagai cara untuk mengisi kekosongan perasaan dari dalam.
Selain itu, sosialisasi gender sejak masa kanak-kanak juga berperan penting. Masyarakat sering kali mengajarkan bahwa nilai seseorang, terutama perempuan, ditentukan oleh seberapa menarik mereka di mata lawan jenis. Pesan-pesan budaya yang menekankan kompetisi antar sesama gender untuk mendapatkan pasangan dapat menginternalisasi pemikiran bahwa untuk “menang”, seseorang harus membuktikan bahwa mereka lebih baik dibanding yang lain.
Media sosial telah menjadi katalis yang memperkuat dan memperluas jangkauan fenomena “pick me”. Platform seperti Instagram, TikTok, dan X menyediakan panggung publik di mana individu dapat menampilkan persona mereka kepada audiens yang luas. Dalam konteks ini, perilaku “pick me” menjadi lebih terlihat dan terkadang bahkan dilebih-lebihkan untuk mendapatkan perhatian. Algoritma media sosial yang mengutamakan konten yang memicu reaksi emosional juga berkontribusi pada penyebaran perilaku ini. Postingan yang memicu perdebatan cenderung mendapat lebih banyak perhatian, yang secara tidak langsung memberikan imbalan kepada perilaku “pick me” melalui likes, komentar, dan shares. Namun, media sosial juga memiliki peran ganda. Di satu sisi, ia memperkuat perilaku “pick me”, tetapi di sisi lain, ia juga menjadi ruang di mana fenomena ini dikritik dan didiskusikan. Banyak konten kreator yang membuat video atau postingan edukatif tentang bahaya perilaku ini, membantu meningkatkan kesadaran dan mendorong refleksi diri.
Meskipun istilah “pick me girl” lebih populer, fenomena ini sebenarnya tidak terbatas pada perempuan saja. Laki-laki juga dapat menunjukkan perilaku “pick me boy”, meskipun manifestasinya mungkin sedikit berbeda. “Pick me girl” biasanya menekankan bahwa mereka lebih “rendah hati”, tidak butuh perhatian, atau lebih “low maintenance” dibanding perempuan lain. Mereka mungkin menyombongkan fakta bahwa mereka bisa makan banyak tanpa peduli bentuk tubuh, tidak suka makeup, atau lebih menyukai aktivitas yang dianggap “boyish” seperti menonton sepak bola atau bermain video game. Sementara itu, “pick me boy” mungkin menampilkan diri sebagai “nice guy” sejati yang berbeda dari laki-laki lain yang hanya menginginkan satu hal dari perempuan. Mereka sering menekankan sensitivitas emosional mereka, menghormati perempuan, atau mengkritik maskulinitas toksik dari laki-laki lain, tetapi dengan motivasi utama mendapatkan perhatian romantis, bukan dari keyakinan sejati.

Perilaku “pick me” membawa berbagai konsekuensi negatif, baik bagi individu yang melakukannya maupun bagi orang-orang di sekitarnya. Pada tingkat personal, perilaku ini menghalangi perkembangan identitas diri yang asli. Ketika seseorang terus-menerus menyesuaikan diri dengan harapan orang lain, mereka kehilangan kesempatan untuk menemukan siapa diri mereka sebenarnya dan apa yang benar-benar mereka hargai. Perilaku ini juga merusak hubungan dengan sesama gender. Perilaku terus-menerus merendahkan atau mengkritik kelompok gendernya sendiri, individu “pick me” menciptakan jarak dan ketidakpercayaan dengan teman-teman potensial. Hal ini dapat mengakibatkan isolasi sosial dan kehilangan sistem pendukung yang penting untuk kesejahteraan emosional. Ketika seseorang mengatakan mereka “tidak seperti gadis lain”, mereka secara tidak langsung menyetujui dan memperkuat pandangan negatif tentang perempuan. Ini menciptakan siklus di mana pandangan gender yang sudah ada diperkuat, membuat lebih sulit bagi individu untuk bebas dari ekspektasi gender yang kaku. Dalam konteks hubungan romantis, perilaku “pick me” juga bermasalah karena didasarkan pada fondasi yang tidak sehat. Hubungan yang dimulai dengan salah satu pihak menyangkal atau mengubah identitas mereka demi menyenangkan pihak lain cenderung tidak berkelanjutan dan tidak memuaskan dalam jangka panjang.
Penting untuk membedakan antara perilaku “pick me” dan ekspresi asli dari keunikan individu. Tidak semua orang yang memiliki minat atau preferensi yang berbeda dari norma gender adalah “pick me”. Kuncinya terletak pada motivasi dan cara seseorang mengekspresikan perbedaan mereka. Seseorang yang benar-benar memiliki minat yang berbeda dari norma gender tidak akan merasa perlu untuk terus-menerus menekankan perbedaan tersebut atau merendahkan orang lain yang memiliki minat yang lebih umum. Mereka menjalani minat mereka karena benar-benar menikmatinya, bukan sebagai strategi untuk mendapatkan perhatian. Ekspresi asli juga konsisten dan tidak berubah-ubah tergantung audiensnya. Seseorang yang benar-benar menyukai video game akan tetap bermain game bahkan ketika tidak ada lawan jenis yang melihat. Mereka tidak akan mengubah kepribadian atau minat mereka hanya untuk menyesuaikan dengan preferensi orang yang ingin mereka tarik perhatiannya.
Bagi individu yang menyadari bahwa mereka mungkin menunjukkan perilaku “pick me”, langkah pertama menuju perubahan adalah kesadaran dan penerimaan diri. Penting untuk melakukan introspeksi tentang mengapa seseorang merasa perlu untuk terus-menerus membuktikan nilai mereka dengan cara merendahkan orang lain. Mengembangkan harga diri yang sehat adalah kunci untuk mengatasi perilaku ini. Ini melibatkan belajar menghargai diri sendiri berdasarkan nilai-nilai internal, bukan validasi eksternal. Terapi atau konseling dapat sangat membantu dalam proses ini, terutama jika perilaku “pick me” berakar dari trauma masa lalu atau pengalaman negatif.
Membangun koneksi yang sehat dengan sesama gender juga penting. Alih-alih melihat mereka sebagai kompetisi, individu perlu belajar menghargai dan mendukung sesama. Persahabatan yang kuat dengan orang-orang yang memiliki gender sama dapat memberikan dukungan emosional dan membantu seseorang merasa lebih aman dalam identitas mereka. Selain itu, mengenali bahwa tidak ada cara “benar” untuk menjadi perempuan atau laki-laki, dan bahwa keragaman dalam setiap gender adalah hal yang normal dan sehat, dapat membebaskan individu dari kebutuhan untuk membuktikan bahwa mereka “berbeda” atau “lebih baik”.
Media dan influencer memiliki peran penting dalam membentuk norma sosial. Dengan mempromosikan representasi yang beragam tentang feminitas dan maskulinitas, dan dengan menunjukkan bahwa nilai seseorang tidak ditentukan oleh seberapa mereka berbeda dari norma gender, media dapat membantu menciptakan lingkungan yang lebih sehat. Komunitas online juga perlu lebih bijaksana dalam cara mereka mengkritik perilaku “pick me”. Meskipun penting untuk menyebut dan mendiskusikan perilaku yang bermasalah, penting juga untuk melakukannya dengan cara yang membangun dan penuh empati. Mengingat bahwa perilaku ini sering berakar dari insekuritas dan trauma, pendekatan yang penuh kasih lebih mungkin menghasilkan perubahan positif daripada cemoohan atau bullying.
Fenomena “pick me” adalah cerminan rumit dari dinamika sosial, tekanan gender, dan pencarian identitas di era modern. Meskipun perilaku ini dapat terlihat ringan atau bahkan lucu di permukaan, ia sebenarnya menunjukkan isu-isu yang lebih dalam tentang harga diri, validasi, dan bagaimana masyarakat membentuk pemahaman kita tentang gender dan nilai diri. Memahami fenomena ini penting bukan untuk menghakimi atau mengecam individu yang menunjukkan perilaku tersebut, tetapi untuk mendorong refleksi kolektif tentang bagaimana kita semua sebagai individu dan sebagai masyarakat—dapat menciptakan lingkungan yang lebih mendukung keaslian diri dan kesetaraan.
Setiap orang memiliki hak untuk menjadi diri mereka yang sebenarnya tanpa merasa perlu bersaing dengan atau merendahkan orang lain. Dengan meningkatkan kesadaran, mengembangkan harga diri yang sehat, dan menantang stereotip gender yang merugikan, kita dapat bergerak menuju masyarakat di mana validasi datang dari dalam, bukan dari seberapa berbeda kita dari orang lain.
Pada akhirnya, kekuatan sejati terletak pada keaslian dalam menghargai diri sendiri apa adanya, merayakan keunikan tanpa merendahkan orang lain, dan membangun koneksi yang didasarkan pada rasa hormat dan pemahaman bersama. Ini adalah jalan menuju kehidupan yang lebih bermakna dan hubungan yang lebih sehat, baik dengan diri sendiri maupun dengan orang lain.






