Surat Cinta untuk Gaza

Di Antara Debu, Kami Menuliskan Doa
untuk Gaza, yang tak pernah diam dalam sunyi
©Neng Dewi Ratna

 

Di antara runtuhan langit dan serpih sejarah,
kami bukan peluru, bukan senapan,
tapi doa yang mengalir dari urat sunyi
menuju tanah yang berkali-kali dilukai pagi.

Kami tidak tahu bagaimana cinta bisa bertahan
dalam rumah tanpa atap, roti tanpa gandum,
namun Gaza tetap mengajar dunia
bahwa harapan tidak butuh dinding untuk tumbuh.

Bendera tak harus selalu dikibarkan,
kadang ia hidup di mata anak-anak
yang menatap langit dengan luka,
namun masih percaya pada kata “besok.”

Jika perang adalah bahasa bisu yang dibunyikan,
maka puisi ini adalah surat cinta
yang ditulis dengan tinta paling lambat:
air mata yang tidak pernah sempat jatuh.

Kami datang bukan membawa solusi,
hanya kata yang dipelintir dari simpati,
agar dunia tahu,
bahwa tidak semua suara lahir dari teriakan.

Lihat, Gaza tidak pernah benar-benar sendiri—
seluruh puisi hari ini memilih lahir
demi satu nama yang tertinggal di debu:
manusia.

Dan jika nanti malam turun lagi bom di atapmu,
ingatlah, ada langit lain yang memelukmu diam-diam,
ada pena-pena asing yang ikut berdarah,
meski tangannya tak menjangkau reruntuhan.

Karena cinta,
kadang cukup disampaikan oleh mereka
yang tak pernah kau lihat wajahnya,
tapi tetap memilih duduk bersamamu, dalam doa.

Tagar:

Bagikan postingan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *