Takdir Cinta
Karya: Anuk Kuswanti, S.Pd.
Prihatiningsih, nama lengkapku. Prihatin berasal dara Bahasa Jawa yang artinya hidup dalam kesederhanaan. Ya, berasal dari keluarga petani harus hidup sederhana untuk sebuah tujuan mennggapai cita. Ayah ibuku punya cita-cita yang mulia. Beliau ingin anaknya menjadi guru, mengabdi pada negara untuk turut mencerdaskan bangsa. Begitu pun aku. Alhamdulillah, keinginan itu terwujud. Aku bisa menyelesaikan kuliah di salah satu perguruan tinggi negeri jurusan pendidikan. Tepat lima tahun aku menyelesaikan kuliahku. Selanjutnya, aku mengabdikan diri menjadi guru di sebuah madrasah tsanawiyah, sekolah yang setaraf SMP (Sekolah Menengah Pertama).
Selama 18 tahun aku membersamai murid-muridku, banyak suka dan duka yang kualami. Banyak pelajaran hidup yang dapat kuambil dari kisah mereka. Tahun 2019 sampai dengan 2021 wabah pandemi melanda negeri ini. Memakai masker menjadi salah satu protokol kesehatan yang harus dipatuhi semua lapisan masyarakat. Demikian pula di dunia pendidikan, guru, siswa, dan seluruh warga sekolah harus mematuhi hal ini.
Dengan diberikannya vaksin, berangsur-angsur kekebalan masyarakat terhadap virus tersebut semakin bagus. Hingga pada tahun 2021, sudah dilaksanakan kembali pembelajaran tatap muka. Namun, bagi siswa yang sakit flu atau batuk tetap diharuskan memakai masker.
Aku mempunyai murid yang ketika pandemi dan pembelajaran daring duduk di bangku kelas VII. Nah, ketika tahun ajaran 2023/2024, ia sudah berada di kelas IX. Namanya Ambar Sulistyani. Nama itu cocok disandangnya. Wajahnya sulistyo, kata yang berasal dari Bahasa Jawa yang maknanya cantik. Ambar artinya wangi atau semerbak. Nama yang disematkan dengan harapan kelak ia menjadi wanita yang cantik dan mengharumkan nama keluarga.
Wajah ayunya dengan lesung pipi sering aku lihat saat zoom meeting ataupun lewat google meet kala pembelajaran masih daring. Ketika sudah diizinkan tatap muka, justru aku tidak pernah melihat wajah ayunya karena semua siswa harus memakai masker. Aku tidak mengajar kelas VIII sehingga memang tidak selalu bertemu langsung dengannya.
Sampai berada di kelas IX, tahun 2023, ia masih mengenakan masker. Saat kelas IX ini aku bertemu lagi dengan dia karena aku mengajar di kelasnya. Berawal pertemuan di kelas IX inilah, sebuah kisah terurai penuh hikmah dan pelajaran hidup yang luar biasa.
“Selamat bertemu, bertatap muka dengan Ibu, ya anak-anak. Ibu dulu mengajar kalian saat kelas VII, ya. Itu pun masih daring, baik lewat google meet, zoom, maupun WA. Dulu ibu justru bisa melihat wajah-wajah kalian. Sekarang, kok masih banyak yang pakai masker, ya,” sapaku saat pertama kali masuk di kelas IX A.
“Sudah nyaman pakai masker, Bu,” jawab Abi.
“Takut kelihatan wajah aslinya, Bu,” timpal Raka.
“Ya, bagi kalian yang sehat-sehat saja, tidak sedang sakit flu atau batuk, sudah dibolehkan lepas masker lho. Ibu juga ingin lihat rupa cantik dan tampan kalian,” jawabku sambil tersenyum.
“Iya, Bu. Itu yang masih pakai masker disuruh melepas, Bu. Saya belum pernah lihat Ambar sama Amanda, lho Bu,” sahut Galang yang juga penasaran.
“Cie … cie …, pilih satu aja, dong. Jangan dua-duanya,” seloroh Thania.
“Ya, sudah, nanti tiba waktunya semua mau melepas masker, ya,” jawabku menyudahi perdebatan ini.
Pembelajaran berlangsung lancar sesuai harapan. Sesekali aku sempatkan mengamati dan melontarkan pertanyaan pada Ambar. Setiap pertanyaan pasti dapat ia jawab dengan lancar dan sempurna. Muridku yang satu ini memang cerdasnya di atas rata-rata teman sekelasnya.
Hari Senin jam ke-3 sampai dengan ke-4, kembali saya mengajar di kelas IX A. Pertemuan kali ini membahas materi Teks Pidato Persuasif. Pada materi ini, aspek keterampilan berupa praktik melakukan pidato persuasif. Kriteria penilaian meliputi kelancaran, intonasi, ekspresi, gesture, bahasa, dan volume suara. Aku sampaikan kepada murid-murid bahwa untuk menilai ekspresi, semua harus melepas masker ketika berpidato.
“Anak-anak, agar Ibu dapat menilai ekspresi wajah kalian ketika berpidato, maka Ibu harapkan kalian lepas masker, ya. Tentunya kalian bisa lebih leluasa berekspresi,” jelasku sebelum penilaian dimulai.
“Asyik!!! Saatnya aku lihat wajah …,” sorak Galang menyambung kalimatku.
“Ambarrrrr … !” Sambung beberapa anak serempak sebelum Galang menyelesaikan kalimatnya.
Suasana kelas seketika menjadi agak gaduh. Di kelas IX A ini, ada lima siswa yang enggan melepas masker, yaitu Ezar, Ambar, Hilda, Amanda, dan Kiara. Hanya satu cowok saja di antara kelima anak ini. Ezar, anak yang pendiam. Sementara empat cewek ini sebenarnya tidak pendiam, mungkin mereka memang sudah nyaman memakai masker.
Satu per satu murid kupanggil untuk menunjukkan kebolehannya berpidato. Pada akhirnya giliran Amanda, ia bersedia melepas masker. Demikian pula Hilda, Kiara, dan Ezar. Namun, tidak dengan Ambar. Ia tak mau melepas masker ketika akan berpidato.
“Ambar, jika kamu tidak mau melepas masker, maka nilai ekspresi Ibu kurangi, ya. Ibu tidak bisa melihat ekspresi wajahmu yang tersembunyi di baliknya,” kataku sedikit dengan nada ancaman. Sebenarnya tidak diperkenankan dalam dunia pendidikan menggunakan ancaman, tetapi hal ini kulakukan sebagai gertakan saja.
Namun, Ambar tetap tak mau melepas masker. Aku pun tidak bisa memaksa, kupersilakan dia praktik berpidato.
“Assalamu’alaikum warohmatullahi wa barokatuh,” lantang ucapan salamnya memenuhi ruangan. Meskipun tertutup masker, tetapi warna suaranya sangat jelas. Spontan seluruh isi ruangan terdiam bagai kena sihir, tak satu pun membuka mulut. Sejurus kemudian baru tersadar untuk menjawabnya.
Kami yang berada di ruang kelas IX A terbawa pesona dan gaya Ambar dalam berpidato. Tema yang diangkatnya “Demi Masa”, dibawakan dengan lagu kalimat yang tegas dan jelas penuh wibawa. Dari awal sampai akhir semua tampak terpukau, ada yang manggut-manggut tanda setuju dengan apa yang disampaikan Ambar. Semua muridku menyimak dengan baik. Tak ayal lagi, nilai hampir sempurna, meskipun pada aspek ekspresi wajah tetap tidak maksimal. Namun, aku yakin ekspresi wajahnya pasti sangat mendukung isi pidato.
“Waktu adalah pedang yang dapat melibas siapa pun yang tidak dapat memanfaatkannya dengan baik. Ingat lima perkara sebelum lima perkara. Sehat sebelum sakit, muda sebelum tua, kaya sebelum miskin, lapang sebelum sempit, hidup sebelum mati.” Ini merupakan sepenggal pidatonya yang mengingatkan betapa berharganya waktu yang Allah berikan. Sangat memukau, Ambar mengakhiri pidatonya dengan mendendangkan nasyid berjudul “Demi Masa”. Tepuk tangan meriah menjadi tanda berakhirnya pidato Ambar.
Selama Ambar berpidato, aku sempatkan mengamati Galang. Sinar matanya berbinar penuh kekaguman tanpa berkedip. Aku bisa merasakan betapa takjub dan terpesonya Galang pada Ambar. Inilah yang dinamakan cinta pertama.
***
Tiga bulan aku membersamai para siswa kelas IX A. Selama itu pula, sekali pun aku belum pernah melihat Ambar melepas maskernya. Jadi penasaran, kepo …. Hingga suatu hari di kantor Bimbingan Konseling (BK) terjadi keributan. Saat itu, aku punya kepentingan dengan salah satu guru BK. Kulihat di ruangan ada Ambar yang ditemani Amanda, ada juga Galang. Mereka berhadapan dengan Pak Hadi selaku Tim Ketertiban. Ada apakah gerangan? Kepo lagi nih ….
Sebagai guru kelas IX A, aku diperkenankan ikut duduk bersama Pak Hadi. Beliau memintaku untuk ikut menyelesaikan permasalahan antara Ambar dan Galang.
“Bu Ningsih, saya minta tolong Ibu untuk ikut menyelesaikan masalah mereka ini. Saya yakin, Ibu punya kedekatan dengan mereka,” jelas Pak Hadi.
“Baik, Pak …, akan saya usahakan,” jawabku mantab.
Sejurus kemudian Pak Hadi menceritakan duduk permasalahan di antara keduanya. Ketika pembelajaran Bahasa Inggris yang diampu oleh Beliau, Galang melempar kertas ke arah Ambar. Hal ini diketahui oleh Pak Hadi. Kertas yang belum sempat dibuka Ambar segera diambilnya. Di depan kelas Pak Hadi membacakan apa yang ditulis Galang.
“Ambar, to the point ya, sungguh aku kagum padamu. Aku fall in love padamu, meski tak lagi kulihat wajah ayumu kala itu,” begitu bunyi tulisan Galang.
Sudah kutebak permasalahan antara keduanya pasti berkutat tentang cinta. Selanjutnya kuajak mereka berdua ke ruanaganku di perpustakaan. Sebelumnya aku minta izin kepada Pak Hadi. Amanda yang menemani Ambar kusuruh kembali ke kelas.
Sesampai di perpustakaan, aku mencoba untuk bicara dari hati ke hati. Keduanya sama-sama tertunduk.
“Galang, bener kamu cinta sama Ambar?” tanyaku.
“Bener, Bu,” jawab Galang tersipu.
“Seandainya Ambar membalas cintamu, apa yang akan kamu lakukan?” tanyaku selanjutnya. Kulihat Ambar terkejut mendengar pertanyaaku, kubiarkan dulu.
“Ya, jalan bareng, Bu. Bermain bareng, belajar bareng, ke sekolah aku samperin biar bisa bareng. Semua dijalani bareng, gitu, Bu,” jawab Galang mantab.
“Gitu, ya. Eh …, Galang, kamu kan belum lihat lagi wajah Ambar yang sekarang. Mungkin saja wajah Ambar tak secantik dulu ketika kamu lihat pas pembelajaran daring,” cecarku selanjutnya. Sejenak aku melirik ke Ambar yang kembali kaget dengan mendongakkan kepala dan melihat ke arahku. Aku merasa ada yang lain pada wajah Ambar. Selama aku berbincang dengan Galang, ia hanya diam. Tak sepatah kata pun meluncur dari mulutnya. Namun, ketika kukatakan tentang wajahnya, aku bisa merasakan ekspresi terkejutnya.
“Atau mungkin sesuatu telah terjadi pada wajah Ambar sehingga ia tidak mau wajahnya terlihat orang lain,” lanjutku. Begitulah aku bernegosiasi dengan Galang agar dia mempertimbangkan ulang untuk berpacaran dengan Ambar.
Namun, di luar dugaan. Galang yang tadinya kelihatan seperti getol untuk menjalin cinta monyet, ternyata menyampaikan argumen selayaknya orang dewasa.
“Bu …, cinta itu fitrah. Siapa pun yang merasakan jatuh cinta harus disyukuri. Allah telah mengaruniakan rasa suci ini. Kata Ustaz cinta itu harus berisi kasih sayang yang didasari oleh cinta kepada Allah Ta’ala. Bukan semata-mata karena nafsu belaka. Artinya kita tidak memandang rupa nya saja, tetapi lebih jauh ke dalam hatinya. Pilihlah wanita yang baik agama dan akhlaknya, ini yang diutamakan daripada baik atau cantik wajahnya. Betul, kan Bu,” jelas Galang panjang lebar.
Aku jadi penasaran, dari manakah ia belajar tentang hakikat cinta. Memang aku sering melihat dia duduk tekun membaca buku di perpustakaan. Setiap istirahat pasti ia gunakan untuk membaca buku. Mungkin salah satu yang mendewasakan pengetahuannya dari membaca.
“Hebat, Galang …! Wawasanmu luas amat, Le. Banyak baca buku, ya,” imbuhku.
“Seperti yang Ibu lihat, he… he …, bercanda, Bu,” ucap Galang sambil nyengir.
“Wauw… keren! Ya, untuk diskusi hari ini kita cukup dulu, ya Lang. Kamu boleh kembali ke kelas,” pungkasku.
“Ambar juga boleh kembali ke kelas, kan Bu?” tanya Galang.
“Oh, maaf untuk Ambar masih Ibu tahan, ya,” jawabku.
“Waduh, gak jadi bareng, nih,” sungutnya sambil senyum-senyum.
Aku masih harus mengorek sesuatu lebih dalam pada Ambar, akhirnya ia masih kutahan. Ambar yang sudah dekat denganku sepertinya merasa lega dengan kembalinya Galang ke kelas. Mungkin dia merasa lebih leluasa untuk curhat. Aku pun punya kesempatan untuk mengobati kekepoanku. He …
“Ambar, jujur Ibu ingin tahu alasan kamu tidak mau melepas masker. Apakah benar apa yang Ibu tebakkan ke Galang tadi,” tanyaku.
“Ibu, saya juga harus jujur pada Ibu yang sudah kuanggap ibuku di madrasah ini. Apa Yang Ibu katakan benar, Bu,” jawab Ambar.
Seketika aku membelalakkan mata. Ternyata benar apa yang tadi kukatakan pada Galang sebagai pertanyaan pancingan saja. Aku tatap lekat wajah Ambar, ingin rasanya pandangan ini menembus masker biru yang ia kenakan. Ingatanku kembali ke wajah ayu lesung pipi miliknya. Lantas seperti apa wajahnya sekarang.
“Saat aku membantu ibu menyiapkan gorengan untuk dijual, aku terlalu bersemangat dan terlalu mendekat ke penggorengan. Ada minyak yang muncrat dan membasuh bagian bawah mata saya ke bawah sampai dagu. Panas dan perih tak terperi saat itu, Bu. Lantas saya dibawa ke puskesmas terdekat. Beberapa hari saya menginap, sampai luka di wajah agak kering. Baru diperbolehkan pulang. Kedua pipi rusak, kulit asli mengelupas dan ada sebagian daging yang ikut kebakar,” jelas Ambar begitu tegar di hadapanku.
“Itulah takdir yang menimpa saya, Bu. Sejak saat itu, saya tidak pernah melepas masker. Seiring waktu pula saya dapat menerimanya sebagai bagian dari perjalanan hidup,” imbuh Ambar.
Luar biasa, aku tidak bisa menahan air mata. Aku dekati dan kurengkuh tubuh mungilnya ke pelukanku. Betapa tegar anak ini. Aku tak bisa membayangkan saat kondisinya terpuruk. Wajah yang begitu imut, ayu beralih menjadi rusak tak berbentuk.
“Ibu …, satu hal yang lagi yang Bu Ningsih perlu tahu,” lirihnya dalam pelukanku
“Apa, Nak?” tanyaku penasaran sambil kulepas perlahan rengkuhanku.
“Sebernarnya …,” kalimatnya tertahan yang membuatku semakin penasaran.
“Sebenarnya …, Galang sudah pernah lihat wajah burukku …,” berbisik Ambar melanjutkan kalimatnya. Tak ayal lagi, keterkejutanku bertambah parah.
“Haaa … Galang …, sudah tahu wajah aslimu sekarang?” tanyaku memekik lirih.
“Iya, Bu,” jawab Ambar dengan lega seolah beban berat di pundaknya sudah beralih tempat.
Aku masih duduk mematung. Lantas apa arti sikap Galang selama ini? Ia seolah-olah tidak tahu apa yang telah terjadi pada Ambar. Sikapnya yang selalu penasaran ingin Ambar membuka maskernya. Nyatanya justru ia sudah tahu semuanya.
Seperti tahu apa yang ada di pikiranku, Ambar pun menceritakan semua padaku. Suatu ketika, Ambar berada di depan kamar mandi putri. Ia sendirian saja. Ia berpikir tidak ada seorang pun di sekitarnya, toh semua siswa ada di kelas. Ia bermaksud mengolesi obat luka bakar pada lukanya yang kambuh. Nah, saat membuka sedikit maskernya, ada bayangan yang melintas di sebelah utara kamar mandi. Sontak, Ambar memalingkan wajah ke utara. Di lihatnya Galang tepat melihat ke arahnya. Ambar yang tersadar maskernya terbuka sedikit langsung menutup dengan kedua tangannya. Hatinya deg-degan, tangannya bergetar, ia yakin Galang melihat wajahnya yang penuh luka.
Sampai cerita ini, Ambar berhenti. Disekanya air mata yang menggantung di sudut netra. Pun aku, sejak awal ceritanya, tak dapat aku menahan air yang menggantung di pelupuk mata.
“Ibu, tak kusangka. Galang mengirim pesan ke saya lewat WA pada sore harinya. Ia menyemangati saya dengan kata-kata bijaknya. Bahwa takdir Allah tidak dapat ditolak, harus diterima dengan tabah, sabar, dan ikhlas. Dia pun tak pernah membocorkan rahasia ini ke siapa pun, bahkan ia bersikap seolah-olah ia pun tak tahu wajahku saat ini,” lanjutnya.
“Satu hal lagi, Bu. Galang tak pernah menganggap kedekatan kami sebagai layaknya pacarana. Bukan, ia menganggap saya sahabat dan teman berdiskusi. Saya pun sama seperti Galang. Tidak ada yang lebih diridai Allah, kecuali pacaran setelah nikah, Bu,” jelas Ambar.
Kembali aku tertegun dengan pemahaman agama kedua anak ini. Benar-benar anak yang istimewa.
“Doa Ibu pada setiap sujud untuk Ambar, semoga Allah memberikan jalan untuk kesembuhan lukamu. Allah kembalikan wajah ayumu, Nak. Semoga pula Allah menyatukan kalian hingga nanti saatnya terjalin ikatan suci. Saling menyemangati dalam setiap kebaikan, ya,” pesanku pada Ambar. Dia pun mengangguk pelan dan mita izin untuk kembali ke kelas. Kupandang sosoknya hingga keluar dari perpustakaan. Allah, satukan takdir cinta mereka dalam bingkai fitrah dan rida-Mu.