Saratus Ribu Rupiah – Cerpen Widi Hartono

puisi guru

Saratus Ribu Rupiah
Karya: Widi Hartono


“Saat itu Aku adalah manusia yang ragu-ragu untuk mengejar cahaya atau bayangan. Keduanya begitu indah sampai membuatku tidak bisa memutuskan”.

Perkenalkan, namaku Widi. Nama yang sangat manis jika dimiliki oleh anak perempuan, juga nama yang sangat menjanjikan untuk seorang laki-laki. Aku adalah seorang bapak guru pemula. Ya, baru mengajar empat tahun sebagai guru honor di sebuah sekolah tingkat Aliyah di pedesaan. Usiaku 28 tahun, sangat ideal untuk bergerak aktif, tubuhku setinggi pintu rumah-rumah di desa, tidak kurus tidak gemuk, kulit sawo matang.

Aku merupakan sarjana yang hampir saja tidak bisa menyelesaikan kuliahnya. Bagaimana tidak, bagiku anak buruh tani yang banyak kekurangan ini bisa kuliah adalah hal yang hampir mustahil bisa kujalani. Ibuku berusaha sangat keras untuk membiayaiku kuliah sekaligus membiayai kehidupan keluarga kecilku di Desa. Aku juga memiliki dua adik perempaun yang masih kecil, ada yang sekolah kelas empat SD dan ada yang belum sekolah karena usianya masih enam tahun dan memang karena ibu tidak mampu menyekolahkan ketiga anaknya sekaligus.

Ayahku kemana ? dia tidak meninggal, tapi dia menghilang pergi meninggalkan keluarganya ke Kota selama bertahun-tahun tanpa ada kabar apapun. Kata orang-orang di Desa dia sudah punya keluarga baru disana. Ya, aku tidak mau tahu juga tentangnnya.

Sekarang dengan rasa syukur yang sangat tinggi Aku mengabdikan diriku di sekolah yang ada di Desaku. Sewaktu kuliah dulu Aku bertemu dengan orang-orang hebat yang sangat menginspirasiku untuk menjadi guru yang tulus dalam mendidik anak-anak.

Bukan menyombongkan diri, di sekolah Aku berusaha menjadi guru yang baik dan tulus. Di pagi hari sampai siang Aku mengajar di kelas dan kalu ada waktu luang, sering kuhabiskan untuk menemani murid-muridku bertukar pikiran membimbing mereka dalam menghadapi persoalan hidup di sekolah maupun di rumah. Kemudian sore harinya Aku datang kembali ke sekolah untuk mengisi ekstrakurikuler. Di dalam hati Aku niatkan untuk mengalihkan kesibukan anak-anak kepada hal-hal positif. Sebab anak-anak di Desaku, sepertinya memerlukan alternatif hiburan di masa-masa remaja mereka, karena fasilitas umum di Desa sangat terbatas. Malah kalau anak-anak yang sering disebut nakal mereka berani pergi berkendara ke Desa lain untuk mampir di warung-warung malam. Mereka bilang sebagai hiburan.

Namun semua kesibukanku di sekolah tiba-tiba berubah saat ibuku mulai sakit-sakitan. “Ibu terlihat pucat sekali hari itu “Ibu istirahat dulu ya bu, nanti Aku yang ke sawah” kataku pada Ibu yang sedang bersiap-siap bekerja. “Tidak usah Wid, kamu ke sekolah saja, Ibu baik-baik saja kok” begitulah selalu sahut Ibu untuk melegakanku. Tapi tentu saja Aku sangat mengerti bagaimana kondisinya sekarang dari mata sayu dan keringat dingin di keningnya. “Tidak Bu, hari ini Aku izin dulu di sekolah. Lagi pula jam pelajaranku hanya dua kelas untuk hari ini”. Kemudian Ibu menghela nafas. “Ya sudah kalau Kau maunya begitu, Ibu akan istirahat hari ini”. Pembicaraan kami pun berakhir dengan berbaringnya Ibu di kasur kapas kami yang sudah tipis.

Setelah hari itu ternyata kondisi Ibu semakin memburuk. Aku menggantikan tugas Ibu di sawah dan sering meminta izin tidak hadir ke sekolah. Karena jujur saja, pendapatan sebagai buruh tani lebih banyak dari pada gajihku sebagai guru honor. Aku harus dengan berat hati mengurangi pertemuanku dengan anak-anak di sekolah. Sebab, ibuku yang sakit dan kedua adikku perlu biaya untuk menyambung hidup.

Kemudian beberapa minggu berlalu. Sore hari di sawah, murid-muridku datang menghampiri. “Pak Wid, sekolah terasa sepi kalau gak ada bapak” kata Sani murid yang paling banyak bicara di kelas. “Ya sebenarnya pak Wid juga merindukan kalian, apalagi kalau sore-sore begini biasanya kita main bola bareng. Tapi, ya begitulah, kalian pasti paham juga kondisi Bapak sekarang bagaimana” balasku memberi pemahaman pada mereka. “Eh pak Wid tahu gak, si Riski kemarin ke Desa sebelah lagi, kalau ada Bapak, dia lebih sering di sekolah, sekarang dia balik lagi ke kebiasaan lama” ucap salah satu muridku Rika. Sore itu Aku mendengarkan cerita-cerita mereka yang sangat menarik dan membuatku merindukan kebersamaan seperti dulu lagi.

Sepulang dari sawah, kudapati Ibuku pucat tak bergerak. Aku benar-benar khawatir, kukira ia telah meninggal. Dengan panik kuletakkan telingaku di dadanya untuk memastikan suara jantungnya. Aku sangat lega saat mendengarnya masih berdetak. Kemudian Aku bergegas membawa Ibu ke Puskesmas dengan menggendongnya.

Di puskesmas Ibuku didiagnosa memiliki penyakit liver. Pihak Puskesmas menyuruhku untuk membawa Ibu ke rumah sakit di Kota. Aku terdiam dan berpikir bagaimana Aku ke Kota untuk menemui Ibu, sementara Aku tidak punya cukup tabungan untuk biaya hidupku nanti menemani Ibu di rumah sakit, belum lagi bagaimana dengan kedua adikku. Meski pun biaya rumah sakit dapat ditanggung BPJS, tapi aku tahu biaya hidupku menemani Ibu tidak akan BPJS tanggung.

Di tengah kebingungan itu aku mencoba mendatangi kepala sekolah untuk meminjam uang. (tok. . .tok. . .tok. . .) “Assalamu’alaikum Pak Jihan” Ku ketuk pintu Pak Jihan beberapakali namun tidak ada jawaban, mungkin beliau sudah tidur sebab ini sudah jam 10 malam. Kemudian Aku mendatangi Ibu Susi karena beliau adalah guru PNS yang lumayan berada. “Bu Susi, sebelumnya saya minta maaf karena mengganggu ibu malam-malam”. Ucapku. “ iya, kenapa ya Pak Widi ?” tanya Bu Susi sedikit khawatir. “ Begini Bu, Ibu saya harus dibawa ke rumah sakit, tapi untuk biaya hidup saya disana dan adik saya disini, uang saya tidak cukup Bu, boleh gak Bu saya pinjam ke Ibu, nanti kalau ada uang saya akan ganti” ucapku merasa tidak enak. “Mmmm. . . maaf ya Pak Widi, kalau untuk meminjamkan uang saya belum bisa, karena saya juga kebetulan ada yang harus saya bayar”. Ibu Susi menolak permintaanku dengan halus. “Tapi ini bisa kamu pakai buat ongkos nanti”. Ibu Susi memberiku uang Rp. 100.000. Lalu Kutemui beberapa orang guru lain yang Kuanggap dapat membantu. Ternyata hasilnya sama, mereka tidak memberi pinjaman, mereka memberiku uang Rp. 50.000 dan Rp. 100.000 sebagai ongkos.

Mendapat perlakuan seperti ini membuatku sedikit tertampar dengan kenyataan. Seberjuang apapun Aku demi sekolah nampaknya tidak terlalu berpengaruh terhadap prilaku orang lain kepadaku. Orang-orang hanya akan fokus menghadapi masalah mereka masing-masing, mereka sedikit enggan untuk masuk ke dalam masalah hidup orang lain. Kejadian ini membuatku sadar, menjadi guru yang tulus ternyata benar-benar berat. Pasalnya saja disaat kesusahan seperti ini aku juga mengharapkan balasan dari orang lain.

Kemudian besok harinya Aku berangkat pergi membawa Ibu dan kedua adikku ke rumah sakit. Syukurlah pihak rumah sakit memahami kondisiku dan mengizinkan Aku menginap membawa adik-adikku untuk menemani Ibu.

Hampir seminggu sudah Ibu dirawat, bekalku yang semakin menipis memaksaku untuk bekerja sampingan. Ibu kutitipkan pada adik-adikku selama Aku bekerja. Sepulang Aku bekerja dan datang ke rumah sakit ternyata ada Rika, Riski dan Sani mengunjungi. “Wah, dapat ongkos dari mana kalian sampai datang kesini?” candaku pada mereka. “Tenang Pak, ini hasil nabung, bukan hasil nyolong” Sani menjawab. Aku sedikit lega saat bertemu dengan mereka, seolah-olah penat dan bebanku berkurang setengahnya. “Bapak, ini berkas-berkas Bapak, maaf kami masuk ke rumah Bapak tanpa izin” Rika menyerahkan berkas-berkas administrasiku. “Lho, ini untuk apa Rika ?” tanyaku sedikit penasaran. Sambil membayangkan mereka pasti masuk lewat pintu belakang rumahku yang sangat lemah keamanannya itu. “Pak Widi harus ikut tes PPPK tahun ini, Aku juga pinjamkan laptop dari Pamanku untuk keperluan Pak Wid” jawab Rika.

Rupanya mereka bermaksud menyuruhku untuk mendaftar tes sebagai Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja. Mulia sekali hati mereka, rasa peduli dan perhatian yang begitu tinggi mereka berikan padaku. Sedikit malu Aku meneteskan air mata saat itu. Tentu Aku berusaha untuk tidak mengecewakan mereka dengan hasil Tes nanti.

Dikondisi itu Aku dihadapkan kembali kepada kenyataan, bahwa ternyata segala kebaikan yang kita lakukan bukannya sia-sia, hanya saja kebaikan akan datang kembali pada kita dengan wujud yang paling kita harapkan. Meskipun Aku sempat bingung memastikan apakah cahaya lebih indah dari gelap atau sebaliknya, yang jelas sekarang Aku hanya ingin berdiri memastikannya sampai akhri hidupku.

1 September 2023, kini Aku sedang berada di depan kantor Kementerian Agama memakai seragam biru bercorak kuning keemasan sambil memegang selembar kertas SURAT KEPUTUSAN PEGAWAI PEMERINTAH DENGAN PERJANJIAN KERJA bertuliskan namaku. Kubawa kertas itu menuju rumah kecilku di Desa dan menunjukannya pada wanita tua yang berbaring di kasur kapas tipis. Dia tersenyum bangga dan Aku menangis tersedu-sedu memeluknya.

Kemudian, tiba-tiba ada yang mengetuk rumah kami. Kubukakan pintu, muncullah temanku semasa SMP yang bercerita bahwa anaknya mengalami kecelakaan. Lalu dia mengatakan mau meminjam uang kepadaku. Danpada akhirnya kukatakan “Mohon maaf untuk saat ini Aku belum punya uang untuk memberikan pinjaman, ini Aku ada sedikit uang semoga bisa membantu” Kuserahkan Rp. 100.000 padanya.

Tagar:

Bagikan postingan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *