Speak Loudly!
Karya: Laeli Nur Fatimah
“Iya ini gue masih pelajari materinya lagi. Abis ini diundi siapa yang maju pertama, doain aja semoga lancar.”
Gadis dengan rambut ikal itu menutup sambungan telepon. Ia terus menggigit bibir bawahnya sambil membaca materi yang akan disampaikan pada simulasi total pelatihan pemandu kegiatan Latihan Kepemimpinan Manajemen Mahasiswa (LKMM) di kampusnya. Menjadi pemandu LKMM memang sudah menjadi cita-citanya sejak awal masuk kuliah. Ia mempertaruhkan impian dan usaha kerasnya selama tiga hari pelatihan—yang diadakan mepet dengan jadwal ujian—pada simulasi total itu.
“Temen-temen, semua nama kalian aku lipat di sini dan udah aku acak. Jadi nggak ada kecurangan, yaa. Aku ambil satu ….”
Hening, seisi ruangan berdoa dalam hati agar nama mereka ada di paling bawah dari tumpukan lipatan kertas tersebut.
“Zeya, silakan langsung ke lantai tiga, yaa!” Lelaki jangkung tersebut pun meninggalkan ruangan setelah merobek kertas dengan nama Zeya di tangannya.
“Gu-gue banget, nih?”
Seluruh peserta tampak mengembuskan napasnya, mereka kembali fokus pada laptop dan catatan masing-masing untuk mempelajari materi yang akan disampaikan. Beberapa dari mereka juga menatap Zeya dan tersenyum dengan maksud menyemangatinya.
Langkah demi langkah terlewati, Zeya kini telah berada di ruangan simulasi dengan audience yang tak pernah ia sangka sebelumnya. Ada presiden mahasiswa dan wakilnya di sana.
***
Zeya fokus memperhatikan Farah yang sedang berbicara sebagai pemandu pelatihan LKMM di depan kelas. Sesekali ia tertawa dan tersenyum karena gaya Farah dalam memandu forum yang terkesan lucu dan tidak membosankan. Dalam hatinya, Zeya merasa iri. Betapa Farah—yang merupakan teman sekelasnya—terlihat sangat leluasa memainkan perannya sebagai pemandu.
“Jadi bener banget kata Galia tadi ya, temen-temen. Manajemen diri merupakan cara untuk mengelola sesuatu yang ada dalam diri kita. Mulai dari cara berpikir, keadaan psikologis dan emosional, yang tujuannya adalah memberi pengaruh baik untuk dirinya sehingga dapat mencapai kesuksesan.”
“Lalu apa aja sih, langkah yang harus dilakukan dalam manajemen diri. Ada yang tau?” Farah mulai berjalan mendekati peserta.
“PDCA nggak, sih?” gumam Zeya pada dirinya sendiri.
“Apa Mba Zeya? PDCA?” tanya Farah.
Zeya lantas menegakkan tubuh saat Farah menyebut namanya, ia terkejut bukan main. Apakah suaranya tadi kencang hingga terdengar oleh Farah? Zeya mengatupkan mulut, dalam hatinya ia memohon supaya Farah tidak terus-terusan menunjuknya. Zeya terlalu takut untuk mengungkapkan jawaban tersebut di depan sana.
“Iyaa PDCA, Kak,” sahut seseorang di belakang Zeya.
“Oke, Bara. Coba sih jelasin ke depan, apa yang dimaksud PDCA itu?”
Bahunya mulai menurun, Zeya bernapas lega. Setidaknya ia tidak harus mempermalukan wajahnya jika saja jawabannya nanti salah. Ia memperhatikan Bara yang tanpa ragu berjalan ke depan, meraih mikrofon yang diberikan oleh Farah.
“Plan, Do, Check, Action. Itu kepanjangan dari PDCA, kak.”
“Boleh dijelaskan secara singkat?” pinta Farah lagi.
“Ehm … yang saya tahu, saat kita akan melakukan sesuatu, kita harus merencanakannya dengan matang. Kemudian memeriksa lagi apakah mungkin ada kesalahan dalam perencanaan dan pelaksanaannya? Jika ada, maka dilakukan action atau tindak lanjut untuk membenahi permasalahan tersebut.”
“Kita? Gue enggak kayaknya,” sahut Farah yang lantas membuat Bara tersenyum malu dan diiringi tawa oleh peserta lainnya.
“Oke, makasih yaa, Bara. Jawabannya tepat sekali ….”
Farah melanjutkan penyampaian materi dengan Bara yang tetap berdiri di sana sambil melakukan tanya jawab. Zeya kembali kagum dengan Bara, ia sedikit merasa malu dan insecure melihat kecakapan adik tingkatnya itu dalam public speaking.
“Waktunya udah habis kata panitia, tuh. Ketemu lagi lain kali, ya!” seru Farah saat melihat time keeper di belakang kelas menyilangkan tangannya. Seisi ruangan lantas bersorak senang dan membuat Farah tertawa.
“Jangan harap kalian pulang tanpa simulasi, Ha-Ha-Ha,” ucapnya penuh penekanan, kegiatan LKMM memang terkenal dengan simulasinya.
“Nggak susah kok, Guys. Aku mau kalian merenung, memikirkan perjalanan kalian selama menjalani masa pelatihan kepemanduan ini. Apakah kalian memanajemen diri dengan benar? Apakah perencanaan yang kalian buat sudah matang? Selama dua hari pelatihan ini, apakah ada kesalahan dalam menjalaninya? Lalu apa tindak lanjut kalian atas kesalahan itu? Silakan buat daftar dari poin-poin tersebut, lalu kumpulkan di Classroom sampai nanti pukul sembilan malam, yaa! Aku tunggu, bye!” Farah lantas kembali duduk setelah memberikan mikrofon kepada moderator.
Zeya menopang dagunya dengan tangan, menatap ke arah jendela yang menampilkan birunya gunung di seberang sana. “Rencana? Jelas jadi pemandu. Gue udah pelatihan dua hari ini, kesalahannya …?”
“Lo terlalu takut buat ngomong!” ujar Bara yang tiba-tiba duduk di sampingnya saat moderator memberikan waktu istirahat selama lima menit untuk mereka.
Dagunya terangkat menilik sosok yang tiba-tiba menyahuti monolognya.
Zeya menatap Bara lamat-lamat, sejak kapan anak itu memperhatikannya?
“Masa?” tanya Zeya basa-basi.
“Public Speaking tuh nggak bisa bagus kalo cuma jadi angan-angan lo doang. Lo tau kan, kalo nanti ada simulasi total? Yakin bisa kalo nggak latihan dari sekarang?”
“Kenapa lo jadi nyeramahin gue?” protes Zeya tak terima.
“Ya terserah lo aja. Tadi nggak mau maju karena takut malu kalo jawaban lo salah, kan? Tapi pas gue jawab, ternyata bener. Coba aja tadi lo yang jawab.”
“Oh iya … waktu simulasi total nanti, lo nggak bisa nolak maju karena takut penjelasan lo salah. Pemandu itu memandu, lo harus inget itu.” Bara lantas bangun dari duduknya dan bergegas keluar dari ruangan itu.
Zeya mengembuskan napasnya, bagaimana bisa ia diceramahi oleh adik tingkat? Namun, apa yang dikatakan Bara benar adanya. Jika ia tak pernah berani bicara, maka ia takkan berhasil menjadi pemandu. Sampai kapan pun.
***
Kedua netranya tak berpindah menatap lapangan kosong di hadapannya. Zeya tengah duduk bersama seseorang di sebuah gazebo sederhana. Ia berusaha sebisa mungkin menampilkan wajah yang amat tenang. Walaupun jantungnya berdebar dua kali lebih cepat, karena merasa gugup duduk bersinggungan dengan lelaki di sampingnya.
“Gimana tadi, lancar? Sorry ya, gue telat dateng.” Lelaki itu membuka pembicaraan terlebih dahulu, seperti biasa.
“Nggak papa, lagian lo nggak ada urusan juga di sini,” jawab Zeya.
“Menurut lo, kira-kira gue tadi lancar nggak?” tanyanya sambil menatap kedua netra lelaki tersebut.
“Maksud lo? Gue udah bela-belain nyewa anak kos buat dengerin materi lo jam sebelas malem, terus lo nggak lancar gitu?” ujarnya yang membuat Zeya terkekeh.
“Gue tadi lancar, lancar banget malah. Kak Hanan sama Kak Ziyad dateng juga jadi audience, tapi gue malah enjoy karena mereka antusias dengerin gue walaupun sambil makan nasi padang.” Zeya mulai menceritakan kejadian selama simulasi tadi.
“Kak Hanan presma?” tanya lelaki itu terkejut, Zeya hanya mengangguk.
“Gila kalo ini mah, saingan lo bukan gue lagi,” sambungnya.
“Kak Hanan kritis banget gila nanyanya, gue kewalahan. Tapi syukur deh, karena gue jadi ikutan mikir kritis.”
Zeya terdiam setelah mengatakan hal tersebut. Ia tampak berpikir untuk mengucapkan kalimat berikutnya. “Bar, thanks ya! Gara-gara lo gue jadi menyadari banyak hal. Kalo bukan karena lo sksd ke gue waktu itu, gue nggak bakal nyadar kalo gue terlalu takut buat ngomong. Dan mungkin nggak bakal lolos juga simulasi ini.”
“Itu bukan kebetulan gue ngingetin lo,” sahut Bara sinis.
“Iya gue tau, lo ikut LKMM karena ada gue, kan? Lo juga ikut pelatihan ini karena gue. Lo secret admirror gue selama ini. Bener, kan?” Zeya menyenggol bahu Bara yang membuatnya salah tingkah.
Setelah melewati tiga hari pelatihan yang melelahkan, Bara memilih untuk mengundurkan diri menjadi pemandu. Ia sedang bersiap-siap untuk menyalonkan diri sebagai ketua Himpunan Mahasiswa Jurusan. Keikutsertaannya pada pelatihan itu pun karena ingin mendekati Zeya, dengan mengikuti kegiatan yang diikuti oleh gadis yang membuatnya tahu rasanya mencintai seseorang.
“Ya udah, karena lo udah tau. Pacaran aja, yuk! Toh, lo jomblo dari dulu.”
“Dih ….” Jantungnya berdegup lebih kencang lagi, tetapi Zeya justru merespons dengan kata itu.
Setelah terdiam beberapa detik, Zeya akhirnya memutuskan sesuatu. “Ya udah boleh.”
Ucapan itu sukses membuat Bara tersenyum lebar sambil menatapnya. Kemudian ia memeluk Zeya. Pelukan hangat yang belum pernah ia berikan pada siapa pun.
“Tahun ini jadi tahun terbaik gue tau, nggak?” ujar Zeya.
“Karena pacaran sama gue?” Zeya menyubit perut Bara dan membuatnya mengaduh kesakitan.
“Ya kali ….” Zeya memutar bola matanya malas.
“Gue jadi pemandu abis ini. Keren kan?”
“Pemandu yang bahagia banget karena nggak jomblo lagi,” sambungnya.
Zeya sadar, berani bicara membuatnya bisa mendapatkan sesuatu yang ia mau. Berani bicara membantunya meraih impian. Dan karena keberaniannya untuk bicara, ia menemukan seseorang yang kini menjadi cinta pertamanya. Ya … setelah peristiwa Bara menegurnya saat pelatihan, Zeya memberanikan diri untuk menemuinya lagi. Hingga kini, mereka memiliki status baru yang lebih dari sekadar teman pelatihan.