Hidup manusia diwarnai dengan pertumbuhan dan perkembangan dari bayi, batita, balita, anak-anak, remaja, dewasa, tua hingga lansia. Sehingga esensi hidup adalah perubahan yang merupakan suatu keniscayaan. Begitu juga dengan kurikulum yang akan selalu mengalami perubahan sesuai tantangan zaman. Lebih lanjut bahwa perubahan itu harus bermakna dan berkelanjutan, sehingga perubahan kurikulum di Indonesia selalu dalam rangka continuous improvement tidak kembali ke titik 0 karena selalu merevitalisasi pokok-pokok pemikiran sebagai berikut:
- Peningkatan Mutu Lulusan yang Berdaya Saing dan Berdaya Sanding
Gen pemenang mengalir deras pada setiap kita yang terlahir di dunia ini. Jauh sejak masa pembuahan kita adalah sel sperma ayah yang “menang” berhasil membuahi sel telur ibu. Namun hidup tidak hanya persoalan kompetisi, perlu juga kolaborasi, tidak melulu soal lomba, tapi juga kerja sama. Bahkan untuk yang sangat sederhana seperti tertawa, kita membutuhkan orang lain sebagai tanda kesehatan jiwa. Sehingga untuk meningkatkan kualitas output pendidikan yang berdaya saing dan juga berdaya sanding perlu pembiasaan keterampilan-keterampilan kolaborasi sebagai berikut:
- Bekerja sama dengan teman yang berlatar belakang ekonomi, sosial, bahasa atau daerah yang berbeda
- Berbagi tugas dan berkontribusi dalam kelompok yang heterogen
- Menyampaikan pendapat dan menerima saran dari orang lain
Mutu alumni yang berdaya saing dan berdaya sanding harus terus dijaga. Sebagai umat beragama, dalam Islam misalnya kita diperintahkan untuk berlomba-lomba dalam membuat kebaikan[i] sekaligus diperintahkan tolong-menolong dalam mengerjakan kebajikan dan takwa[ii].
- Integrasi-Interkokensi Kurikulum
Adanya ilmuan-ilmuan seperti Ibnu Rusyd yang ahli dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan seperti filsafat, kedokteran sekaligus fiqih menunjukkan bahwa dalam dunia akademik sejatinya tidak mengenal dikotomi/membeda-bedakan ilmu. Semuanya dari Tuhan YME, ilmu agama dasarnya teks kitab suci merupakan Firman-Nya dan ilmu sains dasarnya alam semesta adalah Ciptaan-Nya juga, artinya semua adalah dari-Nya. Dalam pengembangan kurikulum di Indonesia antara satu mata pelajaran dengan yang lain baiknya terintegratif-interkonektif. Integrasi kurikulum maksudnya adalah menghubungkan antar sudut pandang satu mata pelajaran dengan pelajaran lainnya. Interkoneksi kurikulum maksudnya mengaitkan antara objek/data kajian satu mata pelajaran dengan objek/data kajian pelajaran lainnya.
Contohnya dalam mata pelajaran IPA mengkaji tentang bahaya HIV/AIDS, maka dalam pelajaran Pendidikan Agama secara terintegratif mengonfirmasi bahwa terkait penyakit menular seksual, Islam mengutamakan aspek pencegahan sebagaimana difirmankan dan janganlah kamu mendekati zina[iii]. Suatu aspek preventif/pencegahan yang luar biasa karena zina/pergaulan bebas merupakan salah satu sebab terkena penyakit menular seksual. Dengan pengembangan kurikulum yang demikian peserta didik akan semakin mantab keimanannya dan semakin ilmiah sudut pandang keilmuannya, sehingga akan melahirkan cendekiawan-cendekiawan “Ibnu Rusyd dan Ibnu Sina tahun 2025”.
- Proses Pembelajaran yang Bernuansa Taman Siswa
Konsep pembelajaran yang bernuansa taman siswa artinya bahwa dalam proses pembelajaran berhasil menumbuhkan rasa aman, nyaman dan menyenangkan. Hal ini menjadi pintu penentu sulit atau mudahnya suatu ilmu dipahami oleh peserta didik, yang salah satu kuncinya adalah dengan metode bermain. Lebih mendalam lagi harus dipahami bahwa dunia anak adalah dunia bermain, dan bermain berbeda dengan main-main.
Bermain | Main-main |
Fokus | Bercanda |
Memiliki aturan (role play) | Asal-asalan |
Bermakna dan memiliki tujuan (meaningful) | Absurd dan tanpa arah |
Contoh: Bermain kuis bola, role playnya adalah satu orang sebagai pelempar bola hanya boleh melempar ke arah badan teman dan harus sudah menyiapkan satu pertanyaan yang wajib dijawab oleh teman yang terkena lemparan bola. | Contoh: Main-main bola, tidak ada role play yang disepakati, asal melempar bola ke segala arah dan tidak ada tujuan seperti menanya atau menjawab bahkan bisa berakibat mengenai wajah teman atau memecahkan kaca. |
- Ganti Stigma Nakal Menjadi Akal dan Ganti Hukuman dengan Konsekuensi
Sebagai umat beragama kita diajarkan untuk senantiasa berpikiran positif dan berhati-hati menjaga lisan karena ucapan adalah do’a. Sebagai guru seharusnya memiliki mindset positif dan tidak menyebut peserta didiknya sebagai anak nakal. Mengingat sejatinya semua anak terlahir dalam kondisi sama potensinya yang perkembangannya tergantung faktor n. Dalam Matematika disebut sebagai variabel tak hingga, karena banyak faktor seperti orang tua, lingkungan, teman sebaya, dan media. Sehingga ketika faktor n itu bisa dihilangkan maka anak yang sebelumnya distigma NAKAL akan kembali menjadi AKAL.
Adanya stigma nakal kadang menyebabkan peserta didik harus dihukum. Berlakunya UU Perlindungan Anak, perkembangan media dan pergeseran pola pikir orang tua, menyebabkan tindakan menghukum peserta didik justru kadang menjadi kontra produktif. Anak tertekan psikologisnya, terluka fisiknya dan guru bisa dikriminalisasikan. Oleh karena itu sudah saatnya mengganti hukuman menjadi konsekuensi logis seperti contoh berikut:
Konsekuensi Logis | Hukuman |
Terkait dengan kesalahan sebagai hubungan sebab-akibat | Tidak berhubungan dengan kesalahan |
Memberikan pengalaman belajar jangka panjang | Tidak memberikan pengalaman belajar |
Contoh: Peserta didik yang belum mengumpulkan tugas poster diminta tetap menyusulkannya, tetapi nilai dari indikator ketepatan waktunya dikurangi sehingga ke depan akan termotivasi belajar lebih disiplin. | Contoh: Peserta didik yang belum mengumpulkan tugas poster dihukum lari mengelilingi lapangan 7 kali, karena kelelahan akhirnya tugas posternya tetap tidak jadi bahkan bisa muncul trauma. |
- Menuju Sekolah Mandiri: Badan Usaha Milik Sekolah (BUMS)
Menarik sumber pembiayaan di luar BOS (Bantuan Operasional Sekolah) berupa iuran orang tua bagi sekolah swasta adalah suatu keniscayaan. Hanya harus dipahamkan kepada orang tua bahwa biaya yang dikeluarkannya bukanlah membayar, tapi investasi pendidikan jangka panjang untuk anaknya. Selajutnya agar lebih inklusif terjangkau bagi semua latar belakang ekonomi masyarakat, sekolah bisa mengembangkan beragam BUMS seperti: Kantin dan Toserba, Antar Jemput Sekolah, Penyewaan Gedung/Aula Sekolah, Ternak/Pertanian Pekarangan Sekolah dan Bazar Produk Peserta Didik.
Akhirnya untuk mencapai perubahan kurikulum yang bermakna, peserta didik, guru, kepala sekolah dan orang tua harus bekerja sama sesuai tupoksi masing-masing. Peserta didik berperilaku seperti apapun guru tetap harus berpikiran positif bahwa sesuai potensinya mereka adalah anak yang berakal, bukan anak nakal. Jika mereka melanggar cukup berikan konsekuensi logis agar mereka belajar bertanggung jawab, sehingga nuansa pembelajarannya menjadi suasana taman siswa yang nyaman, aman dan menyenangkan. Selain karena bisa belajar dengan bermain, peserta didik juga mendapatkan materi pembelajaran yang saling terintegrasi, berkaitan, dan bermanfaat secara nyata dalam kehidupan sehari-hari. Dari sisi orang tua mereka tidak terlalu terbebani dan peserta didik memiliki banyak teman dengan latar belakang daerah, sosial dan ekonomi yang beragam karena sekolah mampu mensubsidi dengan BUMS yang dimiliki. Sehingga lahirlah output kurikulum yang berdaya saing dan berdaya sanding, mampu berkompetisi dan mampu berkolaborasi.
[i] Q.S. Al-Baqarah (1): 148.
[ii] Q.S. Al-Maidah (5): 2.
[iii] Q.S Al-Isra’ (17): 32.