Segelintir Harapan
Karya: Jodi Okta Pranaya
Setiap hari dalam hidup rasanya sama saja. Tak ada yang berbeda. ‘Berbeda’. Namun berbeda seperti apa? Hatiku bingung menjawab pertanyaan itu. Rasanya kita seperti dipaksa berjalan melewati jalanan yang kosong. ‘Hampa’. Waktu terus berjalan mendorong kita untuk selalu maju ke depan, walaupun kita tak siap. Diriku yang masih kecil, dipaksa maju oleh waktu dan dipaksa menetap oleh demi kehidupan. Entah sampai kapan.
Saat aku kanak-kanak aku berlarian dengan kaki-kaki yang diberi kapas. Menerpa hujan bersama angin .Saat aku remaja aku berlarian dengan kaki-kaki yang diberi pemberat. Melawan hujan. Menerpa angin. Saat aku dewasa aku berlarian dengan kaki-kaki yang diberi pemberat, sambil membawa beban di punggungku. Melawan hujan dan angin , menerpa badai. Entah sampai kapan. Membuatku berencana mengakhiri ini semua.
Di kamar rumahku, aku membawa tali mengikatnya pada paku bekas foto masa kecilku. Setelah aku mengikatnya aku naik menggunakan kursi, melihat lubang pada tali yang terkana cahaya dari lubang ventilasi membuatku teringat suatu hal.
Dua Minggu lalu saat aku pergi ke taman untuk bersantai dengan seorang temanku, terdapat seorang nenek tua renta yang sepertinya umurnya sudah tak lagi lama. Terlihat ia berjalan tertatih-tatih sembari menawarkan barang dagangannya.
“Ken, lihat nenek tua itu!”
“Kasihan sekali ia, ayo kita ke sana!”
Kami pergi menuju sisi lain dari taman ini untuk menghampiri nenek itu.
“Akhirnya ada yang datang. Telah lama aku menawarkan dagangan ini namun tak ada yang kunjung membeli.” Ucap nenek sembari menatap kami dengan penuh harapan.
“Nenek mengapa masih berjualan nek? Seharusnya seusia nenek sudah bersantai di rumah beristirahat. Maaf jika kamu lancang.”
“Tak apa nak! Nenek berjualan karena nenek senang saja. Saat mendapatkan uang nenek buat untuk menabung. Nanti saat cucu nenek main ke rumah, ada sesuatu yang bisa nenek beri untuknya.”
“Tapi, nek-“
“Tak apa nak. Melihat senyum yang ada di wajah cucuku saja, nenek sudah senang. Rasanya lelah yang nenek dapatkan saat berdagang seketika lenyap, dan nenek jadi lebih kuat untuk ‘bertahan hidup’ nak.”
Kami Lekas membeli dagangannya , selepas itu kami kembali lagi menuju sisi lain taman ini. Di sana kami berbincang sembari duduk di kursi taman.
“Ken, menurutmu nenek yang tadi mengapa bisa ‘sekuat itu’?
“Ohh. Menurutku Itu karena nenek itu memiliki harapan.”
“Harapan? Jangan bercanda Ken, aku serius nih!”
“Dengar yah wahai Elvano temanku yang paling ganteng sejagat raya. Manusia itu memiliki harapan. Harapan itulah yang membuat si manusia bisa hidup hingga sekarang. Nenek itu berharap agar ia bisa membahagiakan cucunya dengan memberinya sesuatu, itulah yang membuatnya mampu ‘sekuat itu’.”
“Halah Kenn. Kamu kan masih hidup nih sampai sekarang, lalu apa harapan yang membuatmu bisa hidup sampai sekarang ini?”
“Kalau aku hanya untuk menikmati mie disaat hujan, menikmati film yang aku tonton , dan pastinya untuk menemani ‘seseorang’.”
“Seseorang siapa? Pacar yahh?”
“Bukan, tapi kamu!”
Ken. Senyumanmu waktu itu aku masih ingat. Engkau mengatakan hal itu sembari tersenyum kepadaku seolah memberikanku harapan. Senyumanmu yang terpancar oleh sinar senja, memberikanku harapan.
Saat aku melihat ini semua. Melihat kursi yang aku pijak, melihat lubang pada tali yang hendak aku ikatkan pada leherku aku merasa bahwa aku tak pantas melakukan ini. Mungkin kau benar Ken. Harapanlah yang membuat seseorang bisa bertahan. Saat ini aku telah menemukan harapanku. Yakni untuk selalu bisa bersama dan menemanimu. Untuk bisa bersantai sambil mengobrol ringan di taman.
Rasa hampa dan kekosongan yang ada di dalam hatiku sepertinya telah terisi oleh harapan. Perlahan-lahan kehampaan dan kekosongan itu terbang dari dalam diriku, dan sepertinya waktu tak akan pernah memaksaku untuk maju lagi sebab aku yang maju dengan sendirinya. Sepertinya juga kehidupan tak akan membuatku terpaksa bertahan lagi, karena aku menemukan sebuah harapan yang bisa membuatku nyaman dalam menetap pada kehidupan.