Di lingkungan sekolah, masih ditemukan beberapa peserta didik yang masih tidak memedulikan menjaga kebersihan diri dan kerapihan dalam berpenampilan. Padahal masa remaja yang berusia SMP seharusnya sudah mulai memahami arti dari sebuah kebersihan diri, dan bukan lagi seseorang yang berada pada sebuah fase kebingungan. Sebuah jurnal Rusuli, I (2022) menulis sebuah sintesa teori Erick H. Erikson dengan konsep Agama. Rusuli mensintesiskan teori perkembangan psikososial Erick H. Ericson yang mengatakan, masa remaja yang dimulai dari umur 12 sampai 21 tahun adalah masa berada pada tahap identity (identitas) versus identity confusion (kebingungan identitas) (Papalia et al., 2007). Penulis mendukung pendapat Rusuli bahwa fase kebingungan di usia 12-16 tahun seharusnya sudah tersadarkan karena konsep agama sudah mengatur itu semua sejak dini melalui pendidikan agama dalam lingkungan keluarga. Fase remaja seharusnya memiliki self-confidence yang tinggi pada segi penampilan. Namun, dalam konteks tempat penulis mengajar yakni di SMP Negeri 3 Pandawai, peserta didik belum memiliki self-confidence tersebut. Hal ini terlihat dengan masih terdapatnya beberapa peserta didik yang terlihat tidak rapi dalam berpakaian misalnya saja mengenakan seragam kusut, memakai sepatu berlumpur, rambut acak-acakan, dan mengabaikan kebersihan kuku. Perilaku jorok peserta didik seperti ini terlihat tidak mencerminkan peserta didik dari apa yang diharapkan dalam tujuan pendidikan kita terutama untuk salah satu dari 8 dimensi profil lulusan deep learning yaitu dimensi kebersihan. Kebiasaan ini tidak hanya terjadi bagi peserta didik yang faktor ekonomi dianggap kurang mampu namun juga bagi mereka yang berasal dari keluarga yang keadaan ekonomi dianggap kurang mampu. Dalam hal ini penulis mencoba melakukan pemantauan secara berkelanjutan perkembangan peserta didik SMP Negeri 3 Pandawai di mana ditemukan beberapa peserta didik yang tidak lagi memedulikan kerapian berseragam dan penampilan diri mereka karena dipengaruhi oleh 3 faktor penting diantaranya adalah: kurangnya kesadaran diri dari peserta didik, kondisi ekonomi keluarga, kurangnya pengawasan atau pembiasaan dini dari orang tua dalam lingkungan keluarga.
Pertama; kesadaran diri mencakup pemahaman bahwa menjaga kebersihan bukan sekadar sebuah rutinitas fisik, tetapi merupakan bagian dari tanggung jawab terhadap kesehatan diri masing-masing individu. Seorang remaja yang memiliki kesadaran diri akan menyadari misalnya, bahwa tidak mandi secara teratur dapat menyebabkan bau badan yang bisa berpotensi mengganggu orang lain, atau bahwa mengabaikan kebersihan gigi berisiko memicu masalah kesehatan mulut. Ketidaksadaran ini berdampak akan menjatuhkan harga diri anak dalam lingkungan sejawat atau dalam lingkungan sosial masyarakat sehingga potensi bully terhadap si anak akan semakin terbuka. Remaja yang sadar seharusnya akan cenderung menganggap kebersihan bukan menjadi sebuah beban karena ini yang akan mendukung jati diri dan kepercayaan diri. Oleh karena itu, Penulis perlu memberikan sebuah pemahaman kepada semua pihak agar secara bersama-sama melakukan tindakan untuk merubah perilaku remaja yang demikian terkhususnya pada peserta didik yang berada di lingkungan SMP Negeri 3 Pandawai tempat penulis mengabdi.
Faktor kedua selanjutnya adalah kondisi keadaan ekonomi keluarga. Dalam konteks kebiasaan buruk remaja dalam menjaga kebersihan diri mengacu pada keterbatasan finansial yang menghambat akses terhadap sarana, fasilitas, atau pendidikan terkait kebersihan Nurhayati & Suryanto (2020) dalam Jurnal Pendidikan Sosial menyampaikan bahwa siswa dari keluarga ekonomi rendah cenderung kurang memperhatikan kerapian pakaian karena keterbatasan biaya perawatan pakaian. Jadi, Keluarga dengan ekonomi lemah sering kali tidak mampu menyediakan kebutuhan dasar seperti sabun mandi, pasta gigi, deodoran, atau pakaian bersih yang cukup untuk diganti secara rutin. Remaja dari latar belakang ini mungkin terbiasa memakai baju yang sama berulang kali karena minimnya pakaian layak pakai, atau tidak menggunakan produk perawatan tubuh karena harganya dianggap mahal. Selain itu, kondisi tempat tinggal yang tidak memadai—seperti kurangnya air bersih, sanitasi buruk, atau lingkungan kumuh—secara tidak langsung membentuk persepsi bahwa kebersihan adalah “kemewahan” yang sulit diprioritaskan. Orang tua yang sibuk bekerja untuk memenuhi kebutuhan pokok juga mungkin tidak memiliki waktu atau energi untuk mengedukasi anak tentang pentingnya kebersihan. Akibatnya, remaja tumbuh tanpa pemahaman memadai tentang cara merawat diri atau menganggap kebersihan sebagai hal sekunder dibandingkan urusan survival sehari-hari. Dampaknya, kebiasaan buruk seperti jarang mandi, malas menyikat gigi, atau mengabaikan kerapian menjadi normal karena terpengaruh oleh kondisi lingkungan dan keterbatasan sumber daya. Dengan demikian, masalah ekonomi keluarga tidak hanya membatasi akses fisik terhadap kebersihan, tetapi juga membentuk pola pikir dan kebiasaan yang sulit diubah.
Ketiga, dalam menjaga kebersihan diri juga dipengaruhi karena tidak ada keterlibatan orang tua dalam membentuk kebiasaan, nilai, dan rutinitas kebersihan sejak masa kanak-kanak. Orang tua seharusnya berperan penting sebagai orang yang diteladani pertama kali sebelum mereka mengenal dunia luar. Misalnya saja mengajarkan mereka beberapa tindakan sederhana seperti mandi teratur, mencuci tangan, merapikan kamar, atau menjaga kebersihan pakaian. Merujuk pada Undang- undang nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional (sisdiknas) pasal 1 ayat 14 menyatakan bahwa pendidikan anak usia dini dibekali melalui pemberian rangsangan nilai-nilai pendidikan dari usia lahir sampai 6 tahun agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut. Jadi seandainya tidak ada tindakan partisipatif dari orang tua sejak dini, maka anak-anak akan tumbuh tanpa pemahaman bahwa merawat diri adalah tanggung jawab individu yang berpengaruh pada kesehatan dan kehidupan sosial. Selain itu, orang tua yang jarang mengingatkan anak untuk mandi, tidak menegur ketika anak malas menyikat gigi, atau membiarkan kamar berantakan secara terus-menerus, secara tidak langsung mengajarkan bahwa kebersihan bukanlah sebuah hal yang utama. Secara berkelanjutan, ketika anak memasuki masa remaja, kebiasaan buruk ini semakin mengakar sehingga berdampak pada perkembangan kepercayaan diri anak dalam mengeksplorasi kemampuan dirinya.
Penulis dalam hal ini sebagai pendidik calon generasi penerus bangsa dari SMP Negeri 3 Pandawai di Desa Palakahembi Kecamatan Pandawai, memiliki rasa kepedulian untuk menyumbangkan sebuah pemikiraan yang mampu merubah perilaku beberapa peserta didik yang kurang memedulikan kebersihan dan kerapian diri. Penulis menganggap perlu adanya keterlibatan yang sirkulatif dan berkontinu dari berbagai pihak untuk menyukseskan sebuah program mulai dari melakukan pendekatan, pemantauan perkembangan, sampai pada tahap evaluasi. Pihak-pihak yang seharusnya terlibat tersebut adalah; pertama, peran dari pihak sekolah, peran Guru, dan peran orang tua.
Pertama, peran sekolah, di mana perlu menetapkan program terstruktur dalam rangka memberlakukan seluruh warga sekolah agar bersama-sama melakukan tindakan kolaboratif dan menyeluruh. Misalnya penerbitan aturan seragam yang jelas dengan sanksi edukatif misalnya terdapat ditemukan beberapa peserta didik yang melanggar, tugas membersihkan lingkungan sekolah bagi pelanggar, disertai penyediaan fasilitas cuci tangan, cermin, dan locker khusus untuk menyimpan perlengkapan kebersihan. Selanjutnya peran sekolah juga bisa menerapkan komitmen bersama agar bersama-sama konsiten membangun karakter kebersihan diri peserta didik dengan cara menginstruksikan kepada tiap pendidik dan tenaga kependidikan untuk menyisipkan pendidikan karakter dalam dokumen rencana pembelajaran (terintegrasi dalam kurikulum) maupun di luar rencana pembelajaran (non terintegrasi dalam kulikulum). Sekolah juga dapat menskejulkan program pemeriksaan rutin kebersihan kuku dan rambut, memastikan standar higienis terjaga. Di sisi edukasi, program pembiasaan seperti “Pekan Kebersihan” diisi dengan lomba kebersihan kelas, demo menyetrika pakaian seragam. Yang Tidak kalah penting, dukungan finansial untuk peserta didik kurang mampu diwujudkan dengan menyediakan seragam bekas layak pakai, serta distribusi paket kebersihan (sabun, sikat gigi, pemotong kuku) yang dananya bersumber dari BOS. Dengan langkah-langkah ini, sekolah tidak hanya menciptakan lingkungan yang mendukung kebersihan diri, tetapi juga dapat memberikan dukungan material kepada peserta didik yang berekonomi lemah sehingga dapat berpartisipasi aktif dalam membangun budaya hidup yang rapi dan sehat.
Kedua, peran guru, dalam hal ini guru memiliki peran sentral dalam kelas maupun di luar kelas yang membentuk kebiasaan bersih dan rapi dengan secara langsung mengintegrasikan pendidikan karakter ke dalam pembelajaran, seperti menyisipkan materi tentang pentingnya kebersihan dalam mata pelajaran misalnya, menjelaskan hubungan kebersihan diri dengan pencegahan penyakit pada mata pelajaran IPA, menghubungkan kerapian seragam dengan penghormatan pada norma pada mata Pelajaran Pkn, atau Pendidikan Agama mengutip ajaran tentang kebersihan sebagai bagian dari iman. Secara administratif peran guru juga dapat melakukan aksi nyata dengan cara menyisipkan kegiatan-kegiatan pembinaan karakter melalui rencana pembelajaran. Dengan mengintergrasi kurikulum ke dalam langkah-langkah kegiatan pembelajaran yang bisa dituangkan pada kegiatan awal (asessmen diagnostik, Ice-breaking, pemutaran video Inspiratif dll), kegiatan Inti (melalui monitoring kegiatan diskusi kelompok selama proses penerapan metode pembelajaran), dan melalui kegiatan penutup (kegiatan refleksi, dan penyimpulan materi secara bersama-sama). Tidak hanya itu, guru juga perlu melakukan pemantauan rutin, seperti memeriksa kerapihan seragam, kuku, dan rambut saat peserta didik masuk kelas, sembari menyediakan perlengkapan darurat seperti sisir atau pembersih sepatu di sudut kelas untuk memudahkan peserta didik memperbaiki penampilan. Di sisi lain, guru juga menjalin komunikasi aktif dengan orang tua melalui buku visitasi rutin untuk berdiskusi tentang perkembangan kebiasaan peserta didik, sekaligus mengajak orang tua memastikan seragam selalu siap dipakai dalam mendukung pembiasaan positif di rumah. Dengan kombinasi pendekatan edukatif, keteladanan, dan kolaborasi ini, guru menciptakan lingkungan yang mendorong peserta didik memahami bahwa kebersihan dan kerapihan adalah tanggung jawab bersama, bukan sekadar sebuah aturan formal.
Selanjutnya yang ketiga adalah peran orang tua, jika merujuk pada sebuah Jurnal di mana adapun yang bisa dilakukan orang tua agar membantu remaja menemukan identitas dirinya adalah dengan menanamkan nilai-nilai agama pada remaja, memberikan keteladanan yang baik (Rusuli, 2022:75). Tindakan partisipatif yang perlu dilakukan orang tua dalam menumbuhkan kebiasaan kebersihan diri anak di lingkungan keluarga adalah melalui pembiasaan di rumah, seperti memberikan contoh yang bisa dimulai dari diri sendiri orang tua, menciptakan rutinitas pagi bersama anak misalnya merapikan tempat tidur, menyetrika seragam, atau memotong kuku dan menyediakan alat kebersihan pribadi yang cukup (sabun, sikat gigi, handuk di tempat yang mudah diakses). Kolaborasi dengan sekolah juga diwujudkan dengan menghadiri pertemuan parenting untuk mempelajari strategi menumbuhkan kemandirian anak dalam menjaga kebersihan. Komunikasi terbuka antara orang tua dan guru juga dijaga melalui pelaporan perkembangan kebiasaan anak di rumah, baik melalui jurnal harian yang dibawa peserta didik maupun penerapan pembiasaan rutin di sekolah. Dengan sinergi ini, orang tua tidak hanya menjadi pendukung utama, tetapi juga mitra aktif sekolah dalam menciptakan kesadaran bahwa kebersihan dan kerapihan adalah tanggung jawab bersama yang dimulai dari lingkungan keluarga.
Dari uraian ini penulis meyakini apabila upaya-upaya bersama ini dilakukan secara rutin dan dan melibatkan dari berbagai pihak (sekolah, guru, orang tua dan peserta didik) maka akan berdampak pada perubahan yang sangat signifikan bagi peserta didik baik secara individu yang mengarah pada kemandirian dan tanggung jawab. Peserta didik tidak lagi menganggap kebersihan seragam atau penampilan sebagai beban, melainkan sebagai kebiasaan positif yang wajib dipenuhi. Misalnya saja kalau pembiasaan ini sudah melekat maka peserta didik akan secara rutin tumbuh kesadaran diri untuk mandiri menyetrika seragam sendiri, merapikan rambut sebelum berangkat sekolah, atau merapikan kamar tidur sebelum beraktivitas. Dampak kedua, Peserta didik yang berpenampilan rapi dan bersih akan semakin dihormati oleh teman sejawat, bahkan menjadi panutan dalam kelompok sebaya, sehingga meminimalkan praktik perundungan (bullying) terkait penampilan. Ketiga, dampak psikologisnya peserta didik akan mulai menunjukkan peningkatan kepercayaan diri (self-confidence), terutama saat harus tampil di depan kelas ketika diberikan tugas oleh guru. Dampak-dampak ini akan menjadi investasi karakter berkelanjutan, sehingga produktivitas persediaan sumber daya manusia yang dibutuhkan untuk membangun Indonesia yang lebih maju akan terpenuhi. Selain itu, peserta didik yang memiliki kecakapan hidup (life skills) seperti ini lambat tapi pasti akan tumbuh menjadi individu yang lebih dihargai di lingkungan masyarakat ataupun di lingkungan sosial lainnya.
Dafta Pustaka
Indonesia. (2003). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 78.
Nurhayati, D., & Suryanto, A. (2020). Dampak Kondisi Ekonomi Keluarga terhadap Perilaku Sosial Siswa SMP di Daerah Urban. Jurnal Pendidikan Sosial, 12(3), 45-60.
Rusuli, I. (2022). Psikososial Remaja: Sebuah Sintesa Teori Erick Erikson Dengan Konsep Islam. Jurnal As-Salam, Vol. 6 No. 1 Januari – Juni 2022.