Puisi yang Tak Bisa Dibungkam

Wahai Gaza, permaisuri luka di ranjang debu,
Langit mencintaimu dengan bom, bukan bintang-bintang,
Tiap pagi kau bersolek dengan serpihan nyawa,
Dan malam meninabobokanmu dengan nyanyian sirine yang manja.
Anak-anakmu menulis alfabet dari abu,
Membaca puisi di sela-sela peluru yang mencumbui dinding,
Namun mereka tetap tersenyum—sungguh, senyuman termewah di dunia,
Sebab dunia punya mata, tapi memilih memakai penutup telinga.
Kau adalah taman bunga yang ditanam di padang pembantaian,
Bau mawar dan darah kini sulit dibedakan.
Ketika dunia sibuk berselfie di pesta perdamaian,
Kau mengirim cinta melalui nisan-nisan kecil.
Oh Gaza, syairmu adalah jerit yang tak bisa dibungkam,
Meski puing-puing memelukmu dengan pelan tapi dalam,
Kau tak patah—kau justru menari,
Dengan gaun sobek bernama harapan.
Ironi adalah engkau, wahai kota suci nan sepi,
Didoakan jutaan lidah, tapi dikhianati oleh kaki-kaki diplomasi.
Di balik reruntuhan, engkau lebih hidup daripada kota yang utuh,
Karena jiwamu tak pernah bisa dibom.
Dinding-dindingmu belajar menangis dalam diam,
Dan matahari pun enggan terbit penuh, malu melihat kekejaman.
Namun engkau berkata, “Kami hanya ingin hidup,”
Dengan suara selembut debu—namun tajam mengiris langit.
Gaza, engkau paradoks paling indah dalam sejarah:
Paling hancur, namun paling tegar.
Paling miskin senjata, namun paling kaya makna.
Paling sunyi, namun suara hatimu menggema sampai surga.
Surat ini kutulis dengan tinta air mata,

Kukirim lewat angin yang masih bebas dari embargo.

Jika cinta adalah keberpihakan kepada yang teraniaya,
Maka biarlah setiap bait ini menjadi peluru terakhir melawan lupa.

Tagar:

Bagikan postingan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *